Gender & Sexuality Issues

Mengapa Menstruasi Masih Ditutupi dan Ditanggung Sendirian?

Tabu seputar menstruasi masih membuat banyak orang yang menstruasi merasa perlu menyembunyikan pengalaman mereka.

Avatar
  • January 20, 2025
  • 5 min read
  • 81 Views
Mengapa Menstruasi Masih Ditutupi dan Ditanggung Sendirian?

Setiap bulan, menurut UNICEF, sekitar 1.8 miliar menstruator—yakni individu dengan rahim, baik perempuan, transpria, dan nonbiner—di dunia, mengalami menstruasi. Sedihnya, meski ini kodrat alamiah, tabu soal menstruasi ini masih eksis di berbagai belahan dunia. Ketabuan itu membuat menstruasi tidak umum dibicarakan maupun dilibatkan dalam siklus sosial masyarakat. Artinya, tidak dipertimbangkan sebagai kesatuan melekat dari keseharian individu yang perlu diakomodasi.

Sebaliknya, menstruasi justru disembunyikan. Masih jelas di ingatan saya, saat pertama kali menstruasi di kelas 5 sekolah dasar, saya rela hanya menggunakan satu pembalut sekali pakai dari pagi sampai pulang sekolah. Selain takut mengotori toilet, saya takut ketahuan kalau saya sudah menstruasi di usia yang menurut beberapa orang dewasa terlalu dini untuk menstruasi. Saya bahkan masih ikut salat berjamaah di masjid sekolah, padahal Islam jelas membebaskan perempuan untuk tidak salat dan puasa saat menstruasi.

 

 

Bagi saya yang berumur 11 tahun, hal itu lebih bisa dijalani daripada ketahuan saya sudah “akil baligh”. Yang lebih menyedihkan, terungkaplah beberapa tahun kemudian bahwa saya bukan satu-satunya anak perempuan di sekolah yang pura-pura salat untuk menyembunyikan menstruasi. Beberapa teman melakukan hal yang sama.

Berkat tabu menstruasi, orang yang mengalami menstruasi harus menjalani proses yang sepenuhnya alami dalam kesunyian dan kesulitan—baik secara biologis, ekonomis, psikologis, maupun sosial. Semua itu dijalani sendirian, tanpa dukungan dari lingkungan sekitar. Mulai dari mencari informasi akurat, sanitasi, asupan bergizi, produk saniter menstruasi, rasa aman, hingga perawatan diri, seluruhnya diupayakan sendiri. Mitos, risiko gangguan reproduksi, pengucilan, stigma, hingga pelecehan selama menstruasi, masih dihadapi para menstruator. Secara langsung maupun tidak, ini membatasi ruang gerak, baik untuk belajar, bekerja, berekspresi, berpartisipasi dalam kehidupan sosial.

Baca juga: Tabu Menstruasi di Jepang: Saat Darah Haid Dianggap Aib

Menstruasi seharusnya dipahami sebagai isu publik

Sejak lama, menstruasi hanya dibingkai sebagai isu kesehatan dan kebersihan, baik di level komunitas, nasional, hingga global, dan ini menimbulkan konsekuensi serius. Baru pada 2022, terutama atas dorongan aktivis di belahan dunia Selatan, Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyerukan isu menstruasi sebagai masalah hak asasi manusia.

Namun, studi pada 2023 oleh Nahdia Aurelia Aurita dan Iklilah M.D. Fajriyah dari Kajian Gender Universitas Indonesia menunjukkan, kalangan akademisi masih menggunakan perspektif medis yang mereduksi isu menstruasi menjadi isu kebersihan dan kesehatan tanpa kerangka hak asasi. Hal ini problematik karena menempatkan menstruator sebagai orang yang penyakitan dan tidak mampu mengenal tubuhnya sendiri, hingga membutuhkan perawatan dan manajemen medis. Profesor Jill M. Wood dari Penn State University, AS, menjelaskan, hal ini dijadikan kontrol sosial untuk membatasi cawe-cawe orang yang menstruasi, baik dalam kehidupan privat maupun publik, untuk menandakan bahwa seseorang tersebut tidak hanya sakit secara fisik, tetapi juga secara emosional.

Wacana menstruasi hanya sebagai isu kesehatan juga mereduksi kompleksitas menstruasi yang sarat aspek gender, sosiokultural, dan ekonomi. Hal ini berujung pada konstruksi menstruasi sebagai isu material yang juga membutuhkan solusi material, menurut kajian UI. Memandang menstruasi sebagai isu kesehatan memungkinkan risiko komersialisasi. Kampanye mengganti pembalut setiap empat jam atas nama kesehatan reproduksi melibatkan penjualan pembalut sekali pakai yang tentunya berorientasi profit. Nardia dan Iklilah dari UI menjelaskan, perspektif tersebut mengadopsi gagasan neoliberal terhadap menstruasi, mendorong kapitalisasi penggunaan pembalut dan membatasi akses terhadapnya.

Baca juga: Menstruasi Bukan Aib, Kenapa Laki-laki Malu Beli Pembalut?

Di Indonesia, produk saniter menstruasi dikategorikan sebagai produk komersial yang diproduksi oleh perusahaan swasta dan dijual di pasar bebas, bukan sebagai kebutuhan dasar yang dipastikan keterjangkauannya dengan subsidi atau digratiskan.

Perpanjangan paradigma problematik itu juga mewujud pada penetapan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 18/2020 yang menghapuskan pembalut dari komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dan dalam penentuan upah minimum di seluruh Indonesia. Komponen pembalut justru digantikan oleh korek kuping alias cotton bud.

Membingkai menstruasi sebagai isu kebersihan juga bermasalah karena mengasosiasikan menstruasi dengan ketidakbersihan. Dalam banyak budaya, menstruasi sering dikaitkan dengan kondisi kotor, najis, bau, atau berbahaya. Akibatnya, manajemen kebersihan menstruasi dipandang sebagai tanggung jawab individu semata, jauh dari perhatian publik. Salah satu aspek utama dari manajemen ini adalah penyembunyian (concealment/‘secretisation’), sebagaimana dijelaskan Dr Victoria Newton, peneliti di School of Health, Wellbeing and Social Care di Open University United Kingdom.

Baca juga: Cawan Menstruasi: Antara Lingkungan Hidup dan Kemiskinan

Media memperparah tabu menstruasi

Wacana menstruasi sebagai krisis kebersihan juga dilanggengkan oleh media, termasuk melalui iklan “produk kebersihan kewanitaan” atau feminine hygiene product. Tubuh menstruator dituntut untuk mencapai kondisi bersih, kering, dan harum, persis catatan psikolog feminis Ester Lianawati dalam “Dari Rahim Ini Aku Bicara” (2024). Cara berpikir ini memengaruhi persepsi menstruator terhadap dirinya sendiri, hingga mengalami objektifikasi diri yang secara prinsip bertentangan dengan pemberdayaan diri.

Menurut Profesor Psikologi Stanford University, Tomi-Ann Roberts, objektifikasi diri membuat menstruator terutama perempuan menjauhkan diri dari sifat alamiah tubuhnya. Semakin seseorang mengobjektifikasi diri, semakin besar rasa jijik dan malu yang dirasakannya terhadap fungsi reproduksi tubuhnya sendiri. Persis seperti yang saya dan teman-teman alami saat duduk di bangku sekolah dasar.

Prinsipnya: jangan sampai orang lain, terutama laki-laki, tahu bahwa saya sedang ‘kotor’ dan tidak ‘indah’ karena menstruasi. Sikap waspada ini memunculkan misi untuk menyembunyikan menstruasi demi memenuhi ekspektasi sosial, yang pada akhirnya membentuk pendisiplinan tubuh melalui pengawasan diri (self-surveillance) oleh orang yang menstruasi terhadap penampilan tubuh mereka sendiri.

Akibat dari dampak self-objectification, tidak mudah bagi menstruator untuk memproses dan menyatakan secara terbuka bahwa keadilan menstruasi adalah hak asasi mereka, apalagi memperjuangkannya. Dalam situasi ini, diam dan menerima keadaan sering kali dianggap sebagai pilihan yang lebih masuk akal.

Maka, meskipun perjalanan ini panjang, merekonstruksi menstruasi sebagai isu hak asasi manusia menjadi semakin mendesak. Hal ini penting untuk merefleksikan dampak dari pembingkaian menstruasi sebagai isu kesehatan dan kebersihan semata.

Syaima Sabine Fasawwa adalah mahasiswa Sosiologi dan seorang perempuan yang tengah belajar mengasihi diri sendiri.



#waveforequality


Avatar
About Author

Syaima Sabine Fasawwa

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *