Ngobrol Soal Janda Bareng Politisi Luluk Nur Hamidah: Ternyata Memang Tak Seseksi Stigmanya
Dulu Luluk kerap dihina dan dianggap tak utuh karena status jandanya. Kini setelah jadi politisi, ia gencar memperjuangkan hak janda di Indonesia.
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta boleh saja usai. Namun, memori objektifikasi janda dalam kampanye Pilkada relatif masih melekat di kepala. Sebut saja olok-olok janda yang dilakukan Ridwan Kamil (RK) yang menyebut janda-janda akan disantuni oleh Pak Habiburokhman, akan diurus lahir-batin oleh bang Ali Lubis. Pun Suswono yang menyarankan janda kaya menikahi cowok mokondo.
Seksisme dan diskriminasi terhadap janda inilah yang jadi pemantik diskusi “Marak Seksisme dan Olok-olok Janda di Kampanye Pilkada, Kok Masih Dipilih?”, (4/12) lalu. Diselenggarakan oleh Literasi Pemuda Indonesia (LPI), acara ini menghadirkan pegiat isu gender, pakar komunikasi, perwakilan pemerintah, dan politisi perempuan. Mereka mendiskusikan kenapa janda masih jadi objek candaan tak perlu dalam momen Pilkada.
Salah satu pembicara, Luluk Nur Hamidah bercerita tentang pengalaman pribadinya diolok-olok saat masih berstatus janda. Bahkan ketika masuk gelanggang politik pun, candaan tentang janda yang cenderung merendahkan perempuan, masih tetap dinormalisasi. Pengalaman inilah yang membuat politisi Partai Kebangkitan Bangsa sekaligus Calon Gubernur Jawa Timur itu, getol memperjuangkan hak-hak perempuan, khususnya janda lewat jalur politik.
Di Pilkada Jawa Timur, ia menyuarakan agar negara hadir dalam perlindungan semua perempuan tanpa kecuali, termasuk janda muda. Sebab, janda termasuk salah satu kelompok yang rentan terhadap berbagai diskriminasi dan kekerasan seksual. “Janda muda juga memiliki perjuangan yang berat dan membutuhkan dukungan konkret dari pemerintah,” ucap Luluk saat saat memberikan sambutan di Pondok Pesantren Badridduja, Kraksaan, Probolinggo, (23/10), dilansir dari Rmol.
Luluk sendiri adalah perempuan politisi asal Jombang, Jawa Timur. Dilansir dari Pikiran Rakyat, ia telah malang melintang di Parlemen RI. Selama di DPR, Luluk cukup vokal mengadvokasikan hak-hak perempuan dan kelompok marjinal lain. Salah satunya, dalam advokasi Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) 2022 silam. Tak cuma itu, Luluk pun menjadi sponsor yang mendukung pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) hingga sekarang.
Baca juga: The Life and Legacy of Saparinah Sadli: Championing Gender Equality and Inspiring Generations
Menjadi Janda Sering Dianggap Tak Utuh
Sebelum menikah dengan akademisi Alfitra Salam pada 2021, Luluk menjanda sejak 2005. Saat menyandang status janda, ia kerap mendapatkan stereotip dan stigma buruk. “Jadi karena dianggap janda, kemudian kemanusiaan kita ini dianggap separuh (tidak utuh),” ujar Luluk.
Dalam dunia politik yang maskulin, stigma janda ini terus dilanggengkan dan dinormalisasi. Enggak heran setiap janda yang ingin mencalonkan diri sebagai pejabat publik selalu direkomendasikan untuk segera menikah agar terlihat “lengkap”. Enggak jarang, ujaran ini sering berujung pada tindak pelecehan seksual. Sebab, janda kerap dinilai tersedia secara seksual, sehingga jadi bulan-bulanan pelecehan.
“Sering kali dianggap bahwa jabatan politik atau jabatan publik itu harus utuh dilakukan oleh seseorang yang mungkin tidak sebelah (bukan janda). Itu terus-menerus didorong, ‘Udah pokoknya kamu itu menikah saja, menikah saja. Tapi misalkan enggak menemukan juga atau enggak menikah-menikah, ya udah sini sama saya’. Itu kan gila banget. Padahal janda juga seseorang yang (harus) kita hargai,” terang Luluk.
Ujaran semacam itu bukan sekali dua kali muncul dan ia terima. Selain kerap dianggap tidak utuh, janda yang memilih untuk bekerja di ruang publik, sering mendapatkan stigma sebagai ibu yang tak bertanggung jawab. Dari pengalamannya, Luluk bercerita, kerap dicibir bahkan oleh sesama perempuan.
“Ada perempuan kolega saya itu bilang, ‘Oh gitu ya, jadi anak kamu di mana? Dibawa suami ya?’ Jadi seolah-olah kita ini tiba-tiba menjadi pendosa. Padahal dia tidak tahu bagaimana kemudian kita itu berjuang setiap hari untuk anak,” kenang Luluk.
Berikutnya juga pernah terjadi di DPR. Bayangkan di DPR itu anggota-anggota Dewan yang terhormat, tetapi tidak selalu terhormat sebenarnya perilakunya. Enggak perlu dicari-cari kasusnya, tapi (pelecehan dan objektifikasi janda) ada di mana-mana.
Menurutnya, enggak ada yang salah ketika perempuan menjadi janda mati atau memilih untuk jadi janda cerai hidup. Mereka tetap punya hak yang sama untuk berkontribusi dan dianggap setara. Perempuan janda juga berhak dimanusiakan dan tak dilekati sejumlah stigma negatif.
“Kita tetap menjadi manusia yang utuh. Kita tetap memiliki hak untuk bisa berkontribusi di tempat yang terbaik yang itu bisa kita capai. Kita bisa melakukan sesuatu yang kita bisa lakukan menurut versi kita,” imbuhnya.
Berjuang untuk Semua Perempuan
Berangkat dari pengalaman menjadi janda selama puluhan tahun pula, Luluk terpacu untuk ikut memperjuangkan hak-hak perempuan. Salah satu pengalaman yang lekat dalam ingatannya adalah ketika ia mendampingi ibu tunggal yang ingin mendapatkan hak asuhnya kembali. Sebagai informasi, sang mantan suami membawa kabur anaknya secara sepihak.
“Itu yang kemudian membawa saya mengadvokasi begitu banyak isu perempuan. Kalau masih ingat ya, ada beberapa masalah (hak asuh ibu tunggal) yang kemudian berjuang dan akhirnya berhasil menang di Mahkamah Konstitusi. Jadi siapa pun yang membawa anak tanpa hak asuh yang diakui hukum, sekarang bisa dianggap sebagai tindak pidana,” jelas Luluk.
Jalur advokasi pun ia tempuh di gelanggang politik. Saat di DPR, ia sering menegur keras tindak pelecehan seksual, khususnya yang dialamatkan pada janda. Ia bilang, tidak semestinya pelecehan terhadap perempuan dijadikan budaya pada sebuah institusi seperti DPR. Luluk mengakui, perjuangan menegur dan meliterasi politisi seksis tidaklah mudah. Ini mengingat dunia politik identik dengan maskulinitas. Namun, Luluk kukuh melawan objektifikasi perempuan dan janda yang dinormalisasi di sana.
“Berikutnya juga pernah terjadi di DPR. Bayangkan di DPR itu anggota-anggota Dewan yang terhormat, tetapi tidak selalu terhormat sebenarnya perilakunya. Enggak perlu dicari-cari kasusnya, tapi (pelecehan dan objektifikasi janda) ada di mana-mana. Karena itulah saya ini seperti melakukan perlawanan di dalam.”
Baca juga: Sastrawan Perempuan Korea Beri Suara untuk Mereka yang Dibungkam
“Sekali, dua kali, ok, saya masih diem. Ketiga kali itu masih juga diem. Keempat kali baru saya bilang, ‘Oh begini ya, cara laki-laki itu membangun ekosistem di ruang politik?’ Saya bilang, ‘No, no more kejadian seperti itu,’” ucapnya.
Mungkin inilah yang bisa dilakukan perempuan politisi untuk melawan sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.