FOMO, YOLO, dan FOPO dari Influencer yang Memicu Kita Kalap Belanja
Sadar gak, seberapa besar pengaruh influencer dalam caramu berbelanja dan jadi konsumtif?
Pernahkah kamu membeli sebuah barang hanya karena idola atau selebritas favoritmu memilikinya? Padahal, sebenarnya kamu tidak benar-benar membutuhkannya.
Atau mungkin kamu membeli tiket konser atau boneka ‘Labubu’ hanya karena sedang tren dan semua orang di media sosial tampak melakukannya?
Fenomena ini disebut pembelian impulsif–pembelian yang dilakukan secara spontan dan lebih didorong oleh emosi daripada kebutuhan.
Ada banyak faktor yang menyebabkan kita bisa terjebak dalam perilaku pembelian impulsif. Pemasaran melalui media sosial yang memanfaatkan jasa endorsement dari influencers atau selebriti adalah salah satu faktor utama yang memperkuat perilaku ini, terutama di kalangan generasi Z (Gen Z) yang dikenal melek digital dan sangat lekat dengan media sosial.
Dalam artikel ini, saya akan mengeksplorasi bagaimana media sosial mengubah perilaku konsumsi publik melalui hubungan parasosial dengan influencers dan beberapa fenomena psikologis seperti FOMO (Fear of Missing Out), YOLO (You Only Live Once), dan FOPO (Fear of Other People’s Opinions) yang menjadi faktor pemicu perilaku pembelian impulsif.
Baca juga: Tabungan Masyarakat Menurun, Tren Belanja Naik: Haruskah Kita Khawatir?
Media Sosial dan Perkembangan Hubungan Parasosial
Media sosial seperti Instagram dan X (sebelumnya Twitter) telah mengubah cara kita berinteraksi dan berkomunikasi, sekaligus memperkenalkan fenomena baru yang memengaruhi identitas sosial kita.
Salah satu fenomena ini adalah hubungan parasosial–perasaan memiliki ikatan emosional dengan figur publik atau selebritas yang tidak kita kenal secara langsung.
Misalnya, penggemar BTS, yang dikenal sebagai “Army”, mungkin merasa sangat dekat dan terhubung secara emosional dengan anggota BTS, meski mereka mungkin belum pernah bertemu langsung. Begitu pula dengan “Blink” untuk penggemar Blackpink atau “Swifties” untuk penggemar Taylor Swift.
Media sosial memperkuat hubungan parasosial ini karena memungkinkan penggemar mendapatkan “akses” langsung ke kehidupan selebritas, seolah-olah mereka teman dekat. Hubungan semacam ini juga berlaku pada pengikut influencers, yang sering dipandang sebagai figur inspiratif atau “idola” modern di media sosial.
Banyak perusahaan melihat ini sebagai peluang bisnis dan memanfaatkan kedekatan para influencer dengan pengikutnya sebagai bagian dari strategi pemasaran mereka.
Baca juga: ‘Make up’ juga Hak Lelaki: Alasan ‘Gender Neutral Marketing’ Penting
Hubungan Parasosial dengan Influencers dan Pembelian Impulsif
Secara psikologis, pengikut sering melihat influencers sebagai sumber informasi yang kredibel dan autentik. Karena influencers terkesan lebih akrab dan nyata, rekomendasi mereka terasa lebih meyakinkan ketimbang iklan biasa.
Melalui pengungkapan diri (self-disclosure) dengan berbagi kisah pribadi, hobi, atau kegemaran mereka di media sosial, influencers bisa membangun rasa keterhubungan dengan pengguna.
Dengan demikian, ketika influencers mempromosikan produk, pengikut mereka lebih mudah tersentuh secara emosional dan terdorong untuk merasakan pengalaman yang sama dengan idola mereka. Selain itu, rasa kedekatan dengan influencers membuat pengikut cenderung melihat upaya endorsement mereka sebagai rekomendasi dari seorang teman dekat, bukan iklan komersial.
Inilah yang membuat perusahaan tertarik bekerja sama dengan influencers, memanfaatkan ikatan emosional mereka dengan pengikut untuk meningkatkan penjualan.
Beberapa studi terbaru mengonfirmasi bahwa endorsement artis atau influencer secara signifikan memengaruhi pembelian impulsif, terutama di kalangan Generasi Z.
Fenomena Psikologis yang Mendorong Pembelian Impulsif
Selain ikatan dengan influencers, pembelian impulsif sering kali dipicu oleh fenomena psikologis seperti Fear of Missing Out atau FOMO, yaitu perasaan takut ketinggalan suatu tren yang sedang populer.
Ketika seseorang melihat idola atau temannya memiliki suatu produk, mereka merasa cemas akan tertinggal sehingga buru-buru untuk membeli produk yang sama. Fenomena FOMO ini menjadi salah satu motivasi terbesar dalam pembelian impulsif, terutama di kalangan anak-anak muda, yang lebih rentan terhadap pengaruh tren di media sosial.
Di samping FOMO, konsep You Only Live Once atau YOLO juga sering digunakan sebagai motif untuk melakukan pembelian impulsif dengan justifikasi memanjakan diri dalam “hidup yang hanya sekali” ini. YOLO kini banyak digunakan untuk membenarkan pembelian barang-barang yang tidak selalu diperlukan, terutama jika barang tersebut terkait dengan influencers atau selebriti idola mereka.
Selain FOMO dan YOLO, fenomena lain yang kini berperan dalam pembelian impulsif adalah Fear of Other People’s Opinions (FOPO). FOPO mengacu pada rasa takut akan penilaian atau pendapat orang lain.
Di era media sosial, banyak orang merasa perlu menyesuaikan diri dengan standar atau gaya hidup yang populer atau sesuai dengan komunitas mereka. Akibatnya, seseorang mungkin membeli produk tertentu untuk mendapatkan pengakuan atau menunjukkan identitas mereka dalam kelompok tertentu.
Dengan menggunakan influencers yang mampu membangun hubungan parasosial dan memahami bagaimana memanfaatkan fenomena psikologis FOMO, YOLO, dan FOPO, perusahaan bisa meningkatkan pembelian dengan strategi menargetkan emosi konsumen secara langsung.
Baca juga: Para ‘Influencer’ Berlaku Buruk, Mengapa Orang Masih Memujinya?
Menumbuhkan Kesadaran Konsumen di Era Media Sosial
Memahami dan menyadari adanya hubungan parasosial dan konsep FOMO, YOLO, dan FOPO ini adalah langkah awal yang penting untuk menjadi konsumen yang lebih bijak.
Dengan mengenali faktor-faktor ini, kita bisa lebih kritis dan membedakan antara kebutuhan nyata dan tekanan sosial atau emosional yang datang dari media sosial.
Kesadaran ini dapat membantu kita mengurangi perilaku konsumtif berlebihan dan terhindar dari jebakan pembelian impulsif.
Arifatus Sholekhah, Research Officer, Center for Digital Society (CfDS), Universitas Gadjah Mada
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Ilustrasi oleh: Karina Tungari