December 5, 2025
Environment Issues

Rezim Ekstraktif Menekan, Masyarakat Adat Melawan

Kriminalisasi dan hukum yang tak berpihak pada masyarakat adat jadi alasan kenapa resiliensi harus jadi agenda utama.

  • April 23, 2025
  • 5 min read
  • 1707 Views
Rezim Ekstraktif Menekan, Masyarakat Adat Melawan

Masih ingat dengan tagar #AllEyesOnPapua yang sempat viral tahun lalu? Tagar ini kembali mencuri perhatian usai Suku Awyu dan Suku Moi menggelar ritual adat di depan Gedung Mahkamah Agung (MA), 27 April 2024 silam. Aksi ini bukan tanpa sebab; masyarakat adat kedua suku tersebut menuntut perhatian atas izin yang semakin masif diberikan kepada perusahaan sawit yang mengancam hutan adat mereka. Menurut laman Greenpeace, ritual tersebut menjadi simbol penolakan terhadap ekspansi perkebunan sawit yang merusak alam dan kehidupan mereka. 

Ritual Suku Awyu dan Moi enggak cuma berbicara tentang hak adat, tetapi juga mengungkap dampak buruk eksploitasi lahan. Sebagai informasi, pembebasan lahan untuk perkebunan sawit yang marak terjadi di Boven Digoel, Papua Selatan, dan Sorong, Papua Barat, telah mengancam keberlangsungan hutan adat yang menjadi sumber hidup mereka. Masyarakat adat di Papua, yang hidup bergantung pada hutan, merasakan langsung dampak kerusakan ini. 

Nahas, nasib serupa juga dialami masyarakat adat di daerah lain. Misalnya, di Desa Sihaporas, Simalungun, Sumatera Utara. Di sana, masyarakat adat Sihaporas harus merelakan hutan adat demi kepentingan industri pulp dan kertas yang dikelola PT Toba Pulp Lestari (TPL). Menurut Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), banyak masyarakat adat yang tidak hanya kehilangan tanah kelahiran, tetapi juga menghadapi kriminalisasi akibat ekses eksploitasi tersebut.  

“Banyak saudara-saudara kita, contohnya di Tano Batak, yang mendekam di penjara hanya karena mempertahankan tanah leluhurnya. Mereka dikriminalisasi,” ujar Rukka dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) AMAN ke-VIII, (14/4) di Desa Kedang Ipil, Kalimantan Timur. 

Perjuangan masyarakat adat untuk bertahan dan melawan tekanan ini menjadi sorotan utama dalam Rakernas AMAN ke-VIII. Salah satu isu utama yang diangkat adalah pentingnya meningkatkan resiliensi (kemampuan bertahan dan pulih) di tengah gempuran pembangunan yang merusak. Menurut AMAN, semakin banyak tekanan yang dialami oleh masyarakat adat di seluruh Indonesia, dan resiliensi menjadi kunci untuk bertahan dalam situasi terpuruk. 

Foto: Syifa Maulida/Magdalene

Baca juga: Penting Untuk Semua Orang, Pengesahan RUU Masyarakat Adat Tidak Bisa Ditunda Lagi 

Bayang-bayang Intimidasi 

Di tengah perjuangan mereka, masyarakat adat juga menghadapi berbagai bentuk tekanan, baik dari perusahaan, negara, maupun aparat. Salah satu contoh nyata adalah kriminalisasi yang sering terjadi di tengah konflik lahan antara perusahaan dan masyarakat adat. Fahmi Arisandi, Ketua Pelaksana Harian AMAN Wilayah Bengkulu, menceritakan pengalaman masyarakat adat di Seluma, Bengkulu. Meskipun wilayah adat mereka sudah diakui dalam Peraturan Daerah (Perda), mereka tetap dituduh mencuri di atas tanahnya sendiri. 

“Di Seluma, Bengkulu, peta wilayah adat ada dan sudah diakui Perda, tapi komunitas masyarakat adat di daerah ini justru dituduh mencuri di atas tanahnya sendiri,” kata Fahmi dalam Rakernas AMAN ke-VIII

Selain itu, intimidasi dari pihak perusahaan juga tidak jarang melibatkan aparat. Seorang warga di Desa Batu Kajang, Kalimantan Timur, mengungkapkan bahwa setelah menutup jalur mobilisasi truk pengangkut batu bara yang mengganggu akses warga, ia kerap mendapat ancaman dari aparat. Polisi yang menghubunginya meminta agar ia dan warga lainnya berhenti melakukan aksi penutupan jalan. Bahkan, rumah warga yang menolak pun kerap didatangi oleh orang-orang yang tidak dikenal. 

Baca juga: Di Negara yang Sibuk Membabat Hutan, RUU Masyarakat Adat Akan Dilihat Sebagai Ancaman 

Produk Hukum Kian Tak Berfungsi 

Selain intimidasi, masalah lain yang dihadapi masyarakat adat adalah produk hukum yang sering kali gagal melindungi mereka. Dalam Dialog Umum Rakernas AMAN ke-VIII, Rukka menyoroti kegagalan hukum ini, yang semakin diperburuk oleh kebijakan pemerintah seperti penetapan 77 Proyek Strategis Nasional (PSN) dan pengesahan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (TNI). 

“Kebijakan itu (Proyek Strategis Nasional dan Undang-Undang TNI) memperkuat watak militeristik dan melegalkan perampasan wilayah adat,” jelas Rukka.  

Selain itu, meskipun konstitusi Indonesia telah mengakui hak-hak masyarakat adat, pengoperasionalan hak tersebut masih jauh dari ideal. Menurut Rukka, aturan tentang masyarakat adat tersebar di berbagai undang-undang, yang membuatnya tidak terhubung dan sulit untuk diterapkan. 

“Aturan tentang Masyarakat Adat tercecer di berbagai undang-undang. Ini ibarat tubuh yang diatur oleh kepala, tangan, dan kaki yang tidak terhubung,” tambah Rukka. 

Foto: Syifa Maulida/Magdalene

Mekanisme Penyelesaian Sengketa yang Merugikan 

Dalam kasus sengketa lahan yang kerap menimpa masyarakat adat, Rukka juga menyoroti ketidakjelasan mekanisme penyelesaian yang sering merugikan mereka. Banyak kasus di mana proses pengadilan tidak memberi pilihan yang adil bagi masyarakat adat. 

“Lu suka atau tidak, pokoknya harganya segini, nih ada di pengadilan. Jadi tidak ada intensi, tidak ada niat baik. Tidak ada niat tulus untuk berhadap-hadapan dengan masyarakat adat. Tidak ada pilihan, nih pokoknya di pengadilan lu ambil atau tidak terserah lu. Sekian uangnya di pengadilan. Kan begitu situasinya saat ini,” terang Rukka. 

Baca juga: ‘Tahun Penuh Gulma’, Perampasan Tanah, dan Kriminalisasi Masyarakat Adat 

Perlawanan adalah Kunci 

Menghadapi kenyataan tersebut, Rukka menekankan pentingnya perjuangan untuk memperkuat konsolidasi internal masyarakat adat. Ia juga menyoroti perlunya pengakuan yang lebih luas atas wilayah adat, serta dorongan untuk mengesahkan Undang-Undang Masyarakat Adat yang sudah lama diperjuangkan. 

Sebagai langkah konkret, Rukka mengingatkan masyarakat adat untuk melakukan pemetaan wilayah adat mereka. Menurutnya, pemetaan ini bukan sekadar peta biasa, tetapi sebuah alat perlawanan, pengingat sejarah, dan bukti eksistensi. 

“Petakan wilayah adatmu, karena bisa jadi wilayah itu sudah dibagi-bagi oleh orang lain tanpa kita sadari. Peta bukan hanya selembar kertas, tapi alat perlawanan, pengingat sejarah, dan bukti keberadaan,” ujar Rukka. 

Rukka juga menegaskan, perjuangan AMAN masih jauh dari selesai. Meski bentuk penindasan terhadap masyarakat adat kini berbeda, substansinya tetap sama. Perjuangan ini, menurutnya, harus terus berlanjut. 

“AMAN lahir dari perlawanan terhadap militerisme Orde Baru. Hari ini, wajah penindasan mungkin berubah, tapi wataknya tetap sama. Dalam situasi ini, sahabat kita adalah alam semesta, leluhur, dan pencipta,” pungkasnya. 

About Author

Syifa Maulida

Syifa adalah lulusan Psikologi dan Kajian Gender UI yang punya ketertarikan pada isu gender dan kesehatan mental. Suka ngopi terutama iced coffee latte (tanpa gula).

Leave a Reply