Negara yang Merestui: Legalisasi Perkawinan Anak di Irak
Pada 21 Januari 2025, Parlemen Irak mengesahkan Undang-undang Status Pribadi yang melegalkan pernikahan di bawah umur 15 tahun. RUU ini pertama kali diusulkan pada 2017 oleh parlemen dan memberikan otoritas kepada lembaga keagamaan untuk memutuskan berbagai masalah keluarga, termasuk pernikahan, perceraian, dan pengasuhan anak, berdasarkan hukum syariat Islam.
Menurut Alia Nassif, perempuan anggota komite hukum parlemen, pemungutan suara dilakukan tanpa memenuhi jumlah minimum anggota parlemen yang wajib hadir untuk menyetujui undang-undang tersebut. Pernyataan itu disampaikan dalam sebuah wawancara yang diunggah di Instagram. Meski demikian, RUU tersebut tetap disahkan menjadi kebijakan resmi.
Legalisasi ini bukan hanya persoalan hukum, tetapi juga bentuk kekerasan sistematis yang dilembagakan oleh negara. Dengan menyerahkan urusan pernikahan kepada lembaga agama, negara tidak hanya mengabaikan hak-hak dasar anak perempuan, tetapi juga memperkuat ketidaksetaraan gender yang sudah mengakar dalam masyarakat.
Baca juga: Santri, Tokoh Agama di Garut Tolak Pernikahan Anak
Dampak hukum agama terhadap usia pernikahan
Berdasarkan data terakhir Pemerintah Irak tahun 2015, sekitar 98 persen dari total populasi negara ini menganut agama Islam, dengan 60 persen merupakan muslim Syiah dan sisanya muslim Sunni. Ketika urusan pernikahan diserahkan kepada lembaga agama, batas usia menikah pun mengikuti interpretasi masing-masing aliran.
Bagi muslim Syiah, usia pernikahan sering kali didasarkan pada kematangan fisik dan mental individu. Menurut mazhab Syiah, seseorang dianggap cukup umur untuk menikah setelah mencapai usia baligh, yakni 9 tahun untuk perempuan dan 15 tahun untuk laki-laki. Sementara itu, pada komunitas Sunni, usia pernikahan dipengaruhi oleh faktor budaya dan kebijakan yang berlaku. Dengan undang-undang baru ini, setiap aliran memiliki kewenangan untuk menetapkan batas usia pernikahan minimal 9 tahun.
Menurut Musawah (Gerakan Global untuk Kesetaraan dan Keadilan dalam Keluarga Muslim), menggunakan Islam untuk membenarkan pelembagaan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan dan anak-anak bertentangan dengan semangat dan ajaran Islam. Pernikahan anak merupakan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip tinggi syariah dan yurisprudensi Islam kontemporer serta hukum keluarga modern.
Baca juga: Mencegah Pernikahan Anak Tak Cukup dengan Kenaikan Batas Usia Pernikahan
Tingginya angka pernikahan anak di Irak
Angka pernikahan anak di Irak masih cukup tinggi. Menurut data Girls Not Brides, jaringan global untuk mengakhiri pernikahan dini dan pernikahan paksa pada anak perempuan, 28 persen anak perempuan di Irak menikah sebelum usia 18 tahun dan 7 persen menikah sebelum usia 15 tahun. Mereka juga mencatat bahwa data yang tersedia sangat terbatas, sehingga angka sebenarnya kemungkinan lebih tinggi.
Dalam laporan lembaga kependudukan PBB, United Nations Population Fund (UNFPA), seorang pejabat dari Direktorat Pemberantasan Kekerasan terhadap Perempuan di Erbil mengungkapkan, banyak pengantin anak mengalami trauma akibat kekerasan dalam rumah tangga.
“Saya telah menyaksikan kasus-kasus pernikahan anak yang dirujuk ke komite kami, di mana para pengantin anak tersebut sangat trauma akibat kekerasan dalam rumah tangga yang mereka alami, sehingga mereka bahkan tidak mampu mengungkapkan sepatah kata pun tentang apa yang telah terjadi pada mereka,” ujarnya. Ini menunjukkan bahwa pernikahan anak sering kali berujung pada lingkaran kekerasan yang terus berlanjut.
Pernikahan anak di Irak dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pertama, rendahnya tingkat pendidikan. Menurut data dari Girls Not Brides, sekitar 46,2 persen perempuan berusia 20-24 tahun yang menikah sebelum usia 18 tahun hanya berpendidikan prasekolah atau bahkan tidak bersekolah sama sekali. Sementara itu, hanya 8,5 persen dari mereka yang berhasil melanjutkan pendidikan hingga jenjang menengah atas atau lebih tinggi.
Faktor kedua adalah kemiskinan. Sebanyak 35,8 persen perempuan di rumah tangga termiskin di Irak menikah saat masih anak-anak, dibandingkan dengan 14,2 persen dari rumah tangga terkaya.
Ketiga, agama dan tradisi “menjaga kehormatan”. Hukum syariah yang berlaku di Irak, terutama dalam hal hukum keluarga, memberikan perlindungan terbatas bagi perempuan dan anak perempuan. Girls Not Brides menemukan bahwa dalam beberapa kasus, para imam melaksanakan pernikahan anak tanpa didaftarkan secara resmi, yang berarti anak perempuan yang menikah tidak mendapatkan hak atau perlindungan hukum. Selain itu, sebagian keluarga percaya bahwa menikahkan anak perempuan adalah cara untuk menjaga kehormatan keluarga. Beberapa generasi yang lebih tua bahkan menganggap bahwa memelihara anak perempuan yang belum menikah sama dengan “menyimpan satu tong mesiu di rumah”. Pernikahan dianggap sebagai jalan keluar untuk mencegah hubungan seksual di luar nikah.
Baca juga: Bahagia Selamanya yang Semu: Perkawinan Anak Tingkatkan Depresi Perempuan
Kontradiksi dengan komitmen internasional
Alih-alih memperketat undang-undang untuk melindungi anak perempuan dan mengarusutamakan nilai agama yang berkeadilan, parlemen Irak justru mengesahkan kebijakan yang melanggengkan ketidaksetaraan gender. Kebijakan ini adalah langkah mundur dan bertentangan dengan komitmen negara untuk mengakhiri pernikahan anak, pernikahan dini, dan pernikahan paksa pada 2030, sesuai dengan target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) 5.3.
Irak juga telah menyetujui Konvensi Hak Anak pada 1994, yang menetapkan usia minimum pernikahan 18 tahun, serta meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) pada 1986. Namun, dengan disahkannya undang-undang tersebut, yang mencabut larangan pernikahan anak di bawah usia 18 tahun yang berlaku sejak 1950-an, Irak justru mundur ke masa kelam dalam pemenuhan hak dan perlindungan anak.
Saat negara memberikan legitimasi hukum terhadap pernikahan anak, hal ini merupakan bentuk kekerasan yang sistematis. Negara berperan aktif dalam merampas kebebasan, masa depan, dan hak-hak dasar anak-anak. Sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk melindungi warganya, terutama anak-anak, Irak harus segera meninjau kembali keputusan ini dan mengubah undang-undang tersebut.
Negara harus berkomitmen untuk memastikan bahwa semua anak, khususnya anak perempuan, dapat menikmati masa kecil mereka tanpa adanya paksaan pernikahan, dan memiliki kesempatan yang setara untuk tumbuh berkembang.
Firda Ainun Ula adalah pegiat isu gender yang saat ini bekerja untuk penghapusan kekerasan berbasis gender di Rifka Annisa WCC. Saat ini ia sedang menempuh studi dengan konsentrasi Gender dan Hubungan Internasional di Magister Hubungan Internasional UGM.
















