Issues Opini Politics & Society

Mendorong Kepemimpinan Perempuan di Aceh, Bagaimana Caranya?

MUSRENA atau ruang diskusi untuk membahas kebutuhan perempuan Aceh adalah langkah baik. Hanya saja praktik ini belum diaplikasikan secara merata.

Avatar
  • December 13, 2024
  • 6 min read
  • 349 Views
Mendorong Kepemimpinan Perempuan di Aceh, Bagaimana Caranya?

Dua puluh tahun silam, bencana tsunami meluluhlantakan Aceh. Dari ratusan ribu korban kala itu, jumlah perempuan yang meninggal lebih banyak dibandingkan laki-laki.

Hari ini kita melihat dorongan untuk memberikan jaminan dan memastikan keterlibatan perempuan dalam pembangunan masih menghadapi tantangan berat. Padahal, Aceh memiliki sejarah kepemimpinan perempuan yang luar biasa. Sebut saja Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, Laksamana Keumalahayati, Pocut Baren dan Tengku Fakinah, yang telah diakui kiprahnya dalam mempertahankan Aceh dari penjajah.

 

 

Tinta emas tentang kepemimpinan perempuan di Aceh bahkan sudah terjadi jauh sebelum zaman kolonial, melalui tokoh-tokoh seperti Sultanah Tajul Alam Safiatuddin (1641–1675), Nurul Alam Naqiatuddin (1675–1678), Inayat Zakiatuddin (1678–1688), dan Kamalat Syah (1688–1699). Mereka secara berturut-turut memimpin Kerajaan Aceh Darussalam (1496-1906)—sebuah kekuatan Islam yang sangat berpengaruh di kawasan Asia Tenggara pada waktu itu.

Konflik bersenjata di Aceh juga merekam kisah perjuangan perempuan yang bertahan dengan berbagai tantangan dan ancaman, di saat banyak laki-laki memutuskan pergi karena alasan keamanan. Dalam situasi tersebut, perempuan akar rumput masih mampu menjalankan berbagai domestik dan publik, termasuk bernegosiasi untuk menangani berbagai situasi berat saat itu.

Mulai dari negosiasi untuk membebaskan suami/adik/anak laki-laki yang tertangkap, negosiasi dengan TNI untuk tidak lagi masuk ke desa, hingga negosiasi untuk menyediakan pangan bagi keluarga dengan memanen hasil kebun sebagai mana pengalaman yang salah satu penyintas konflik, yusdarita atau cerita lainnya yang digambarkan dalam laporan atau riset, salah satunya fakta berbicara .

Pembangunan pascabencana terutama yang terkait dengan penanggulangan, menuntut adanya perubahan signifikan, sebagaimana yang menjadi konsep dasar dari UU Nomor 24 Tahun 2007. Perubahan yang terlihat jelas dalam kebijakan ini berkaitan dengan pendekatan penanganan bencana yang sebelumnya mengedepankan pendekatan kedaruratan, berganti dengan pendekatan penanganan terpadu melalui manajemen bencana yang mencakup fase mitigasi, fase kedaruratan dan penyelamatan/saat bencana, fase pemulihan pasca bencana.

Realitasnya, sampai saat ini, perubahan paradigma tersebut masih sulit diikuti oleh aparatur pelaksana dan pihak lain yang terlibat. Upaya penyelamantan saat bencana dianggap lebih penting dibanding dua fase lainnya, sehingga kegiatan yang mendukung kesiapsiagaan sangat terbatas dan belum terintegrasi pada kegiatan lintas sektor. Program paska bencana juga belum mengikuti prinsip build back better and safer sebagaimana yang disepakati dalam Senday Framework.

Baca juga: Kekerasan Seksual di Aceh Marak, ‘Qanun Jinayat’ Saja Tak Cukup

Ruang Khusus Perempuan Sebagai Langkah Afirmasi

Sebenarnya, kota Banda Aceh telah memiliki terobosan baik untuk mendorong keterwakilan perempuan dalam pembangunan. Langkah yang diupayakan pemerintah kota adalah membentuk forum yang dikenal dengan MUSRENA (Musyawarah Khusus Perempuan). Musrena ini dilaksanakan pada tingkat Gampong/Desa untuk menyepakati usulan kegiatan perempuan dengan dana bersumber dari APBD dan Alokasi Dana Desa (ADD). Hasil rumusan MUSRENA berjenjang mulai dari tingkat gampong hingga kota agar menjadi bagian dalam keputusan besar yang disepakati dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan di setiap tingkatannya.

Forum ini menjadi ruang diskusi bagi perempuan untuk membahas segala permasalahan dan pengalaman serta kebutuhannya. Untuk memaksimalkan kualitas usulan yang disepakati di Musrena, butuh upaya peningkatan kapasitas dan penguatan perspektif yang lebih terukur. Kegiatan penguatan ini perlu dipastikan dapat diakses oleh perempuan secara merata dengan berbagai latarbelakang sebagai strategi memperbanyak perempuan pemimpin.

Keberadaan MUSRENA di Banda Aceh jelas dipengaruhi keberadaan perempuan, Illiza Sa’aduddin Djamal, yang saat itu menjabat sebagai wakil Wali Kota Banda Aceh pada periode 2007-2012 dan 2012-2014. Pelaksaannya menjadi sistem melalui Peraturan Wali Kota Banda Aceh Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penyusunan Kamus Sususkan Musyawarah Rencana Pembangunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah Kota Banda Aceh, yang diperbarui setiap tahun anggaran.

Sayangnya, praktik baik ini belum dirujuk dan diaplikasikan oleh kabupatan/kota lainnya dalam memastikan pembangunan yang responsif gender.

Baca juga: Pentingnya Merevisi Qanun Jinayat, Terutama Pasal tentang Kekerasan Seksual

Perempuan di Parlemen

Keberadaan perempuan dalam parlemen juga memengaruhi upaya untuk mendorong dan mengakomodasi permasalahan dan kebutuhan perempuan dengan lebih baik. Pada kurun waktu 2014-2019 terdapat 12 orang perempuan terpilih dari 81 anggota legislatif Aceh, lebih banyak dari periode sebelumnya yang hanya berjumlah 4 orang.

Namun, pada pemilu yang berlangsung 14 Februari 2024 kemarin, perwakilan perempuan di legislatif terus menurun, hanya ada 8 dari 81 orang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh. Angka ini masih jauh dari jumlah minimal yang ditetapkan oleh aturan. Kondisi ini menunjukkan bahwa tantangan serius masih dihadapi perempuan pada jalur politik

Minimnya keterwakilan perempuan juga terlihat dalam jabatan strategis di Pemerintah Aceh. Porsi perempuan di jenjang eselon II dan III masih cukup timpang dibandingkan laki-laki. Rinciannya hanya ada 5 perempuan dari 62 orang pada jenjang eselon II. Begitu juga di jenjang eselon III yang hanya ada 49 dari 283 orang perwakilan perempuan.

Komisi independen yang ada di Aceh juga masih belum mampu menjadi ruang yang ramah bagi kepemimpinan perempuan. Minimnya kehadiran perempuan dalam jabatan strategis Pemerintahan menjadi potret umum di Aceh, hingga ke level Gampong (Desa). Keberadaan perempuan dalam struktur Tuha Peut sebagai pilar dalam Pemerintahan Desa, masih jauh dari apa yang harusnya dicapai mengingat keberadaan Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat.

Baca juga: Aliansi Nasional: RKUHP Masih Berpotensi Kriminalisasi Kelompok Rentan

Memastikan Kesetaraan Gender dalam Pembangunan

Fakta bahwa sumbangsih perempuan di Aceh pascatsunami yang masih terbatas, harus disikapi dengan lebih serius. Pendekatan manajemen kebencanaan menjadi langkah penting untuk mempersiapkan masyarakat (termasuk perempuan dan kelompok rentan) menjadi agar siaga terhadap bencana.

Upaya ini perlu disokong rencana kegiatan, penyusunan kebijakan dan pengalokasian anggaran, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi yang sistemik dan up-to-date. Pendekatan ini dinyatakan tegas dalam berbagai regulasi, semisal Peraturan Kepala (PERKA) BNPB No. 13/2014 tentang Pengarusutamaan Gender di Bidang Penanggulangan Bencana. Untuk mendorong partisipasi bermakna perempuan, indikator yang perlu digunakan harus menekankan aspek akses, partisipasi, kontrol dan manfaat. Meski PERKA BNPB telah mengarahkan secara detail tahapan-tahapan yang ada, pada pelaksanaannya, strategi pengarusutamaan gender masih belum menjadi upaya yang serius dilakukan oleh berbagai pihak terkait.

Untuk itu, pengaturan ulang porsi peran gender dapat diupayakan agar kesetaraan dan keadilan bisa dirasakan perempuan. Oleh karenanya menjadi sangat penting menyediakan ruang yang kondusif bagi perempuan agar bisa menyampaikan seluruh permasalahan dan kebutuhan spesifik mereka untuk direspons dalam kebijakan, program kerja dan anggaran yang berdampak langsung pada perbaikan kualitas hidup perempuan.

Pengalaman perempuan mestinya menjadi referensi utama dalam bagan rancangan aksi mitigasi bencana. Ini termasuk sisi-sisi yang mampu berkontribusi memberdayakan perempuan, baik dari aspek kemandirian finansial karena akses yang cukup luas pada sumber penghidupan, kondisi kesehatan mental termasuk kesehatan reproduksi yang baik, wawasan yang luas, kemampuan manajerial dan kemampuan politik yang kuat.

Untuk itu, kalkulasi peran gender, termasuk dalam konteks bencana perlu diupayakan agar kesetaraan dan keadilan bisa dirasakan perempuan. Perempuan membutuhkan ruang yang kondusif agar bisa menyampaikan seluruh permasalahan dan kebutuhan spesifik mereka, untuk direspons dalam kebijakan, program kerja dan anggaran yang berdampak langsung pada perbaikan kualitas hidup perempuan. Dua dekade paska konflik dan bencana, semestinya sudah cukup untuk mengingatkan kita tentang pentingnya perempuan memiliki akses dan partisipasi bermakna.

Norma Susanti RM, Peneliti di Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) dan Pusat Riset Ilmu Sosial dan Budaya (PRISB) Universitas Syiah Kuala, Universitas Syiah Kuala.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.



#waveforequality


Avatar
About Author

Norma Susanti RM

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *