Meluncur di Atas Kebebasan: Kisah Perempuan 40-an dan ‘Skateboard’
Seorang ibu berusia 40-an menemukan kebebasan, kebahagiaan, dan semangat baru di atas papan luncur.
Selama ini orang awam melihat skateboard sebagai permainan yang identik dengan laki-laki. Lalu apakah itu berarti bahwa aku, perempuan berumur 40an dan seorang ibu beranak dua tidak bisa meluncur bebas di atas papan skate meski ada keinginan?
Biasanya perempuan seusiaku cukup mengantar anaknya latihan papan luncur, lalu duduk tenang sambil bersosialisasi dengan sesama orang tua. Tapi aku lebih ingin untuk ikut bermain dan merasa keterampilan ini harus masuk dalam daftar pengalaman hidupku.
Baca juga: Pro Player Perempuan: Selain Jago, Harus Cantik
Awal mula ingin menekuni skateboard adalah saat mencoba papan milik teman. Wah, rasanya asyik dan membuatku mau mencoba lagi dan lagi. Lalu aku membeli papan bekas yang masih bagus dari sebuah lapak e-commerce dan mulai belajar sendiri di di halaman rumah. Setiap belajar pasti terjatuh, lutut memar, tangan lecet, tetapi ada semacam kegembiraan yang tidak terjelaskan saat berhasil melewati tantangan itu.
Belajar papan luncur bukan hanya soal menguasai teknik, tetapi juga tentang menghadapi dan melawan rasa takut. Ketakutan itu muncul setiap kali melewati landasan yang bergelombang, menuruni tanjakan kecil atau mencoba trik sederhana. Namun di balik rasa deg-degan ada aliran adrenalin yang memacu semangat dan kebanggaan ketika berhasil melewati tantangan tersebut.
Dulu, rasa takut jatuh selalu menghantuiku. Bukan karena sakitnya, tetapi karena malu dilihat orang. Namun, main skateboard mengajarkan bahwa keberanian untuk jatuh adalah bagian dari proses belajar. Ternyata, bahkan untuk jatuh pun ada teknik yang harus dipelajari agar lebih aman dan mengurangi risiko cedera.
Meluncur dengan skateboard mengajarkanku untuk tidak takut gagal. Setiap kali jatuh, aku hanya perlu bangkit dan mencoba lagi. Inilah mengapa di komunitas papan luncur, jatuh justru mendapat tepuk tangan dan apresiasi, karena keberanian untuk mencoba adalah hal yang paling dihargai.
Baca juga: Perempuan Dilarang Suka Sepak Bola dan Musik Keras
Menemukan komunitas perempuan dan kebebasan berekspresi
Mengawali perjalanan berseluncur, aku bergabung dengan komunitas Longboard Girls Crew Indonesia, yang merupakan bagian dari komunitas global yang tersebar di berbagai negara. Longboard, sesuai namanya, adalah jenis papan luncur yang lebih panjang. Dari komunitas ini, aku mulai mengenal berbagai genre dalam skateboard, masing-masing dengan cara mengendalikannya yang unik. Ada longboard dancing yang mengutamakan kelincahan kaki di atas papan, downhill yang memicu adrenalin dengan kecepatan tinggi di turunan berliku, berselancar dengan surfskate, hingga freeride dengan teknik bebasnya.
Bergabung di komunitas ini mempertemukan aku dengan banyak teman perempuan yang menguasai olahraga yang sering dianggap maskulin ini. Kami saling mendukung, berbagi tips, dan menemukan cerita unik dari setiap individu. Tidak jarang, kami merencanakan sesi main papan luncur bersama sampai menciptakan kegiatan lain yang seru dan bermakna.
Inspirasi terus mengalir dari anggota komunitas dengan beragam keunikan masing-masing. Ada seorang ibu yang meluncur anggun di atas papan bersama anaknya, seorang penari yang melakukan gerakan tari di atas longboard, hingga pegawai kantoran yang luwes bermain surfskate di lapangan mulus, menjadikannya “ombak” pelepas lelah sehabis bekerja. Yang menarik, banyak di antaranya berusia 30 hingga 40-an.
Di atas papan luncur, ada keinginan untuk melepas semua masalah—mengayuh papan sekencang mungkin, seolah meninggalkan semua beban di belakang. Efeknya luar biasa: Merasa hidup, merasakan kendali penuh atas diri sendiri, meluncur cepat sambil membuang energi negatif yang tersimpan.
Bersama teman-teman perempuan komunitas ini, aku menemukan kebebasan yang kucari. Kebebasan untuk menjadi diri sendiri, tanpa penilaian cara berpakaian atau komentar orang lain yang menganggap aktivitas ini hanya pantas dilakukan anak muda. Aku belajar bahwa perempuan bermain skateboard bukan hanya sekadar olahraga, tetapi juga sebagai bentuk mencintai diri sendiri dengan mengekspresikan diri.
Apakah komunitas ini anti-laki-laki? Tentu saja tidak. Dulu, hal yang paling aku takutkan saat bermain skate adalah dominasi laki-laki di lapangan. Namun, ternyata tidak semua seperti itu. Aku justru melihat betapa menyenangkannya ketika aktivitas ini dinormalisasi tanpa memandang gender—saling mendukung, belajar bersama, dan berkolaborasi menjadi hal yang utama.
Baca juga: Dalam Sepak Bola Perempuan Pun, Laki-laki Masih Mendominasi
Menginspirasi perempuan lain, termasuk anak sendiri
Pandangan positif dan pujian sering aku terima, namun komentar “sekadar mengingatkan” bahwa aku tidak muda lagi tetap kerap muncul. Mereka bilang, aku harus hati-hati mengingat usiaku sudah tidak belia. Aku menjawab, justru di usia kepala empat ini aku berinvestasi pada kesehatan fisik agar tubuh lebih siap menghadapi masa tua. Lagipula, waktu untuk bergerak aktif sudah tidak banyak lagi. Semakin cepat kita memulai, semakin baik. Aku masih ingin tetap prima di usia lanjut, lebih berdaya dan tidak menjadi beban bagi keluarga. Tentu saja, aku tetap belajar sesuai kemampuan diri.
Saat berbagi di media sosial, tidak sedikit teman yang merespons dan tergerak untuk ikut bermain. Ternyata faktor usia juga menginspirasi teman yang berpikir, “Dia yang seusia aku saja bisa, berarti aku juga bisa, dong.” Kalau memang punya minat dan rajin berlatih, tentunya kita bisa berproses bersama.
Anak-anak perempuanku ternyata mendapat inspirasi dari ibunya yang menemukan kebahagiaan melalui cara yang ia sukai. Mereka belajar bahwa kebahagiaan bisa ditemukan dalam berbagai bentuk, asalkan sesuai dengan keinginan hati. Kebahagiaan ini dimulai dari ibunya yang tidak hanya menemukan cara untuk berbahagia, tetapi juga melatih fisik agar lebih kuat nantinya.
Melalui skateboard, aku tidak hanya menemukan kebebasan, tetapi juga keberanian untuk menjalani hidup secara lebih autentik. Aku semakin menyadari bahwa kebahagiaan bisa ditemukan dalam hal-hal sederhana, seperti papan beroda empat yang meluncur di jalanan, atau sepatu roda yang melatih keindahan gerak dan keseimbangan.
Setidaknya, saat sedang tidak baik-baik saja, bermain papan luncur adalah cara sederhana untuk melepaskan emosi. Terkadang, kebebasan itu bukan soal pergi jauh, tetapi tentang menemukan sesuatu yang membuat kita merasa hidup.
Nana A adalah seorang wirausaha dan penggiat komunitas skateboard dan rollerskate.