Issues Lifestyle

Tips Cegah ‘Brain Rot’ Akibat Scrolling Medsos, Aku Sudah Mencoba Sendiri dan Berhasil 

Konten receh di media sosial memang bikin betah. Namun, menjaga kesehatan mental dan melatih otak agar tak mengalami ‘pembusukan’ jauh lebih penting.

Avatar
  • January 19, 2025
  • 4 min read
  • 1647 Views
Tips Cegah ‘Brain Rot’ Akibat Scrolling Medsos, Aku Sudah Mencoba Sendiri dan Berhasil 

Waktu menunjukan pukul 02:00 WIB pagi ketika aku memilih menutup media sosial dan mematikan ponsel. Setengah mengantuk dan kepala pening, aku tersadar, “Perasaan baru 30 menit scrolling, ternyata sudah tiga jam.” 

Momen kaget seperti ini semakin sering terjadi sejak pandemi Covid-19 hingga kini. Terlebih ketika lebih banyak kegiatan bisa dikerjakan dari rumah, media sosial jadi candu buatku. Bukan untuk berkomunikasi dengan kawan atau urusan pekerjaan, tapi sekadar mengonsumsi konten-konten receh yang bertebaran. 

 

 

Baca juga: Apa itu ‘Brain Rot’, Istilah yang Sedang Ramai di Dunia Maya 

Sering kali setelah doom scrolling berjam-jam, kepalaku pusing dan auto-malas bergerak melakukan aktivitas lain. Belakangan aku baru tahu kondisi ini disebut sebagai brain rot. Menyadur Oxford University Press, brain rot adalah situasi mental yang diakibatkan oleh konsumsi materi online sepele atau receh secara berlebihan. Efeknya enggak main-main: Bikin kita mager sampai sulit fokus. 

Inilah yang terjadi padaku. Saking seringnya menatap konten-konten receh, fokusku gampang pecah. Ketimbang merampungkan revisi tesis atau menamatkan pekerjaan, sedikit-sedikit aku memilih cek notification lalu melahap lagi konten serupa di medsos. Hasilnya, catatan rata-rata screen timeku bahkan pernah menyentuh 7-8 jam per hari.  

Fenomena ini nyatanya enggak cuma terjadi padaku. Dari catatan Data.ai pada 2023, masyarakat Indonesia menempati posisi tertinggi pada statistik rata-rata screen time, jika dibandingkan 9 negara lain, seperti Brazil, Arab Saudi, Singapura, sampai Thailand. Kebanyakan, orang Indonesia tercatat menggunakan ponsel sampai 5,7 jam per hari.  

Pada aplikasi TikTok sendiri, Exploding Topics menemukan masyarakat kita menempati posisi pertama sebagai audiens yang paling lama menghabiskan waktu untuk menggulir aplikasi. Setiap bulannya, warganet Indonesia setidaknya menghabiskan waktu sampai 41 jam 35 menit hanya untuk scrolling TikTok.  

Meskipun tampak sepele, konsumsi berlebih terhadap konten-konten pendek nan receh di medsos bisa berimbas panjang pada kesehatan mental kita. Lewat laman resmi The University of New South Wales, Dr Sophie Li, peneliti dan psikolog di Black Dog Institute  bilang, paparan konten medsos yang berlebihan memang punya korelasi dengan kondisi kesehatan mental, meskipun belum diketahui apakah perilaku tersebut merupakan penyebab atau gejalanya. 

Baca juga: 6 Tips Ampuh Detoks Media Sosial yang Harus Kamu Tahu  

Caraku Melawan: Mulai Lagi dengan Cerita Pendek 

Merasakan efek yang semakin buruk, aku bertekad mengurangi scrolling medsos. Di akhir 2024 kemarin, aku mulai coba membangun kebiasaan lama membaca buku fiksi.  

Sejak November 2024, aku mulai mencari bahan bacaan yang sifatnya ringan untuk dicerna. Setelah menimbang-nimbang beberapa judul, akhirnya aku memutuskan untuk membeli kumpulan cerita pendek (cerpen) “Museum Teman Baik” sebagai buku yang akan menemani eksperimenku kali ini. Bukunya sendiri tidak terlalu tebal. Dengan 249 halaman, buku ini memuat beberapa cerita tentang makna pertemanan orang dewasa, yang menurutku sangat menarik.   

Jatuhnya pilihanku pada cerpen sendiri tentu enggak datang tanpa alasan. Durasi waktu bacanya yang cenderung singkat, sangat membantuku untuk memfokuskan pikiran. Terlebih, kini aku sangat sulit memusatkan perhatian. Daripada kecewa karena enggak bisa menyelesaikan satu sub-bab dari novel, kumpulan cerita pendek jadi jalan keluar yang pas. 

Setelah selesai dengan “Museum Teman Baik”, aku semakin kepo dengan kumpulan cerpen lain. Aku sendiri lumayan senang, karena perlahan, media sosial bukan jadi tempat singgah yang kupikirkan ketika aku punya waktu luang. Buku-buku berjudul “Malam Terakhir” karya Leila. S. Cudhori, “Neraka yang Turun ke Kebun Kelapa” karya Ida Fitri, sampai “Cerita-Cerita Jakarta” yang diedit oleh Maesy Ang dan Teddy. W. Kusuma, jadi teman setia dalam beberapa bulan terakhir. Senangnya lagi, aku pun bisa mengurangi screen time, yang sekarang hanya berkisar pada angka 3-4 jam saja per hari. 

Foto beberapa buku kumpulan cerita pendek.

Baca juga: Jangan Cuma Andalkan Media Sosial Saat Melakukan Cek Fakta 

Enggak cuma screen time yang berkurang, aku pun makin merasa jauh lebih baik dalam memusatkan perhatian. Kalau tadinya setiap 2 menit sekali pasti cek ponsel untuk sekadar buka medsos, kini aku bisa meninggalkan ponsel setidaknya untuk 15-20 menit. Aku pun jadi tak mudah terdistraksi karena notifikasi. Untuk membantu hal ini, aku juga mematikan semua notifikasi dari aplikasi-aplikasi yang tidak menunjang produktivitasku sehari-hari. 

Mark Travers, psikolog dari Awake Therapy, melalui Forbes mengakui, membaca buku khususnya buku fisik, memang bisa membantu kita mengurangi risiko brain rot. Mark bilang, koneksi dengan aktivitas analog bisa membuat kita fokus pada apa yang tengah terjadi saat ini. 

Untuk itu, aku berencana untuk melanjutkan kebiasaan membaca cerpen yang sudah kumulai sejak akhir 2024 ini. Daripada menyesal dan terlanjur tenggelam pada jerat keseruan semua media sosial. Aku rasa, memulai berubah dari hal kecil seperti membiasakan membaca buku ringan semacam kumpulan cerpen, bisa jadi opsi untuk mencegah “pembusukan otak”.  

Ilustrasi oleh Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Syifa Maulida

Syifa adalah pecinta kopi yang suka hunting coffee shop saat sedang bepergian. Gemar merangkai dan ngulik bunga-bunga lokal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *