Belajar dari Torobulu, Mungkinkah Setop Kriminalisasi Pejuang Lingkungan?
Aktivis lingkungan ramai-ramai dikriminalisasi di jalur perjuangan. Bagaimana mendorong munculnya kebijakan agar nasib mereka lebih terlindungi?
Siang itu, (6/11), suasana di Simpang 3, Desa Torobulu, Sulawesi Tenggara memanas. Beberapa warga bersitegang dengan Bintara Pembina Desa (Babinsa) yang berusaha menertibkan aksi protes penolakan tambang PT Wijaya Inti Nusantara (WIN). Warga setempat sudah kehilangan kesabaran melihat ulah perusahaan milik Frans Salim Kalalo dan Anthony Kalalo, yang nekat mengais biji nikel kurang dari 100 meter dari permukiman.
Akibat ulah PT WIN, sejumlah dampak buruk mengintai warga. Mulai dari debu pekat galian tambang yang menyesakkan paru-paru hingga potensi longsor. Firmansyah, 42 yang rumahnya cuma berjarak 50 meter dari lokasi adalah salah satu warga yang kena dampaknya.
“Mereka tidak pernah minta persetujuan kami. Kami terus meminta AMDAL (Analisis Dampak Lingkungan dan RKAB (Rencana Kerja dan Anggaran Biaya), tapi mereka tak pernah berani menunjukkannya,” ujar Firmansyah.
Sebelumnya pada 21 September 2023, warga sempat meminta perusahaan berhenti beroperasi. Dibantu oleh aparatur Desa Torobulu, baik warga dan perusahaan sama-sama diminta untuk menahan diri. Warga diminta tidak melakukan aksi penolakan dan perusahaan dilarang melanjutkan aktivitas tambang. Memang aktivitas tambang sempat diberhentikan sementara, namun belum genap satu minggu, mereka kembali menggali nikel.
Pada saat itulah kemarahan warga memuncak. Firmansyah bersama warga penolak tambang lainnya melakukan aksi protes dan berusaha menghentikan beberapa alat berat. Haslilin, 31, bersama beberapa perempuan penolak tambang lain tanpa rasa takut berteriak dan mengadang eskavator pertambangan untuk berhenti melakukan penggalian. Sementara Firmansyah yang menggenggam tanah di tangan kanan, maju ke depan eskavator untuk memberi kode kepada operator agar alat berat itu dihentikan. Namun siapa sangka, tindakan ini justru mengirimkannya ke penjara.
“Orang operator orang sini juga, mereka tau maksud (tindakan) saya itu untuk minta alat berat diberhentikan dulu. Tapi saya justru dituduh melempar alat,” sebut Firmansyah.
Baca Juga: Warga Torobulu dan Mondoe di Lumbung Nikel: Janji Kesejahteraan, Berbuah Kemiskinan
Jalan Terjal Perjuangan Tolak Tambang
Bersama 32 warga penolak tambang lainnya, Haslilin dan Firmansyah dilaporkan atas tuduhan penghalangan kegiatan tambang. Mereka berdua lalu dijadikan tersangkaberdasarkan Pasal 162 Undang-Undang Minerba junto Pasal 55 KUHP.
Status tersangka ini tak lepas dari usaha perusahaan membungkam keduanya. Sebelum dikriminalisasi, Haslilin dan Firmansyah sempat beberapa kali ditawari hadiah oleh pihak perusahaan, senilai Rp200 juta per orang. Sebagai gantinya, nama mereka akan dibersihkan jika bersedia mundur dari gerakan tolak tambang. Firmansyah juga pernah mendapatkan tawaran kiriman uang setiap bulan sebanyak Rp4 juta. Sedangkan Haslilin sendiri dijanjikan akan dilunasi semua utang, dibantu cicilan mobil, dan diperbesar modal usahanya.
“Banyak ditawarkan bantuan, tapi kami menolak. Saya sendiri bilang biarkan saya keliling berutang daripada saya terima uang itu,” ucap Haslilin.
Sebagai orang tua yang memikirkan masa depan anak-anak, mereka kukuh tetap berada di garda depan aksi penolakan tambang. Mereka tidak mau nantinya Torobulu hanya menyisakan tanah gersang tanpa sumber penghidupan dan air bersih. Sayang, ongkos kegigihan mereka harus dibayar mahal.
Sebelum dikriminalisasi, Haslilin berdagang sembako di pasar dengan penghasilan mencapai Rp4 juta. Dari berdagang, Haslilin bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarga, terlebih ketika suaminya tak punya pekerjaan pasti. Namun sejak dijadikan tersangka, usaha sembako Haslilin perlahan hancur. Pertama, ia dihancurkan lewat desas-desus, sehingga membuat pelanggan jadi enggan berbelanja sembako darinya. Ia juga rugi besar karena tiba-tiba sembako senilai Rp12 juta yang ia simpan dalam gudang dicuri orang.
Hancurnya usaha Haslilin bukan satu-satunya cobaan yang ia terima selama menolak tambang. Dalam proses mencari keadilan, Haslilin dan Firmasyah berulang kali mengalami intimidasi.
“Betul kan tapi bapak menghentikan aktivitas? Bapak hadir kan membuat kegiatan (tambang) itu berhenti?”
Berulang-ulang kalimat ini terus ditekankan oleh pihak kepolisian kepada Firmansyah selama pemeriksaan. Ia bercerita, pernyataannya sampai diubah dan dirobek berulang kali oleh Kepala Unit Kepolisian.
Baca Juga: Belajar dari Aktivisme Lokal Perempuan untuk Menjaga Lingkungan
“Pokoknya diarahkan seakan-akan mengakui apa yang disangkakan ke saya sampai terakhir saya tidak tau BAP itu sudah sesuai pernyataan saya apa belum,” jelas Firmansyah.
Selain dapat intimidasi di ruang pemeriksaan, selama proses persidangan Haslilin dan Firmansyah sempat menemui kesalahan fatal dalam pembuktian Majelis Hakim. Cappa, pendampung hukum keduanya mengungkapkan Majelis Hakim menggunakan limitasi waktu yang diatur dalam Undang-Undang 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan.
“Padahal ini kasus ini tidak ada dimensi hutannya, tapi yang dirujuk UU P3H. Sehingga, dalam proses pemeriksaan perkara sampai putusan ,limitasinya hanya 40 hari. Kalau saja kami tidak protes, proses pembuktian jadi sangat cepat dan tidak ada kebebasan bagi kami untuk memeriksa saksi-saksi yang dihadirkan jaksa penuntut umum dan yang kami hadirkan,” tutur Cappa.
Enggak cuma itu. Dalam proses pembacaan putusan sela, sempat terjadi pengerahan personel kepolisian yang tidak proporsional di dalam ruang sidang. Personel polisi ini mengelilingi Haslilin dan Firmansyah: Mereka ada di samping keduanya, di samping jaksa, serta di belakang hakim. Suatu waktu pernah juga persidangan yang seharusnya terbuka untuk umum tapi justru ditutup akses masuknya.
“Ditutupkan pagar jadi akhirnya tidak banyak orang yang masuk. Kami sampai bersurat dengan komisi yudisial di Sulawesi Tenggara agar mereka melakukan pemantauan atas persidangan ini,” kata Cappa.
Baca Juga: Membela Berujung Penjara: 5 Aktivis Lingkungan yang Dikriminalisasi Negara
Agar Tak Ada Haslilin dan Firmansyah Lain
Haslilin dan Firmansyah memang akhirnya divonis bebas pada (1/10) lalu. Majelis hakim yang dipimpin Nursinah, mempertimbangkan Haslilin dan Firmansyah tidak bisa dipidana karena memperjuangkan hak atas lingkungan hidup mereka. Ini adalah tindakan yang jelas dijamin dalam Pasal 2, 5, dan 30 tentang Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Majelis hakim juga meminta Jaksa Penuntut Umum (JPU) memulihkan martabat keduanya. PT WIN terbukti tidak melibatkan warga dalam pembahasan dan sosialisasi AMDAL di Desa Torobulu. Tindakan warga mempertanyakan dokumen AMDAL kepada perusahaan dinyatakan merupakan hal wajar.
Sayangnya vonis bebas Haslilin dan Firmansyah bukanlah akhir dari segalanya. Perayaan kemenangan harus ditunda karena perusahaan kini berupaya membatalkan putusan pengadilan di tingkat akhir atau kasasi.
Pusaran kriminalisasi yang menjebak Haslilin dan Firmansyah ini adalah realitas jamak yang harus dicicipi banyak warga yang memperjuangkan lingkungan hidup memang jamak terjadi. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menyebutkan pada kurun 2014 hingga 2024, ada 1.131 orang mengalami kekerasan dan kriminalisasi karena membela lingkungan hidup. 1.086 dari total kasus adalah laki-laki, 34 perempuan, sedangkan anak-anak sebanyak 11 orang. Dari jumlah itu 544 orang dituntut sampai ke pengadilan.
Kriminalisasi lanjut Walhi banyak terjadi terjadi di wilayah yang bersinggungan dengan proyek-proyek mercusuar yang melibatkan perusahaan-perusahaan besar dan pemerintah. Ini di antaranya termasuk proyek perkebunan (548 kasus), pertambangan (243 kasus), dan kawasan strategis pariwisata nasional (KSPN) atau proyek strategis nasional (PSN) (292 kasus).
Cappa mengungkapkan kriminalisasi melalui penggunaan proses hukum untuk membungkam dan menghentikan partisipasi masyarakat (umumnya disebut Strategic Lawsuit Against Public Participation atau SLAPP) ini banyak dilakukan oleh korporasi maupun pejabat publik yang merasa terganggu dengan partisipasi masyarakat luas. Penggunaan SLAPP lanjut Cappa semakin berbahaya karena di lapangan jamak terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi disebabkan oleh hubungan klientelistik antara para pejabat dan pengusaha.
“Hubungan informal ini yang membuat kepentingan warga dikesampingkan demi praktik bisnis para oligarki yang didukung para pejabat baik dari tingkat lokal maupun nasional,” jelas Cappa.
Kriminalisasi pejuang lingkungan sebenarnya bisa dihindari karena Indonesia sudah memiliki sejumlah instrumen hukum yang menjamin perlindungan mereka. Salah satu instrumen tersebut adalah pasal 66 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).
Sayangnya di lapangan pasal 66 UUPPLH ini kehilangan taringnya karena secara substansi terdapat ketidakjelasan beberapa unsur, seperti kejelasan definisi, arah jangkauan, kriteria serta operasionalisasi Anti-SLAPP dalam sistem hukum. Walhi bahkan mencatat hingga saat ini, tidak ada aturan pelaksana berkaitan dengan implementasi pasal 66.
Oleh karena itu, negara perlu mengambil peran besar dalam dua hal. Pertama, hadir untuk mendorong penyusunan regulasi turunan implementasi pasal 66 UU PPLH yang berkeadilan sebagai agenda prioritas. Kedua, berperan aktif dalam persoalan dalam industri pertambangan dari hulu dan hilir sehingga pengawasan dan evaluasi bisa dilakukan secara ketat dan rutin.
“Dicabut aja izin usahanya kalau memenuhi persoalan, pengawasan yang ketat, sanksi yang bisa bikin jera. Ada moratorium sehingga tidak terbit izin-izin baru. Memang pemerintah yang harus ambil peran besar. Jangan masyarakat disuruh berhadapan langsung dengan perusahaan,” tutup Cappa.
Ilustrasi oleh: Karina Tungari