Issues Opini Safe Space

Bagaimana Cara Menyelamatkan Yati Pesek Jika Kita Penontonnya? 

Kekerasan verbal yang dilakukan Miftah Maulana pada Yati Pesek melahirkan tanda tanya penting. Bagaimana kita harus bersikap sebagai penonton?

Avatar
  • December 22, 2024
  • 4 min read
  • 79 Views
Bagaimana Cara Menyelamatkan Yati Pesek Jika Kita Penontonnya? 

Kita mungkin masih ingat “candaan” sarat kekerasan Miftah Maulana kepada penjaja es teh di ceramah Magelang, Jawa Tengah. Setelah melontarkan kata kasar dan terbahak bersama rekannya di atas panggung, Miftah langsung dirujak warganet. Masalahnya, kekerasan verbal itu bukan kali pertama ia lakukan. 

Dalam video lain, Miftah tertangkap melontarkan candaan seksis yang mengarah pada pelecehan seksual. Guyonan tidak pantas ini ia alamatkan pada seniman dan pemain ketoprak senior, Yati Pesek. Sebelas dua belas dengan kejadian di Magelang, para penonton dan orang di panggung juga ikut menertawakan Yati Pesek. 

 

 

Saya marah sekali. Bagaimana bisa kita tak melakukan apa-apa saat kekerasan di depan mata? Padahal sebagai saksi mata dari tindak kekerasan, penonton sebetulnya punya peran penting. Melansir Rape Crisis England & Wales, intervensi langsung terhadap aksi ini bisa mencegah korban mengalami bahaya lebih lanjut, baik fisik, mental, maupun emosional. Respons dukungan juga penting untuk menunjukkan solidaritas terhadap korban. 

Jadi, alih-alih ikut terbahak, sudah semestinya penonton bisa membantu Yati dan korban-korban lain—jika ada—untuk menegur Miftah. 

Ratri Ninditya (Ninin), Koordinator Peneliti dari Koalisi Seni mengomentari kejadian ini. Menurutnya, setiap orang termasuk seniman perempuan, berhak mendapatkan ruang aman, apalagi di lingkungan kerjanya di pagelaran seni. Saya berdiskusi dengan dia tentang tips yang bisa dilakukan sebagai penonton ketika menyaksikan pengalaman kekerasan orang lain: 

1. Enggak Ikut Tertawa 

Jika saya ada di tengah pertunjukan wayang tersebut, tentu saya enggak akan ikut ketawa. Yang dilemparkan Miftah kepada Yati adalah mutlak pelecehan. Tidak ada yang lucu atau patut ditertawakan dari hal ini.  

Enggak ikut tertawa atas guyonan seksis Miftah juga bermakna besar buat korban. Pasalnya dengan tidak ikut tertawa, saya telah memilih untuk berpihak pada korban. Saya tidak akan pernah menganggap candaan seksis semacam itu sebagai hal yang normal untuk dilontarkan.  

Ninin sendiri mengaku kaget melihat respons penonton yang ada dalam pertunjukan tersebut. Menurutnya, untuk tindakan pelecehan seksual di depan publik, sudah semestinya guyonan seksis Miftah dikecam di tempat. Masalahnya, respons penonton dan seniman lain dalam pertunjukan tersebut hadir dalam bentuk yang sebaliknya. Bagi Ninin, hal ini menunjukan bagaimana kesadaran tentang kekerasan seksual masih rendah di antara para pelaku yang terlibat. 

“Kekerasan seksual yang terjadi itu kan di depan publik ya. Artinya kekerasan seksual itu sangat dinormalisasi dalam lingkungan kesenian. Kesadaran tentang kekerasan seksual tampaknya juga masih rendah di antara para pelaku,” jelas Ninin.  

2. Protes dan Mengutuk Tindakannya 

Langkah selanjutnya adalah melakukan teriakan protes secara langsung. Ketika ada di tempat kejadian, tindakan semacam ini adalah aksi interupsi untuk menyerukan, apa yang sedang terjadi merupakan sesuatu yang salah. Kepada Miftah, mungkin saya akan berteriak “Woi! Itu pelecehan!”.  

Dalam Rape Crisis England & Wales sendiri, aksi semacam ini termasuk ke dalam rangkaian tindakan yang bisa dilakukan ketika kita melihat kekerasan seksual. Intervensi ini sering kali disebut “Direct”, atau melakukan tanggapan langsung terhadap apa yang tengah terjadi.  

Meskipun memiliki risiko serangan balik, tindakan semacam ini termasuk sebagai salah satu aksi yang penting. Dengan menginterupsi secara langsung, kita dapat memperjelas apa yang sedang terjadi tidak bisa dilanjutkan dan tidak pantas ditertawakan.  

3. Lapor pada Pihak Penyelenggara 

Selesai pertunjukan, mungkin saya juga akan melakukan protes terhadap pihak penyelenggara. Pasalnya, semua orang, khususnya seniman dalam lingkungan kesenian, berhak atas ruang kerja yang aman.  

Dalam hal ini, Ninin pun sepakat. Semestinya perlu ada tindakan lanjutan dari pihak penyelenggara terhadap pelecehan seksual yang menimpa Yati. Dalam lingkup kesenian sendiri, Ninin menegaskan bahwa hak atas ruang aman adalah bagian dari hak dasar terhadap kehidupan kebudayaan yang layak. 

“Semua pelaku seni itu sangat berhak untuk mendapatkan ruang aman saat berkegiatan. Dan hal ini adalah bagian dari hak atas akses mereka terhadap kehidupan kebudayaan. Ini termasuk ke dalam isu kebebasan berkesenian yang nilai-nilainya diadopsi dari hak dasar, hak asasi manusia. Dan pada kasus ini, hak Yati untuk mendapat ruang aman tidak terpenuhi,” pungkas Ninin. 

Ilustrasi oleh: Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Syifa Maulida

Syifa adalah pecinta kopi yang suka hunting coffee shop saat sedang bepergian. Gemar merangkai dan ngulik bunga-bunga lokal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *