Politics & Society

Guyonan Seksual, Pisau Bermata Dua

Kenali guyonan seperti apa yang membuatmu nyaman dan tidak nyaman, lalu tetapkan batas-batas yang tidak boleh dilanggar oleh orang lain.

Avatar
  • July 3, 2017
  • 4 min read
  • 2431 Views
Guyonan Seksual, Pisau Bermata Dua

“Tin, kalau malam pertama jangan pakai celana jins. Nanti suamimu susah buka celanamu. Jangan-jangan nanti jinsmu dia robek-robek dia gunting-gunting”, Dina berkelakar melihat Tina yang setiap harinya memakai celana jins.
 
“Baiknya kita tinggal sekompleks ya, Din. Nanti kalau suamiku nggak sabaran, biar dia lari ke kamu saja. Kamu duduk di samping jendela malam-malam sambil pakai lingerie. Hmm, seksinya!”

“Coba sebutkan ‘jagung tinggi’ dalam Bahasa Inggris. Lafalkan dengan cepat!”

“Punyanya Aldo mah udah lecet soalnya dia main pake selang air di kamar mandi.”
 
Saya melihat fenomena menarik dalam kancah pergaulan. Saat laki-laki bercanda mengenai seks di jam kosong kuliah, ada beberapa reaksi yang diberikan oleh perempuan. Banyak di antaranya memalingkan wajah dan diam, entah mereka tidak memahami apa yang dimaksudkan atau sengaja bersikap demikian. Kedua, beberapa tidak berusaha menolak, namun menahan tawa dan berucap, “Kalian gila”. Respon ketiga adalah menegur kumpulan laki-laki ini karena berpikiran porno. Saya masuk dalam golongan ke empat: Saya tertawa bersama mereka.
 
Tawa saya mungkin terdengar mencolok. Sering sekali salah satu di antara laki-laki ini menunjuk saya dan berujar, “Dia ngerti! Dia ikut tertawa!”
 
Di momen itulah saya mulai merasa tidak nyaman. Saat itu pula saya sadar, saat saya tertawa dengan laki-laki, mayoritas perempuan berusaha bersembunyi, mengaburkan diri. Yang perempuan-perempuan ini lakukan ada benarnya. Esok harinya, teman laki-laki tidak lagi tertawa dengan saya. Mereka menertawakan saya, menggunakan saya sebagai obyek dalam guyonan seksual. Kali ini saya tidak merasa terhibur, saya justru merasa terganggu dan marah.
 
Fenomena ini bisa sepenuhnya dipahami. Indonesia menganut budaya patriarki. Mayoritas laki-laki dan perempuan belum melek konsep kesetaraan gender atau feminisme. Dalam budaya patriarki, laki-laki memiliki kuasa atas seksualitas perempuan. Istri wajib memenuhi hasrat seksual suami. Sementara itu bagi perempuan yang belum menikah, seksualitasnya dikekang oleh paradigma ‘kehormatan perempuan terletak pada selaput daranya’.
 
Konsep ini telah menempatkan perempuan dalam posisi tidak menguntungkan, bahkan membodohkan. Perempuan yang melakukan hubungan seksual sebelum menikah dianggap murahan bahkan disebut pelacur. Karena sebab-sebab tersebut, perempuan tidak boleh terang-terangan menyukai seks atau bicara tentang seks. Nanti dicap murahan, seperti barang. Sungguh ironis, karena di hadapan publik, perempuan perlu berpura-pura tidak suka atau kadang buta dengan urusan seks. Sementara di ranjang, perempuan harus jago ngeseks.
 
Guyonan atau humor sebenarnya adalah pisau bermata dua. Ia dapat mengakrabkan atau malah menjauhkan. Ia dapat menghibur atau menjatuhkan. Melalui guyonan, isu berat dapat disampaikan dengan ringan dan menarik. Dengan guyonan, kata-kata jahat disalut manis sehingga tidak seorang pun boleh sakit hati atau menanggapinya serius, karena itu hanyalah guyonan. 
 
Selera humor atau guyonan seseorang dipengaruhi banyak hal, dari gender, kelas sosial, tingkat pendidikan, lingkungan, hingga kepribadian. Saya menikmati guyonan seksual karena kelucuannya. Saya merasa terhibur dengan obsesi kawula muda dengan seks. Menurut saya, sikap anak-anak muda yang menggebu-gebu dengan seks sehingga banyak memikirkan, selalu mendambakan, hingga menjadikannya bahan candaan, adalah hal yang menarik. Namun tentu, hal yang saya anggap lucu bisa berarti mengganggu untuk orang lain.
 
Bahan guyonan seksual sangatlah bervariasi. Bisa jadi tentang mansturbasi, sunat, hingga permainan kombinasi kata-kata bahasa Inggris (yang apabila dilafalkan secara cepat ternyata berarti kata-kata seksual). Guyonan seksual bisa jadi tidak melibatkan seseorang sebagai objeknya. Ada juga guyonan seksual yang melibatkan seseorang di dalam pergaulan itu sebagai objek. Baik perempuan maupun laki-laki bisa menjadi objek guyonan seksual.
 
Membedakan guyonan seksual yang baik dan jahat adalah persoalan yang cukup sulit. Apabila saya digunakan sebagai bahan guyonan seksual, apakah artinya saya sedang direndahkan? Tergantung. Jika dilakukan di depan umum, maka jawabannya adalah ‘Ya’. Karena masyarakat menganut budaya patriarki, maka dijadikan guyonan seksual di muka umum sangatlah berisiko buat saya. Namun apabila guyonan ini terjadi di antara saya dan teman-teman terdekat yang memiliki prinsip sama, saya merasa nyaman-nyaman saja. Karena saya tahu di balik guyonan seksual itu mereka tahu seks adalah hak dan urusan pribadi saya, bahwa nilai saya tidak semata-mata ditentukan oleh seks.
 
Kuncinya adalah pada diri sendiri. Kenali apa yang membuatmu nyaman dan tidak nyaman. Lalu tetapkan batas-batas yang tidak boleh dilanggar oleh orang lain. Apabila merasa tidak nyaman dengan guyonan seksual, menolaklah terlibat. Jika tidak nyaman dijadikan bahan guyonan seksual, baik laki-laki maupun perempuan harus berani menyatakan ketidaknyamanan itu. Dan orang-orang ini harus berhenti melakukannya.
 
Guyonan adalah undangan untuk tertawa. Namun pada akhirnya, kita lah yang menentukan apakah hendak menyambut atau melewatkan undangan tersebut.
 
Aisy Kade adalah spons kecil asal kota Batu yang gemar menulis tentang kehidupan sehari-hari. Bisa diselidiki di megavolta.blogspot.com.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aisy Kade

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *