Kasus I Wayan Agus dan Pembelaan Menggebu-Gebu sang Ibu
Bagaimana seharusnya orang tua bersikap ketika anak sendiri menjadi pelaku kekerasan seksual? Membela anak atau mendorong penyelesaian kasus yang berperspektif korban?
*Peringatan pemicu: Kasus kekerasan seksual.
Pembelaan orang tua kepada anaknya yang melakukan kekerasan seksual kerap terjadi dalam beberapa kasus. Mendukung anak memang salah satu tugas orang tua. Namun apakah ini termasuk menghilangkan tanggung jawab untuk mendidik dan mengakui kesalahan ketika anak terlilit kasus kekerasan?
Pembelaan orang tua terhadap anak juga tampak dalam kasus kekerasan seksual I Wayan Agus Suartama. Dalam potongan video di media sosial, Agus menangis di pelukan ibunya, I Gusti Ayu Aripadni. Dalam video yang sama, Ayu berkata pada jaksa, anaknya tak bisa melakukan beberapa aktivitas dasar sendiri. Agus yang sejak kecil tak memiliki lengan, butuh bantuan ibunya dalam kegiatan sehari-hari.
Baca juga: Kasus Kekerasan Seksual I Wayan Agus: Siapa pun Bisa Jadi Pelaku Termasuk Orang Disabilitas
Narasi yang dikatakan Ayu sebenarnya tak baru. Alasan itu juga dia pakai untuk menyangkal laporan kekerasan seksual terhadap anaknya. “Saya yakin anak saya tidak melakukan itu. Karena apa? selama ini buang air kecil, buang air besar, mandi saya yang bantu,” ujarnya sebagaimana dikutip dari kanal Youtube Koranlombok.
Klarifikasi semacam ini sempat membuat Ade Lativa dan Andre Safutra, pendamping korban kekerasan seksual yang dilakukan Agus, kewalahan menghadapi netizen yang menelan informasi itu mentah-mentah. Bahkan jurnalis pun kerap melemparkan pertanyaan yang menyangsikan kebenaran perbuatan Agus.
“Mereka akan menanyakan pertanyaan yang tidak sensitif kepada kondisi korban, seperti yang ditanyakan oleh netizen. Misalnya, ‘kenapa bisa mau korban dibawa ke homestay dan disetubuhi?’” ujar Ade Lativa kepada Magdalene, ketika ditelepon pada (10/1).
“Korban jelas enggak mau, tapi kan ada kondisinya. Itu kan untuk kita kemudian memberikan keterangan itu dan akhirnya didengar oleh masyarakat itu kan enggak bisa langsung masuk,” lanjutnya.
Awalnya, Adel, panggilan untuk Ade, tak mau kasus ini diketahui publik. Status kelompok rentan yang dimiliki korban dan pelaku, yakni perempuan dan orang dengan disabilitas, jadi alasan untuk menjalankan proses hukum secara klandestin alias diam-diam.
Pun demikian, cuplikan Agus dan sang Ibu dalam wawancara menyangkal semua kejadian yang dialamatkan padanya, duluan viral di media sosial. Penyangkalan ini membuat warganet mengadopsi pemikiran ableisme, yang menekankan disabilitas tak berdaya dan tak mungkin melakukan kekerasan seksual.
Adel terpaksa membuat kontra-narasi dengan menceritakan kronologi versi korban kepada media. Sementara Andre menilai, dukungan orang tua kepada anak dalam kasus Agus sebenarnya sah-sah saja. “Tidak ada larangan ibu mendukung anaknya, tetapi harus dikuatkan dengan bukti-bukti,” jelasnya.
Baca juga: Darvo: Tindakan Manipulatif Pelaku Kekerasan Seksual
Membela dengan Tepat
Selaras dengan pendapat Andre soal menyertakan pembuktian, psikolog sekaligus seksolog klinis Zoya Amirin mengatakan dalam kasus kekerasan seksual orang tua pelaku harus belajar mendengar kronologi dan perspektif korban. Selagi proses pemeriksaan berjalan, orang tua juga harus berupaya meyakinkan anaknya untuk jujur dan tidak menutup-nutupi kesalahan.
“Pokoknya orang tua harus bilang ke anak, ‘kamu jujur aja what’s really going on? Kalau ternyata ada pembuktian yang mengatakan kamu enggak salah, kita akan lakukan segala cara untuk memperbaiki namamu,’” ujarnya melalui telepon aplikasi perpesanan, (13/1).
“‘Tapi kalau misalnya kamu salah, aku akan terus dampingi kamu. Bahwa yang namanya orang baik itu, bukan orang yang enggak pernah melakukan kesalahan, tapi bagaimana caranya dia memperbaiki kesalahannya, that’s make you a good person,’” lanjutnya.
Penyangkalan kepada kronologi korban, menurut Zoya, berkaitan dengan orang tua yang merasa mengerti anak sepenuhnya. Pola pikir “saya tahu banget anak saya” akan mendorong orang tua untuk bersikap defensif ketika anaknya terbukti melakukan kesalahan.
Penyangkalan ini membuat warganet mengadopsi pemikiran ableisme, yang menekankan disabilitas tak berdaya dan tak mungkin melakukan kekerasan seksual.
Padahal, anak bisa saja bersikap baik di depan orang tua sebagai mekanisme bertahan, tetapi berperilaku berbeda dalam lingkungan pergaulan. Terutama pergaulan yang memiliki budaya misoginis, terkadang menuntut seseorang mengadopsi nilai serupa agar diterima. Nilai patriarki yang kental di tengah masyarakat juga berperan penting membuat anak dengan mudah terpapar budaya pemerkosaan yang dinormalisasi.
Di tengah masalah struktural ini, orang tua tak bisa mengeklaim mengerti dan mengetahui tindak-tanduk anak seratus persen. Tuntutan untuk mengontrol anak sepenuhnya tak masuk akal. Karena itu, Zoya menerangkan, orang tua harus mengakui terdapat sisi anak yang tidak diketahui.
“Saya paham ada anggapan ‘anak ini out of character deh kayaknya, di rumah seperti ini, kok (di luar) seperti itu’, tapi kadang-kadang yang orang tua juga lupa, gimana kalau dengerin dulu, apa sih yang sebenarnya terjadi, apa sih yang dia lakukan?”
Jika proses pemeriksaan sudah dilakukan dan ternyata anak terbukti bersalah, orang tua perlu meninjau kembali pola asuh yang diterapkan. Tanpa mengakui kekurangan informasi tentang anak, orang tua tidak akan menemukan kesalahan pola asuh dan merasa tidak perlu melakukan evaluasi.
“Kalau kita defensif, kadang-kadang kita lupa dan bilang ‘it’s not about us’, kadang-kadang kita melakukan itu, karena kita mau membela diri kita aja, kita si paling bener, kan enggak bisa kayak gitu,” tegas Zoya.
Tindakan baru bisa diambil jika orang tua benar-benar memahami duduk perkara dan menerima bahwa anaknya bisa saja melakukan kesalahan. “Kadang-kadang kan memang kita sulit percaya kalau anak kita melakukan kesalahan. Tapi juga mengatakan itu (dia tak mungkin bersalah), lebih berbahaya lagi.”
Baca juga: Memaafkan Predator Seks Berkedok Agama: ‘Mereka Muslim, Pasti Orang Baik’
Bertebaran di Media Sosial
Pembelaan kepada anak pelaku kekerasan seksual tak hanya membuatnya merasa tidak bersalah, tetapi juga berpengaruh pada korban. Klarifikasi Agus dan pembelaan Ayu yang dilakukan secara terbuka membuatnya dapat dengan mudah diakses oleh para korban.
Adel sempat meminta para korban untuk tidak membuka berita yang berkaitan dengan klarifikasi Agus dan pembelaan Ayu. Namun, permintaan itu tak sepenuhnya bisa menjauhkan para korban dari narasi yang tidak diinginkan.
Di tengah masalah struktural ini, orang tua tak bisa mengeklaim mengerti dan mengetahui tindak-tanduk anak seratus persen. Tuntutan untuk mengontrol anak sepenuhnya tak masuk akal. Karena itu, Zoya menerangkan, orang tua harus mengakui terdapat sisi anak yang tidak diketahui.
“Saya selalu bilang (ke korban), jangan pernah buka media sosial untuk hal enggak penting dan jangan pernah cari dengan sengaja video-video atau berita-berita. Tapi tanpa mereka cari kadang muncul di explore atau ada orang yang share di story, jadi mereka tetap bisa mengakses,” tuturnya.
Dampak dari melihat berita dan video pembelaan Agus, jelas Adel, membuat korban memiliki dua perasaan yang kuat. Di satu sisi mereka ketakutan kepada narasi publik yang tidak memercayai mereka. Pada saat yang sama, klarifikasi Agus dan Ayu yang beredar menyulut kemarahan para korban.
Melihat pihak Agus yang terus muncul dengan pembelaan, para korban semakin tidak terima. “‘Ini orang santai banget ya hidupnya. Sedangkan saya di sini bisa dianggap aib dan saya di sini dalam kondisi yang sangat trauma’. Itulah kemudian yang menyebabkan mereka menjadi sangat gigih bahwa proses hukum harus terus berjalan,” tukas Ayu.