Issues

Hari Ibu adalah Pengingat Agar Perempuan Bisa Memilih dengan Bebas

Entah mengurus rumah tangga atau berkarier di ruang publik, perempuan semestinya bisa memilih dengan bebas. Bukankah itu semangat Hari Ibu yang sesungguhnya?

Avatar
  • December 22, 2024
  • 5 min read
  • 179 Views
Hari Ibu adalah Pengingat Agar Perempuan Bisa Memilih dengan Bebas

Setiap momen Hari Ibu tiba di (22/12), kita selalu disuguhi puja dan puji serta glorifikasi pada sosok ibu. Seolah ibu memang sudah sewajarnya jadi manusia setengah dewa, serba bisa, tak punya pilihan selain mengabdi buat keluarga, serta mengorbankan hidupnya. Namun kerap kali kita lupa, ibu adalah manusia biasa yang karena kemanusiaannya, wajar merasa lelah, rapuh, juga berhak punya pilihan sendiri. Sekali pun pilihan ini tak cukup jamak di mata masyarakat umum. 

Tahun 2024, ada yang sedikit berbeda dari perayaan Hari Ibu. Ini karena muncul tren di media sosial di mana anak perempuan mengaku bersalah setelah melihat pengorbanan ibunya yang jadi ibu rumah tangga. Beberapa lainnya bahkan menyesal telah dilahirkan, sebab kehadiran mereka membuat sang ibu harus mengorbankan banyak hal. Masalahnya, ketimbang mengusung pesan lebih konstruktif, refleksi yang banyak muncul, tak menggarisbawahi betapa ibu-ibu harusnya punya hak buat memilih. 

 

 

Sebagai anak perempuan pertama, tren di media sosial itu mengingatkan saya pada sosok Mama. Ini adalah refleksi pribadi saya tentang bagaimana seharusnya memaknai peran ibu. Semoga refleksi ini bisa menjadi pengingat kita bersama tentang bagaimana seharusnya memaknai keberdayaan perempuan, khususnya di Hari Ibu ini. 

Ibu saya berusia 50 tahunan. Dulunya ia guru di salah satu sekolah dasar (SD), Depok, Jawa Barat. Setelah melahirkan si bungsu, Mama berhenti bekerja. Harus ada yang tinggal di rumah untuk mengurus anak-anak, katanya. Kenapa bukan Papa, pikir saya. 

Beranjak dewasa, Mama jadi sering ajak saya mengobrol soal banyak hal. Pada suatu hari, Mama bercerita, andai saat itu dia tidak memilih berhenti bekerja, mungkin kini sudah jadi Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan pendapatan tetap. Andai-andai itu disampaikan lagi berulang kali. Namun, di tiap akhir cerita, Mama enggak pernah lupa menyebutkan betapa bahagianya bisa melihat anak-anaknya tumbuh seperti sekarang, usai memilih jadi ibu rumah tangga penuh waktu. 

Kembali pada tren tentang pengorbanan ibu, tentu rasa bersalah sempat muncul di benak saya. Saya bertanya-tanya, apa memang sebaiknya Mama bekerja saja dan melanjutkan karier ketimbang mengurus tiga anaknya? Apa betul mengejar karier jauh lebih baik daripada memilih jadi ibu rumah tangga? 

Untuk menjawab kegalauan itu, saya berdiskusi dengan Hariati Sinaga, Dosen Kajian Gender Universitas Indonesia. Ia mengurai kegalauan saya dengan mengajukan pertanyaan balik: “Memangnya mengejar karier atau jadi ibu rumah tangga adalah pilihan yang bisa dibandingkan?” 

Baca juga: Dear Ibu, Jangan Lupa ‘Me Time’ Jadi Kunci ‘Parenting’ Sehat 

Kerja Domestik Bukan Kerja Rendahan 

Saya memahami kenapa ia bertanya demikian. Saat ini nyatanya masih banyak perempuan yang mesti mengubur mimpinya demi mengurus rumah. Di saat bersamaan, meski mengorbankan karier di ruang publik, kerja pengasuhan yang dilakukan perempuan tak dianggap sama nilainya.  

“Dari tren di media sosial soal pengorbanan ibu, aku melihat ada bias di masyarakat yang masih menganggap kerja di ruang publik lebih baik dibandingkan ranah reproduktif (kerja domestik). Ini bukan berarti mengesensikan, perempuan sudah pasti tugasnya di ranah reproduktif ya, tidak seperti itu. Hanya saja perempuan di ranah reproduktif sering kali dianggap remeh dan terpinggirkan,” kata Hariati. 

Kenapa ini bisa terjadi? Kata dia, konstruksi gender punya peran besar dalam membentuk pandangan tersebut. Ada penilaian yang keliru terhadap kerja reproduktif di mana dinilai tidak membutuhkan skill. “Apapun yang dipelajari, apapun kemampuan perempuan di ranah reproduktif itu akan dianggap bukan skill. Padahal mungkin banyak sekali skills yang sebenarnya dimiliki oleh ibu rumah tangga,” tambahnya.  

Dalam konteks struktural, pengecilan kerja pengasuhan perempuan, didorong oleh doktrin ibuisme yang dilanggengkan oleh negara di masa Orde Baru. Pembakuan dan pengekangan peran gender perempuan untuk mengurus rumah, bikin publik menilai kerja domestik adalah kerja-kerja yang membelenggu dan merugikan perempuan. 

“Pada masa Orba sebenarnya konteksnya mengekang perempuan. Ada peran gender yang dikekang, di mana perempuan itu nomor dua dalam keluarga dan fokus pada kerja-kerja domestik. Kalau ditarik ke tren kali ini, ibuisme punya peran dalam membentuk anggapan bahwa kerja domestik lebih rendah karena yang dianggap kepala keluarga itu laki-laki,” ucapnya. 

Baca juga: Tak Sekadar ‘Joke’ Dicoret dari KK, Tupperware Ternyata Berdayakan Ibu-ibu 

Menyadur Jurnal Perempuan, Julia Suryakusuma, aktivis perempuan dan penulis buku Sex, Power, Nations, menyebutkan ibusime adalah konstruksi peran gender yang dibuat negara. Hal ini membentuk peran perempuan sebagai pelaku pekerjaan domestik saja. Sehingga, perempuan saat itu akan mutlak menjadi angkatan kerja kapitalisme yang tidak dibayar.   

Enggak cuma itu, nyatanya, belum adanya pengakuan pada kerja-kerja domestik dari negara juga semakin memperburuk anggapan masyarakat terhadap pekerjaan satu ini. Sampai sekarang, kerja domestik masih dianggap sebagai sesuatu yang tidak memiliki nilai ekonomi. 

“Konteks pengorbanan muncul karena kita melihat kerja reproduktif itu enggak kelihatan fungsinya buat keberlangsungan ekonomi. Ini juga ada kaitannya dengan pengesahan perlindungan pekerja rumah tangga. Belum disahkan, belum diakui, karena negara masih melihat ini (kerja domestik) sebagai sesuatu yang marjinal, enggak ada nilainya,” tutur Hariati. 

Kita Perlu Dorong Agar Ibu Punya Pilihan 

Setelah melalui beberapa kali proses refleksi, hari ini pandangan saya pun berubah. Ternyata, apa pun keputusan ibu, kita hanya perlu mendukung pilihan itu. Di saat bersamaan tetap berterima kasih atas semua hal baik yang telah ia berikan. Tidak ada pilihan yang lebih buruk dari pilihan lainnya. Jadi ibu rumah tangga atau pekerja di ruang publik, semuanya sama-sama baik. Dengan catatan selagi perempuan bisa bebas memilih jalan hidup seperti apa yang ia inginkan ke depan. 

Baca juga: ‘The Colours of Mothers’: Puisi Paling Jujur tentang Ibu 

Namun, hal ini tentu tidak meniadakan setiap rasa sakit, peluh, dan waktu yang telah ibu curahkan pada tiap perjuangan di masing-masing pilihannya. Mungkin, di luar sana, masih ada perempuan yang belum bisa memilih dengan bebas. Karena itu, perlu saling mendukung tanpa menghakimi perempuan. 

“Mau bekerja maupun tidak, itu seharusnya jadi pilihan. Semoga para perempuan dan masyarakat pada umumnya sadar untuk bisa jadi kawan yang saling mendukung apa pun pilihan masing-masing,” ujarnya. 



#waveforequality


Avatar
About Author

Syifa Maulida

Syifa adalah pecinta kopi yang suka hunting coffee shop saat sedang bepergian. Gemar merangkai dan ngulik bunga-bunga lokal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *