Culture Screen Raves

Serial Komedi ‘The Franchise’: Kekacauan di Balik Layar Film Pahlawan Super

“The Franchise” mengungkap sisi kocak dan absurd di balik proses produksi film pahlawan super, dari drama kru hingga ego para pembuatnya.

Avatar
  • November 20, 2024
  • 5 min read
  • 1 Views
Serial Komedi ‘The Franchise’: Kekacauan di Balik Layar Film Pahlawan Super

Bukan berita baru kalau penonton sudah mulai jenuh dengan film pahlawan super. Dari DC, Aquaman and the Lost Kingdom hanya meraup US$439 juta pendapatan global, padahal anggaran pembuatannya saja $205 juta, belum termasuk pemasaran. Hal yang sama juga terjadi pada Blue Beetle ($130 juta dollar dengan bujet $104 juta), Shazam! Fury of Gods ($134 juta dengan bujet antara $110 juta-$125 juta), dan Black Adam ($393 juta dengan bujet $260 juta).

Yang paling menyakitkan bagi DC mungkin adalah The Flash yang hanya mendapatkan $271 juta dari total box office seluruh dunia dengan biaya produksi $200 juta. Padahal The Flash sudah menyeret Michael Keaton untuk mengenakan kostum Batman lawasnya demi menarik perhatian penonton. Marvel juga mengalami hal yang sama meskipun tidak separah DC. Total pendapatan The Marvels hanya $206 juta dollar. Sangat jauh jika dibandingkan dengan Captain Marvel yang mendapatkan $1 miliar lebih.

 

 

Berbeda dengan waralaba lain, film-film superhero ini memang memiliki karakter khusus. Penggemarnya memiliki suara yang besar dan jika sampai berani mengalienasi mereka, bersiaplah untuk jeblok. Pemilihan aktor yang salah juga bisa menyebabkan film gagal sukses. Belum lagi ada komentar-komentar para pembuat film seperti Martin Scorsese yang mengatakan bahwa film-film pahlawan super bukanlah sinema melainkan taman bermain. Tidak mengherankan studio-studio pencipta film pahlawan super kebakaran jenggot. Drama-drama inilah yang coba digambarkan oleh serial komedi The Franchise di HBO Go.

Baca juga: Moving’: Eksploitasi Segar Genre Superhero

Satire Film Pahlawan Super

Serial komedi The Franchise mengisahkan produksi Tecto: Eye of the Storm oleh Maximum Studios, sebelum mereka merilis raksasa mereka yang lain berjudul Centurios 2. Ibaratnya, Tecto adalah film pahlawan super solo yang dibuat Marvel dan Centurios adalah Avengers mereka. Studio tersebut merekrut sutradara arthouse Eric Brouchard (Daniel Brühl) untuk mengerjakan film yang menyasar semua penggemar pahlawan super tersebut. Masalahnya, mengerjakan film berbujet besar yang diproyeksikan untuk menjadi box office tidak sama dengan menggarap film indie yang akan tayang di Sundance.

Daniel Kumar (Himesh Patel), asisten sutradara (astrada) pertama Tecto, berupaya keras menjalankan produksi ini dengan maksimal. Tapi sekuat apa pun ia berusaha, selalu saja ada masalah yang terjadi. Produsernya tiba-tiba dipecat dan mantannya, Anita (Aya Cash), tiba-tiba menjadi atasannya. Pat Shannon (Darren Goldstein), eksekutif yang bertugas untuk mengatur semua film produksi Maximum “hobi” memicu bencana. Ia tiba-tiba bisa membunuh semua karakter yang ada dalam dunia film Tecto hanya untuk menyelamatkan film lain yang kebetulan mempunyai karakter yang sama. Sementara astrada dua-nya, Dag (Lolly Adefope), masih sangat “hijau”, Kumar juga harus menghadapi aktor-aktornya yang mempunyai problem masing-masing.

Peter Fairchild (Richard E. Grant) adalah seorang aktor senior yang terus-terusan berlagak bahwa peran ini terlalu cemen untuk bintang sekelasnya. Ia sengaja membuat gara-gara di waktu senggangnya karena pahlawan super dalam film ini dimainkan oleh Adam (Billy Magnussesn), mantan aktor TV yang berusaha untuk menjadi Chris Evans melalui film ini. Fairchild yang hobi memainkan ego Adam membuatnya selalu meragukan diri sendiri yang pada akhirnya membuat seluruh tim produksi, terutama Kumar, kesusahan. Jutaan dollar sudah habis untuk memproduksi Tecto: Eye of the Storm dan sepertinya usaha mereka tidak akan menghasilkan film yang baik.

Baca juga: Review ‘Sri Asih’: Beban Besar yang Dipikul Sang ‘Superhero’ Perempuan Pertama

Serial Komedi Lucu Tapi Kurang Premium

Diciptakan oleh Jon Brown dengan Sam Mendes dan Armando Iannucci sebagai produser eksekutif, The Franchise nikmat ditonton sebagai sebuah satire, apalagi jika penonton familier dengan tema-temanya. The Franchise memang agak lebih niche daripada The Thick of It atau Veep (yang juga Iannucci ciptakan) tapi level pahit dan kejamnya sama. Seperti halnya Veep yang menertawakan para politikus bloon, The Franchise menggambarkan orang-orang yang tidak kompeten di bidangnya, atau paling tidak mereka yang hampir selalu gagal mencegah bencana untuk terjadi.

Bagaimana, misalnya, Maximum Studios mendapatkan reaksi negatif setelah studio memutuskan untuk membatalkan film yang berisi seluruh pahlawan super perempuan. Upaya (konyol) untuk mengatasi masalah ini malah membuat para penggemar yang digambarkan sudah toksik semakin murka dan mengancam membunuh seorang aktris. Kemudian Anita yang “diberitahu” dengan senyuman manis bahwa jika Tecto gagal, ia sebagai salah seorang produser perempuan pertama dalam produksi Maximum Studios, tidak akan dipersalahkan. Kali lain, Brouchard melakukan kesalahan yang membuat studio memaksa si sutradara itu untuk menaruh iklan traktor buatan China dalam filmnya. Eric yang muak menyerukan kebenciannya kepada China yang ternyata menjadi viral, sehingga ia harus meminta maaf kepada negara itu.

Baca juga: Representasi LGBTQIA di Film ‘Superhero’

Sebagai sebuah komedi, The Franchise berhasil menjadi tontonan yang lucu (atau menegangkan kalau penontonnya bekerja di industri perfilman; beberapa adegannya cukup realistis untuk membangkitkan PTSD). Tapi sebagai serial HBO, hasil keseluruhan terasa kurang “premium”. Humor yang ditawarkan cukup segar tapi repetitif. Tidak hanya itu, setelah tujuh episode, hampir tidak ada pengembangan karakter dari semua tokohnya. Meskipun mereka semua sudah menghadapi kesusahan dan merasakan kegagalan berkali-kali, karakter-karakter di serial ini tidak pernah tumbuh.

Sebenarnya resep yang sama juga dipakai oleh Veep. Bedanya, meski hampir setiap episodenya diakhiri dengan kegagalan, selalu ada momen penuh harap dalam satire politik itu. The Franchise sepertinya dibuat dari kacamata benci. Jarak inilah yang membuat serial ini terasa agak lebih kejam. Tapi mungkin memang itu poinnya. Inilah yang membedakan sebuah karya seni dan produk. Dan The Franchise adalah cerita tentang orang-orang yang berusaha membuat karya seni meskipun dalam lubuk hati terdalam mereka semua tahu bahwa mereka sedang membuat produk.

The Franchise dapat disaksikan di HBO Go.



#waveforequality


Avatar
About Author

Candra Aditya

Candra Aditya adalah penulis, pembuat film, dan bapaknya Rico. Novelnya ‘When Everything Feels Like Romcoms’ dapat dibeli di toko-toko buku.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *