Issues Politics & Society

Raffi Ahmad, Pengawalan Mobil RI 36, dan Polisi yang Arogan 

Heboh insiden mobil RI 36 Raffi Ahmad, membuat evaluasi terhadap wewenang (pengawalan) polisi dan jabatan utusan khusus presiden mendesak dilakukan.

Avatar
  • January 18, 2025
  • 8 min read
  • 93 Views
Raffi Ahmad, Pengawalan Mobil RI 36, dan Polisi yang Arogan 

Di tengah macetnya Jalan Jendral Sudirman, Jakarta Selatan, Brigadir DK berusaha membelah mobil yang mengular. Sore itu pukul 16.00 WIB, dia bertugas mengawal mobil berplat RI 36, kendaraan dinas Utusan Khusus Presiden Raffi Ahmad. Raungan sirene dari motornya, membuat mobil kompak menepi, tapi tidak dengan satu taksi mewah. Tak diberikan jalan, Brigadir DK langsung menyalip dan menunjuk-nunjuk sopir taksi mewah. 

Peristiwa itu langsung viral di dunia maya. Warganet menilai tindakan Brigadir DK arogan dan mengganggu kenyamanan pengguna jalan lain. Kritik warganet semakin pedas ketika belakangan diketahui kendaraan tersebut hanya mengangkut berkas penting Raffi Ahmad, alih-alih pemiliknya sendiri. 

 

 

“Saat kejadian, saya tidak berada di dalam mobil tersebut karena kendaraan sedang dalam posisi menjemput saya untuk agenda rapat selanjutnya,” tutur Raffi dalam klarifikasi yang dikutip dari Kompas.com. 

Buntut kejadian ini, Brigadir DK mendapat sanksi tindakan disiplin sesuai tingkat kesalahan, berupa teguran keras untuk memperbaiki perilaku. Guru Besar Administrasi Publik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Prof Ulung Pribadi dikutip dari CNN Indonesia menambahkan, sanksi saja tak cukup. Diperlukan peninjauan ulang terhadap pemberian patwal karena melibatkan sumber daya yang tidak sedikit, termasuk personel kepolisian. 

“Pimpinan lembaga negara sendiri hanya merujuk pada presiden dan wakil presiden. Sehingga, pejabat negara lain bahkan termasuk para menteri tidak termasuk di dalamnya. Ketika tidak masuk ke dalam pimpinan lembaga negara ya sebenarnya tidak bisa mendapatkan keistimewaan pengawalan,” jelas Afif.

Baca juga: Dari Tabrak Lari Sampai Memakai Patwal: 3 Kasus Viral di Jalanan

Komersialisasi Patwal 

Ribut-ribut soal pengawalan mobil dinas R36 memicu pembahasan lebih lanjut mengenai Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Muhammad Afif, Pengacara Publik Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengungkapkan jika memang mengacu pada Pasal 135 ayat (1) UU tersebut, hanya terdapat tujuh jenis kendaraan yang memiliki hak utama saat melintas di jalan raya. Semua kendaraan ini wajib didahulukan dalam berlalu lintas.  Adapun tujuh jenis kendaraan prioritas ini antara lain adalah: 

1.      Kendaraan pemadam kebakaran yang sedang bertugas 

2.      Ambulans yang membawa pasien. 

3.      Kendaraan untuk menolong korban kecelakaan lalu lintas. 

4.      Kendaraan pimpinan Lembaga Negara Republik Indonesia. 

5.      Kendaraan pimpinan atau pejabat negara asing serta tamu negara dari lembaga internasional. 

6.      Iring-iringan pengantar jenazah. 

7.      Konvoi atau kendaraan untuk keperluan tertentu yang mendapatkan pengawalan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia. 

Merujuk regulasi ini, polisi memang boleh mengawal konvoi kendaraan, tapi tujuan pengawalan dan urgensinya mesti jelas. Warga sipil misalnya bisa mendapatkan pengawalan dengan satu syarat, yaitu tengah mendapatkan ancaman keselamatan jiwa. Namun tak kalah penting, jabatan Utusan Khusus Presiden sebenarnya tidak termasuk dalam prioritas pengawalan karena bukan termasuk pimpinan lembaga negara. 

Baca juga: #BasaBasiReformasiPolri: 4 Alasan Kenapa Kita Harus Tolak Revisi RUU Polri 

“Pimpinan lembaga negara sendiri hanya merujuk pada presiden dan wakil presiden. Sehingga, pejabat negara lain bahkan termasuk para menteri tidak termasuk di dalamnya. Ketika tidak masuk ke dalam pimpinan lembaga negara ya sebenarnya tidak bisa mendapatkan keistimewaan pengawalan,” jelas Afif. 

Adanya indikasi penyalahgunaan fasilitas negara ini kemudian dikomentari Asfinawati, pengajar Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera dan Majelis Pengetahuan YLBHI. Asfin mengungkapkan sebenarnya sebelum heboh kasus pengawalan mobil RI36, penggunaan patwal atau patroli dan pengawalan sudah marak dilakukan di Indonesia. 

Walau diatur secara ketat dalam perundang-undangan, para pejabat pemerintahan seperti DPR, DPRD, hingga rakyat biasa misalnya lewat kegiatan Sunmori acap kali menggunakan fasilitas negara ini.  Pengawasan yang minim memang jadi salah satu permasalahannya. Namun akar masalah dari penyalahgunaan ini terletak pada komersialisasi fungsi-fungsi kepolisian. 

Sudah menjadi rahasia umum jika masyarakat biasa bisa menyewa jasa patwal. Dengan datang langsung ke Polda pada staf Sat Patwal atau menghubungi pelayanan 24 jam TMC 1212 untuk meminta jasa pengawalan, siapa pun yang menginginkan jasa ini harus melengkapi persyaratan administratif dan membayar sejumlah uang yang sudah dipatok pihak kepolisian. Komersialisasi fasilitas negara ini pernah diungkap oleh salah satu narasumber yang diwawancarai dalam artikel yang dirilis oleh Lembaga Kajian Keilmuan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LK2 FHUI). 

“Pengawalan menggunakan mobil patroli kisaran sampai Rp2.000.000,00 sedangkan pengawalan menggunakan sepeda motor mulai dari Rp750.000,00 hingga Rp1.000.000,00. Itu tergantung wilayahnya juga, tetapi sebagian besar tarif sewanya sebesar itu. Harga itu juga untuk sekali jalan, kalau pulang mau dikawal lagi berarti bayar dua kali,” sebut narasumber yang identitasnya dirahasiakan tersebut. 

Baca Juga: Mahkamah Rakyat Luar Biasa Adili 9 Dosa Besar Jokowi 

Komersialisasi patwal ini menurut Asfin semakin memperlihatkan ketidakadilan hukum di Indonesia. Ia menggambarkan jalan raya sebagai cerminan dari sebuah negara hukum. Kehadiran hukum yang baik dan adil dapat dirasakan di jalan raya karena di sana semua warga negara diposisikan setara dengan setiap dari warganya harus mematuhi hukum yang ada. Sebab itu, jika ada pelanggaran atau penyalahgunaan wewenang terjadi di tempat yang seharusnya setara, maka dapat disimpulkan kesamaan di mata hukum cuma jadi jargon utopis belaka. 

“Kalau di jalan tidak ada persamaan di hadapan hukum, apalagi tempat-tempat lebih tinggi seperti persidangan, akan semakin banyak orang yang mendapatkan kemudahan atau fasilitas yang lebih karena mampu membayar. Praktik ini tidak akan pernah hilang, karena ada keuntungan yang didapatkan oleh orang-orang tertentu,” sebut Asfinawati. 

Jabatan Utusan Khusus Presiden yang Perlu Dievaluasi 

Selain perkara patwal, kasus pengawalan Raffi Ahmad juga menambah kontroversi terkait jabatan utusan khusus presiden. Merujuk ketentuan pada Pasal 17 Nomor 137 Tahun 2024 tentang Penasihat Khusus Presiden, Utusan Khusus Presiden, Staf Khusus Presiden, dan Staf Khusus Wakil Presiden, tujuan pembentukan utusan khusus presiden adalah untuk memperlancar tugas presiden. 

Mereka akan melaksanakan tugas tertentu yang diberikan oleh presiden di luar tugas-tugas yang sudah dicakup dalam susunan organisasi kementerian dan instansi pemerintah lainnya. Namun sayangnya menurut Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia (PPI) Adi Prayitno dikutip dari Liputan6 tugas-tugas tertentu ini masih tidak jelas, sehingga menimbulkan tanda tanya besar tentang urgensi dan fungsi dari jabatan utusan khusus presiden. 

“Selama ini memang menjadi tanda tanya apa fungsi tugas utama dari utusan khusus presiden itu. Sampai hari ini tentu tak ada satupun yang bisa dideteksi apa yang sudah dilakukan oleh mereka,” ucap Adi. 

“Pengawalan menggunakan mobil patroli kisaran sampai Rp2.000.000,00 sedangkan pengawalan menggunakan sepeda motor mulai dari Rp750.000,00 hingga Rp1.000.000,00. Itu tergantung wilayahnya juga, tetapi sebagian besar tarif sewanya sebesar itu. Harga itu juga untuk sekali jalan, kalau pulang mau dikawal lagi berarti bayar dua kali,” sebut narasumber yang identitasnya dirahasiakan tersebut. 

Selain tidak ada transparansi atas fungsi serta urgensi, ada sejumlah catatan merah yang ditemukan dari orang-orang yang terpilih mengisi jabatan tersebut. Padahal menurut Asfin sudah seyogyanya jabatan ini diisi oleh orang-orang tepat yang didasari olehsistem meritokrasi atau kebijakan manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN) berdasarkan kualitas, kompetensi dan kinerja secara adil dan wajar. 

Setiawan Ichlas, akrab disapa Iwan Bomba yang ditunjuk sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Perbankan misalnya pernah terseret dalam beberapa kasus. Mulai dari sengketa kredit macet perusahaan batu bara hingga dugaan tindak pidana penggelapan oleh seorang istri mantan menteri. Namanya juga termasuk dalam “orang dekat” Prabowo karena masuk dalam formasi Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran untuk Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 lalu. 

Selain itu ada juga Gus Miftah, Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan. Namanya sempat jadi perbincangan hangat masyarakat Indonesia ketika warganet menemukan sejumlah tindak pelecehan seksual dan diskriminasi yang ia lakukan. Gus Miftah pun memutuskan untuk mundur dari jabatannya setelah mendapatkan banyak kecaman dari masyarakat. 

Sedangkan sosok Raffi sendiri tidak jauh dari kontroversi. Ia pernah mendapatkan Gelar Doktor Honoris Causa (HC) dari Universal Institute of Professional Management (UIPM) Thailand yang bahkan tidak diakui oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Gelar ini yang kemudian dibacakan dalam pelantikannya sebagai utusan khusus presiden. 

Raffi juga adalah nama di balik pembangunan beach club dan resor Bekizart di Pantai Krakal, Kapanewon Tanjungsari, Kabupaten Gunungkidul. Kawasan yang direncanakan seluas 10 hektar itu, dibangun di wilayah Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) yang seharusnya dilindungi. 

Tidak kalah pentingnya, sebagai pejabat publik, Raffi diwajibkan menyerahkan Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggaraan Negara (LHKPN) sebelum menjabat. Pelaporan ini dilakukan untuk memastikan transparansi sesuai dengan aturan yang berlaku. Namun sayangnya hingga kini laporan tersebut bahkan masih dalam proses verifikasi. 

Baca juga: 6 Catatan Pelantikan Prabowo: Janji Manis, Kementerian HAM, hingga Bobby Kucing 

Dengan adanya catatan merah ini, Asfin menegaskan butuh evaluasi terstruktur terhadap jabatan setara menteri ini. Evaluasi diperlukan untuk menganalisis apakah penambahan jabatan baru ini dalam efektif dan tepat sasaran. Kebutuhan ini semakin mendesak dilakukan mengingat Indonesia termasuk dalam negara dengan tingkat korupsi tinggi dan kabinet Prabowo-Gibran dinilai gemuk. Sehingga, khawatir akan memperbanyak peluang masuknya KKN. Tak cuma soal jabatan utusan khusus presiden, patwal perlu dievaluasi. 

“Kita lemah sekali dalam melakukan pengawasan penyalahgunaan fungsi dan wewenang dan tidak ada atasan yang punya kemauan untuk menindaklanjuti kalau ada pelanggaran. Maka semua ini tidak terlepas dari reformasi dan pengawasan Polri sendiri,” tutup Asfin. 



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *