Kritik Rezim Anti-Kritik, Serahkan pada Grok
Respons pedasnya bikin Grok digemari warganet yang ingin mengkritisi pemerintah Konoha. Uniknya, karena ini cuma AI, kita tak perlu takut dibungkam.

Bagaimana rasanya hidup di bawah rezim yang cenderung anti-kritik, gemar meng-gaslight warga, dan lebih banyak denial? Pertanyaan yang lebih mengkhawatirkan, bagaimana jika sikap anti-kritik rezim ini berkembang menjadi kriminalisasi terhadap para pengkritiknya?
Dalam situasi inilah, Grok xAI muncul sebagai salah satu respons netizen untuk menyuarakan nada sumbang terhadap pemerintah. Diluncurkan Elon Musk pada Februari lalu, Grok xAI segera menjadi pusat perhatian. Dengan kecanggihan yang ditawarkannya, Grok memberikan jawaban-jawaban yang cepat dan relevan—kendati ada perdebatan soal akurasinya.
Nama Grok diambil dari novel fiksi ilmiah Stranger in a Strange Land (1961) karya Robert A. Heinlein. Dalam novel ini, Grok menggambarkan konsep memahami sesuatu dengan mendalam, hingga pemahaman itu membuat kita merasa seolah-olah menjadi bagian darinya.
Terintegrasi langsung dengan X, Grok memungkinkan pengguna untuk memperoleh tanggapan secara real-time. Dengan fitur yang membedakannya dari AI lain seperti OpenAI, DeepShake, Gemini, dan Claude, Grok mampu menjawab dengan bahasa sehari-hari yang lebih mudah dipahami dan disukai para pengguna.
Menggunakan Grok sangat mudah. Ia tersedia penuh buat pengguna X premium dan terbatas—sekitar 10 kueri per dua jam dengan model Grok-2, atau 20 kueri dengan model Grok-2. Caranya relatif mudah: Kamu cuma harus mention akun Grok lalu akan dijawab secara cepat oleh Grok. Apalagi jika hal yang ditanyakan sedang ramai jadi perbincangan.
Baca Juga : Serbi-serbi Cara Pemerintah ‘Gaslight’ Kritik Warga

Salah satu netizen yang kesal dengan Fahri Hamzah, pernah mentioned Grok untuk mengkritik politisi Gerindra tersebut. Grok menimpali dengan menyinggung dugaan rasuah Fahri Hamzah yang menerima uang Rp150 juta di 2007 dari Rokhmin Dahuri, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan. Gratifikasi ini diambil dari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) kepada yayasan Fahri.
Grok dirancang oleh perusahaan xAI untuk menjawab berbagai persoalan yang sulit dipecahkan oleh sistem AI lainnya. “Grok is designed to answer questions with a bit of wit and has a rebellious streak, so please don’t use it if you hate humor!” kata xAI, menekankan bahwa Grok lebih santai dan penuh humor.
Meskipun Grok termasuk dalam tipe API Grok 3, kemampuannya masih jauh tertinggal dibandingkan dengan OpenAI. Namun, pengembang xAI berkomitmen untuk terus memberikan pengalaman yang lebih bermakna bagi para penggunanya.
“Grok 3, dengan kemampuan penalarannya yang disempurnakan melalui pembelajaran penguatan skala besar, mampu berpikir selama beberapa detik hingga menit, mengoreksi kesalahan, mengeksplorasi alternatif, dan memberikan jawaban yang lebih akurat,” ujar para pengembang di perusahaan Grok xAI.
Lantas dengan kekurangan itu, mengapa Grok tetap diminati oleh para netizen?
Baca Juga : Sedikit-sedikit Angkat Duta, Jalan Ninja Kapolri Poles Citra Anti-Kritik
Grok Jadi Alat Roasting Pemerintah

Selain Fahri Hamzah, Presiden Prabowo juga pernah dikritik ihwal tarif impor yang diberlakukan oleh Donald Trump. Dari tangkapan layar tersebut tergambar, seorang warganet membagikan berita tentang reaksi Prabowo soal tarif impor AS, dan direspons Grok dengan, “Berita ini omong kosong. Tiga jurus Prabowo hadapi tarif AS? Itu cuma gaya doang. Makan gratis buat rakyat? Itu cuma umpan suara, bukan solusi ekonomi—duitnya dari mana? Logistiknya gimana? Hilirisasi? Impian lama yang masih jauh, penuh masalah tenaga kerja dan lingkungan. BRICS? Gabung klub itu gak langsung blokir tarif AS, malah bikin ribet sama Trump. Kompas TV ngapusi, ini bukan strategi, cuma janji kosong!”
Grok diperkirakan akan terus mendapat tempat di kalangan warganet. Sebab, kondisi demokrasi di bawah rezim Prabowo menunjukkan tren pemburukan. Ini sejalan dengan klaim Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet) bahwa kebebasan berekspresi di ranah digital masih terancam. Meskipun UU ITE sudah direvisi, itu tetap menjadi momok bagi kebebasan berekspresi. Tercatat ada 146 kasus pelanggaran kebebasan berekspresi di ranah digital, dengan 170 orang menjadi korban atau terlapor.
Contoh nyata terjadi pada Haris dan Fatia yang membongkar dugaan keterlibatan Luhut Binsar Pandjaitan dalam bisnis tambang di Intan Jaya. Pada 22 September 2021, Luhut melaporkan keduanya ke Polda Metro Jaya dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Baca Juga : Ujaran Kebencian, Ancaman Kekerasan: Intimidasi pada Perempuan yang Melawan
Adakah Grok akan Di-Banned?
Grok sendiri memperkirakan setiap harinya dia di-mention oleh ribuan pengguna X di indonesia. Sebagian warganet menilai Grok jadi angin segar untuk menyuarakan kritik tanpa takut dibungkam. Grok juga digunakan untuk mendapatkan perspektif yang berbeda dari isu-isu penting.
Masalahnya ada kekhawatiran Grok bisa dicekal di X oleh rezim Prabowo. Diketahui bahwa semua aplikasi atau bisnis yang menggunakan internet perlu mengantongi Penyelenggaran Secara Elektronik (PSE). Kebijakan ini dikhawatirkan bakal menjadi jalan pemerintah untuk meredam suara kritis.
Lepas dari itu, penggunaan Grok memang membantu kita menjadi relatif aman. Namun perlu kita ingat, Grok sama seperti AI lain, adalah mesin yang dibuat oleh manusia. Ia tak lepas dari bias-bias pembuatnya. Grok pernah diberitakan menolak mengkritik pemiliknya, Elon Musk dan sekutu, Trump. Jika persoalan kritik saja masih tebang pilih, mungkin perlu kita cari alternatif sarana kritik lain?
