Election 2024 Issues Opini Politics & Society

Jangan Lengah, Negara Redupkan Diskusi Pelanggaran HAM lewat ‘Naming’ dan ‘Shaming’

Pemerintahan Prabowo punya strategi agar isu pelanggaran HAM di masa lalu tak lagi relevan. Publik media sebaiknya selalu mawas.

Avatar
  • December 13, 2024
  • 7 min read
  • 917 Views
Jangan Lengah, Negara Redupkan Diskusi Pelanggaran HAM lewat ‘Naming’ dan ‘Shaming’

Isu hak asasi manusia (HAM) seharusnya tetap relevan untuk dipertanyakan di Indonesia. Sebab, penegakan HAM masih menghadapi jalan berliku hingga kini. Sayang, usai Prabowo Subianto resmi dilantik sebagai RI-1, diskusi isu pelanggaran HAM oleh negara tampaknya semakin redup.

Faktanya, Indonesia kini dipimpin oleh Presiden yang memiliki catatan buruk pelanggaran HAM berat di masa lalu. Nama Prabowo tercatat dalam laporan penyelidikan Komnas HAM dan surat Keputusan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) 1998 sebagai pihak yang terlibat dalam operasi penculikan dan penghilangan paksa sejumlah aktivis 1998.

 

 

Menariknya, di jajaran kabinet Prabowo, terdapat sejumlah aktivis HAM–yang juga pernah menjadi korban pelanggaran HAM pada kerusuhan Mei 1998.

Wakil Menteri HAM Mugiyanto Sapin, misalnya, merupakan aktivis Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) yang diculik Tim Mawar–tim elit dari Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI yang kuat diduga menjadi dalang penculikan aktivis 1998. Saat itu, Prabowo adalah Komandan Kopassus. Wakil Menteri Komunikasi dan Digital Nezar Patria dan Wakil Menteri Perindustrian Faisol Riza juga merupakan korban penculikan Tim Mawar.

Ada pula Wakil Menteri Sosial Agus Jabo Priyono yang merupakan pendiri Partai Rakyat Demokratik (PRD)–partai yang ikut berkontribusi dalam menumbangkan Orde Baru.

Lalu ada Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Fahri Hamzah, seorang aktivis Kesatuan Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) sekaligus aktivis yang ikut melawan rezim Orde Baru. Terakhir, ada Budiman Sudjatmiko yang saat ini menjadi Kepala Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan (BP Taskin). Ia adalah aktivis PRD yang pernah dipenjara.

Banyaknya aktivis HAM dan korban Orde Baru seakan menunjukkan rezim Prabowo akan lebih peka dengan penegakkan HAM–atau setidaknya menyeimbangkan citra Prabowo yang telah lama dianggap sebagai pelanggar HAM.

Namun tampaknya yang terjadi saat ini tidak sesuai harapan. Hal yang lebih mengerikan adalah, pihak pemerintah, termasuk para aktivis tersebut, justru ikut serta dalam agenda pemutarbalikkan fakta yang bertujuan mengubur perlahan isu pelanggaran HAM rezim masa lalu.

Ini mereka lakukan dengan konsep naming dan shaming, yaitu mengarahkan narasi dengan kapasitas mereka sebagai korban. Sehingga, itu dapat membalikkan konteks dan membuat publik merasa isu ini tak lagi relevan untuk dibahas.

Baca juga: Perjuangan #MenolakLupa: Kemana Memori Kolektif tentang Pelanggaran HAM Masa Lalu?

Konsep Naming dan Shaming

Naming dan shaming dalam isu HAM adalah salah satu strategi yang digunakan untuk memberikan label negatif dan mempermalukan pelaku pelanggaran HAM–biasanya pemerintah–agar memiliki beban moral.

Naming dan shaming dapat didefinisikan sebagai pengumpulan dan penyebaran bukti pelanggaran HAM dengan maksud mempermalukan pemerintah. Tujuan jangka panjangnya adalah agar pemerintah patuh dan melakukan upaya terukur untuk menuntaskan masalah HAM.

Naming adalah identifikasi publik oleh beberapa aktor atas bukti pelanggaran HAM yang dilakukan pelanggar. Sementara shaming mengacu pada tujuan strategis di balik naming, yakni kemungkinan bahwa penamaan akan menyakinkan target untuk menghentikan tindakan yang dikutuk secara luas.

Namun, strategi naming dan shaming tidak selalu memberikan efek jera yang signifikan. Utamanya karena rasa malu dan rasa bersalah adalah konsep yang rumit secara psikologi. Artinya, meskipun seorang pemimpin politik mengalami rasa malu atas pelanggaran HAM yang dilakukannya, hal tersebut tidak serta merta membuatnya berhenti melakukan tindakan serupa.

Sebuah riset tahun 2008 menganalisis hubungan antara upaya naming dan shaming dalam praktik HAM yang dilakukan pemerintah di 145 negara dari tahun 1975 hingga 2000. Riset tersebut menyebutkan bahwa pemerintah yang disoroti karena melakukan pelanggaran cenderung terus melanjutkannya, bahkan makin banyak melakukan pelanggaran HAM, meskipun dalam bentuk yang berbeda.

Baca juga: ‘Hotline 1998’: Dokumenter yang Rekam Rahasia Kelam Tragedi 1998

‘Counter’ Narasi oleh Pemerintah Melawan Publik

Di Indonesia, yang terjadi bahkan lebih buruk. Pemerintah bukan hanya tidak mengindahkan naming dan shaming oleh publik, tetapi justru meng-counter naming dan shaming tersebut dengan mengarahkannya pada korban pelanggaran HAM beserta keluarganya. Korban yang dimaksud adalah yang tidak termasuk dalam jajaran kabinet Prabowo, yang tentu jumlahnya lebih banyak.

Agenda counter semacam itu semakin mudah dilakukan karena hadirnya para korban dan aktivis HAM yang duduk di pemerintahan, bahkan menjadi pendukung Prabowo sejak masa kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.

Korban yang berada di jajaran kekuasaan ini berupaya melakukan counter narasi. Sementara publik dan korban pelanggaran HAM yang masih menuntut keadilan mengalami naming dan shaming sebagai orang yang tidak paham realitas sosial politik, tidak mau diajak kerja sama, tidak suka berdamai, lebih suka mempersoalkan masa lalu dibandingkan masa sekarang, tidak mendukung pemerintahan, dan banyak lagi pelabelan lainnya.

Padahal, kedua kubu “korban” tersebut dulunya berada di posisi yang sama yakni sama-sama memperjuangkan HAM.

Garis antara korban HAM dan pelaku kejahatan HAM menjadi semakin kabur. Akibatnya, publik tidak lagi mampu melihat dengan tajam perbedaan di antara keduanya.

Baca juga: Agar Permintaan Maaf atas Pelanggaran HAM Berat Tak Jadi Gula-gula Politik

Upaya Menghapus Ingatan Publik

Upaya counter narasi ini, misalnya, terlihat pada salah satu sesi debat Pilpres 2024 yang membahas isu HAM dalam beberapa kesempatan walaupun tidak dengan terang benderang. Saat itu, tim kampanye Prabowo berusaha melemahkan potensi pertanyaan kritis publik terkait pelanggaran HAM Prabowo melalui kehadiran aktivis 1998 dalam tim tersebut, di antaranya Budiman Sudjatmiko dan Andi Arief.

Saat debat berlangsung, Prabowo menegaskan ke hadapan publik bahwa para aktivis HAM dan mantan tahanan politik (tapol) yang diduga diculik olehnya kini berada di pihaknya dan menjadi pendukungnya.

Pernyataan ini seolah-olah memosisikan bahwa isu pelanggaran HAM Prabowo sudah tak perlu lagi dibahas. Ini berbahaya karena membalikkan logika dan berpotensi pada penarikan kesimpulan yang salah.

Contoh lainnya adalah saat Prabowo pada Januari 2024 menyampaikan permintaan maafnya kepada Agus Jabo dan Budiman dengan nada yang tidak tampak merasa bersalah.

“Ini juga sorry, Man. Dulu kejar-kejar elu juga. Tapi gue udah minta maaf sama lo ya”.

Kalimat ini sangat melemahkan proses hukum dan menempatkan “maaf” sebagai solusi atas dugaan pelanggaran HAM yang dilakukannya.

Partai Gerindra, sebagai partai yang dipimpin Prabowo, juga ikut menciptakan narasi bahwa kasus pelanggaran HAM bisa diselesaikan tanpa proses yudisial. Pada Agustus lalu, sejumlah petinggi partai menemui keluarga korban kasus penculikan dan penghilangan paksa 1998 sembari memberikan uang.

Selain menyamarkan kejahatan, apa yang dilakukan Gerindra tersebut juga merusak upaya keluarga korban untuk mendapatkan kepastian hukum karena seolah-olah telah mendapat ganti rugi.

Ketika sejumlah aktivis dan korban pelanggaran HAM tersebut kini menempati berbagai posisi di pemerintahan, pelabelan negatif kepada pelaku pelanggaran jadi makin sulit dilakukan.

Ini semua menjadi upaya pemerintah untuk perlahan menghapus ingatan publik atas dosa pelanggaran HAM yang dilakukan negara. Pelaku yang kini berkuasa ingin lepas dari pertanggungjawaban tanpa proses peradilan.

Baca juga: Pemilu 2024: Semua Capres ‘Berlumur Darah’

Publik Perlu Bantuan Media

Semakin kaburnya garis antara pelaku dan korban merupakan situasi yang tidak saja merugikan korban lainnya, namun juga melemahkan akal sehat. Jika ini terus berlanjut, publik akan semakin jauh dari isu ini dan berjarak dengan realitas tersebut. Lama kelamaan mereka akan merasa isu HAM ini sulit dipahami dan tidak lagi relevan untuk dibahas.

Pada titik inilah media berperan besar untuk tetap menggaungkan isu HAM ke publik. Media jangan hanya copy paste pernyataan politikus tanpa memberikan upaya untuk mengimbangi wacana tertentu dengan konteks yang lebih dalam. Jangan sampai, media ikut melakukan narasi counter shaming dan naming terhadap rakyat.

Media sah untuk mengutip apa yang disampaikan narasumber, tetapi juga perlu kritis untuk mengimbangi narasi umum dan memberikan konteks yang setidaknya berpihak pada korban dan keluarganya. Media sebaiknya menghindari penggunaan istilah-istilah yang berpotensi melemahkan atau bahkan menegasikan perjuangan HAM.

Dalam mengutip, media perlu memilah narasumber yang kredibel. NGO yang bergerak di isu HAM atau yang di dalamnya terdapat aktivis HAM, misalnya, dapat menjadi penyedia informasi maupun sarana verifikasi. Ini karena tugas media tidak hanya menyampaikan informasi (information subsidy) tetapi juga menyampaikan verifikasi (verification subsidy).

Narasi naming dan shaming yang dilakukan para aktivis dan korban pelanggaran HAM yang duduk di pemerintahan perlu diimbangi dan dilawan. Tujuannya agar kepentingan publik dalam menuntut pertanggungjawaban pemerintah atas dosa HAM negara dapat terus bergaung, sampai korban pelanggaran HAM dan keluarganya mendapatkan keadilan.

Senja Yustitia, Dosen, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.



#waveforequality


Avatar
About Author

Senja Yustitia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *