Windah Basudara, KBGO, dan Industri Gim yang Maskulin
Kejadian di ‘fanbase’ Windah Basudara mencerminkan seksisme masih dinormalisasi di industri ‘game’.
Akhir pekan lalu, YouTuber Windah Basudara jadi perbincangan di X (dulunya Twitter). Ini berawal saat seorang netizen di fanbase Windah, mengkritik komentar-komentar gamers saat bermain game. Ia bilang, Windah kerap mengutarakan ujaran-ujaran seksis dan menyangkut tubuh perempuan.
Twit itu mendadak ramai. Terlebih setelah sebagian penggemar Windah justru menormalisasi guyonan seksis—dengan dalih ucapan dan konten Windah cuma hiburan. Enggak berhenti di situ, netizen yang mengkritik Windah auto-jadi bulan-bulanan dan banjir ujaran kebencian.
Kejadian ini membuktikan industri game sangat maskulin dan lekat dengan seksisme. Celakanya, Windah maupun penggemar bukan satu-satunya yang bersikap seksi di dunia game.
Pada 2014, programmer dan game developer Zoë Quinn, jadi korban doxing—atau penyebaran informasi pribadi, ancaman pembunuhan dan pemerkosaan, serta ujaran kebencian. Semua berawal dari tuduhan si mantan pacar Eron Gjoni, yang menyebut Quinn dapat ulasan positif jurnalis game, karena mereka berhubungan seks. Dari situ, orang-orang menyerang Quinn hingga ia harus meninggalkan rumah, dan bekerja sama dengan pihak berwenang untuk mengidentifikasi pelaku.
Pertanyaannya, apa, sih yang melatarbelakangi seksisme di industri game?
Baca Juga: Pro Player Perempuan: Selain Jago, Harus Cantik
Kultur Maskulin di Industri Game
Sejak awal dibentuk, industri game menargetkan dan hanya menganggap laki-laki, khususnya lelaki kulit putih sebagai target pasar. Mereka dicap punya pengaruh terbesar dalam keberhasilan dan pendapatan video game. Inilah yang membuat karakter perempuan tidak direpresentasikan, dan lebih sering diseksualisasi untuk menarik laki-laki.
Menurut peneliti AS, Nicole Martins dan Jessica E. Tompkins dalam Masculine Pleasures as Normalized Practices: Character Design in Video Game Industry (2021), industri game mempertahankan status quo yang berpusat pada laki-laki. Sebab, industri ini khawatir, laki-laki kulit putih heteroseksual sulit menerima inovasi yang menampilkan keberagaman. Alhasil, sampai saat ini kultur industri game masih didominasi laki-laki.
Dampaknya, kelompok marjinal seperti perempuan, orang kulit berwarna, serta identitas gender dan minoritas seksual semakin terpinggirkan. Contohnya bisa dilihat dari cara karakter perempuan dipotret dalam game. Jika kemampuan laki-laki ditunjukkan lewat kecerdasan dan kekuatan, perempuan dipotret lewat penampilan fisik dan cara berpakaian—seperti ukuran payudara yang besar, memakai busana terbuka, dan pakaian dengan garis leher yang mengekspos belahan dada. Perbedaan ini terlihat dalam karakter Jade dan Scorpion di Mortal Kombat.
Pun dalam game King of Fighters. Saat karakter perempuan dikalahkan, ada efek pakaiannya terbuka dan menyisakan pakaian dalam—bahkan telanjang. Efek ini enggak berlaku untuk karakter laki-laki. Artinya, karakter perempuan menggunakan daya tarik seksual, sebagai kompensasi atas hilangnya kekuatan mereka.
Masalahnya, dampak seksualisasi ini bukan hanya meminggirkan perempuan di industri game. Dalam studi pada 2018, tiga peneliti di The University of Sydney, Australia—Meghan Gestos, Jennifer Smith-Merry, dan Andrew Campbell—menjelaskan di kehidupan nyata, paparan seksis dari game membuat perilaku ini dinormalisasi di dunia nyata. Bagi laki-laki, perlakuannya termasuk menoleransi serangan dan kekerasan seksual terhadap perempuan. Sedangkan perempuan cenderung menerima perlakuan itu.
Hal itu menjelaskan kontroversi penggemar Windah di X, yang menilai seharusnya ucapan idolanya tak perlu dipermasalahkan karena sekadar guyonan. Kultur inilah yang melanggengkan seksisme di industri game. Bahkan juga berdampak pada gamers perempuan, yang sulit memiliki ruang karena bermain game dianggap aktivitas laki-laki.
Baca Juga: Nyebelinnya Jadi Perempuan Saat Main PUBG
Akibatnya, kemampuan perempuan direndahkan. Termasuk dalam e-sport. Saat diwawancara Kompas, Kepala Humas dan Komunikasi Pengurus Besar E-Sport Indonesia (PBESI) Debora Imanuella mengatakan, beberapa pemain laki-laki menolak berkolaborasi ataupun bertanding dengan pemain perempuan. Alasannya karena keahlian mereka enggak sebanding.
Sementara dari segi upah, Esports Earnings mencatat, 20 besar pemain dengan penghasilan terbesar adalah gamer laki-laki. Kesenjangan ini juga dilatarbelakangi oleh seksisme di industri game yang didominasi laki-laki, sehingga profesi ini tak dianggap sebagai opsi untuk gamer perempuan.
Lalu, apa yang bisa dilakukan agar industri game bisa lebih ramah perempuan?
Menciptakan Industri Game yang Ramah Perempuan
Pada Agustus 2014, Quinn membuat “GamerGate”, kampanye online untuk melawan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) di industri video game. Kampanye yang dibuat setelah ia menjadi penyintas ini, berlangsung di Reddit serta 4chan dan 8chan—situs untuk membuat papan pengumuman berupa gambar secara anonim.
Merespons kampanye tersebut, gamers laki-laki melayangkan ancaman pembunuhan dan pemerkosaan. Sebab, mereka ingin game eksklusif hanya untuk laki-laki. Kenyataannya, hal serupa masih terjadi meski 10 tahun berlalu dan kita bisa melihat salah satunya di komunitas Windah di X—yang kini dinonaktifkan oleh kreator komunitasnya. Artinya, seksisme dan KBGO di industri game belum ditangani serius—bahkan belum disadari tindakan tersebut termasuk kekerasan.
Lewat tulisannya di Vox, jurnalis Aja Romano menyebutkan beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mencegah dan mengatasi hal ini.
Pertama, mengakui kekerasan terhadap perempuan adalah perbuatan serius. Selama ini, berbagai bentuk kekerasan masih dinormalisasi dan tidak dianggap bisa mengarah pada tindakan lain yang mengancam keselamatan—bahkan femisida. Termasuk KBGO, karena terjadi di dunia maya sehingga dianggap tidak berkaitan dengan dunia nyata. Maka itu, bentuk kekerasan apa pun perlu diakui agar perempuan segera mendapatkan perlindungan.
Kedua, media sosial menindaklanjuti KBGO dengan serius sesuai kebijakannya. Misalnya menerapkan skema pelaporan yang berpihak pada korban—tanpa harus membuka identitas pada publik—dan transparan dalam mengusut laporan.
Ketiga, polisi perlu belajar mengamankan masyarakat di dunia maya. Saat kasus GamerGate terjadi di AS, polisi tak memahami cara menangani KBGO. Mereka belum melihat, KBGO berkaitan dengan kekerasan di dunia nyata.
Baca Juga: Azizah Assattari dan Persepsi terhadap Perempuan di Dunia Game
Hal ini serupa dengan pemahaman aparat penegak hukum (APH) di Indonesia terhadap KBGO. Alih-alih menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), APH justru memakai Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Akibatnya, korban dilaporkan balik dengan tuduhan pencemaran nama baik. Karenanya, APH memerlukan perspektif gender dan sosialisasi UU TPKS secara menyeluruh, untuk menangani kasus KBGO maupun jenis kekerasan lain dengan tepat.
Keempat, perusahaan game perlu mengetahui latar belakang terjadinya serangan online. Pada 2016, saat karyawannya dituduh pedofilia di media sosial, Nintendo justru memecatnya. Menurut Romano, ini mencerminkan kegagalan budaya untuk memahami kemarahan di internet, dan bagaimana menanggapi kekerasan. Sebab, seharusnya perusahaan menelusuri dan memahami, yang dialami karyawannya merupakan kekerasan.