December 5, 2025
Issues Lifestyle Opini Politics & Society

Jeratan ‘Pinjol’ dan ‘PayLater’: Cerita Ketimpangan Finansial dalam Hidup Queer

Bagi banyak individu queer, ‘pinjol’ bukan sekadar pilihan finansial, melainkan jalan bertahan hidup di tengah diskriminasi struktural dan ketidaksetaraan akses.

  • July 17, 2025
  • 4 min read
  • 1869 Views
Jeratan ‘Pinjol’ dan ‘PayLater’: Cerita Ketimpangan Finansial dalam Hidup Queer

Bagi banyak individu queer, pandemi Covid-19 bukan hanya krisis kesehatan, tetapi juga titik awal keterjerumusan dalam jeratan pinjaman online (pinjol). Ketika tabungan menipis, pekerjaan sulit dicari, dan jaringan sosial terbatas, pinjol kerap menjadi satu-satunya jalan keluar.

“Karena kepepet dan butuh uang cepat. Panik juga mungkin ya… Jadi waktu itu yang terpikir cuma pinjol. Ditambah lagi COVID, cari uang dari (pekerjaan) freelance pun susah,” ujar seorang individu queer yang saya wawancarai.

Tanpa akses ke pekerjaan formal, tabungan darurat, atau dukungan keluarga, layanan pinjol tampil sebagai “penolong instan”. Laporan konsorsium yang mendukung kelompok minoritas seksual dan gender di Indonesia, Crisis Response Mechanism (2021), menunjukkan bahwa hampir 90 persen responden komunitas LGBTQ+ meminjam uang karena pandemi. Sebanyak 13,6 persen dari mereka menggunakan pinjol karena prosesnya cepat, syaratnya minim, dan tidak mempersulit soal dokumen.

Namun, kondisi ini bukan semata akibat pandemi. Banyak individu queer sudah terpaksa hidup mandiri sejak remaja karena dikeluarkan dari rumah, kehilangan dukungan keluarga, dan putus sekolah. Ketimpangan akses pendidikan dan pekerjaan formal mempersempit peluang ekonomi mereka. Laporan Being LGBT in Asia (UNDP, 2014) menyoroti bagaimana stigma terhadap ekspresi gender non-normatif, seperti transpuan, membuat mereka sulit diterima bahkan di sektor informal.

Baca juga: Anak Muda Terlilit Pinjol: Enggak Semua demi YOLO dan FOMO

Legal tapi tak selalu aman

Kemudahan akses pinjol dibayar mahal dengan bunga tinggi, denda tak transparan, dan risiko penyalahgunaan data pribadi. Studi Uyun et al. (2024) dari Universitas Jenderal Soedirman, mencatat bahwa mayoritas pengguna pinjol tidak memiliki pemahaman cukup soal literasi keuangan, dan lebih dari separuh tidak bisa membedakan antara aplikasi legal dan ilegal.

Secara hukum, pinjol legal yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) wajib mematuhi aturan perlindungan data pribadi. Berdasarkan Peraturan OJK No. 77/2016, pinjol hanya boleh mengakses kamera, mikrofon, dan lokasi. Namun, dalam praktiknya, beberapa pinjol legal tetap meminta akses ke kontak pribadi, dengan alasan “verifikasi”.

Sebaliknya, pinjol ilegal bertindak tanpa aturan. Mereka menyedot seluruh data dari ponsel pengguna termasuk kontak, galeri, dan pesan pribadi. Bila peminjam terlambat bayar, mereka menyebarkan pesan ke seluruh kontak, menyebut peminjam sebagai “penipu” atau “buronan”, bahkan mengumbar informasi sensitif.

“Aku pernah sampai diteleponin orang kantor. Enggak ngerti gimana mereka tahu aku kerja di mana dan bisa dapat kontak orang kantorku. Aku takut banget dipecat. Kalau sampai dipecat, gimana bayarnya?” cerita salah satu individu queer lainnya.

Baca juga: Berutang Agar Bisa Kuliah: Benarkah Pinjol Solusinya?

PayLater: pinjaman yang tersamar

Menurut OJK, pinjol adalah layanan fintech lending atau pinjaman yang diproses secara daring tanpa pertemuan tatap muka. Namun, tidak semua bentuk utang terlihat seperti utang. Fitur PayLater di e-commerce atau transportasi daring sering menipu persepsi pengguna dengan mengesankan seolah bukan pinjaman, hanya “nanti dibayar” baik secara sekaligus maupun dicicil.

Studi Literasi Keuangan Generasi Muda (2022) oleh OJK mencatat bahwa PayLater menciptakan ilusi aman karena tampilannya kasual. Padahal, dampaknya sama seriusnya. Banyak pengguna terjerumus karena menganggap cicilannya ringan, tanpa mempertimbangkan kemampuan bayar jangka panjang.

“Saat itu aku lagi depresi banget karena skripsi dan overthinking soal masa depan. Jadi pelarianku ya belanja impulsif lewat PayLater. Awalnya kayak ringan, tapi ternyata aku malah pusing bayar cicilannya. Sampai gaji sebulan habis buat nyicil,” ujar seorang narasumber.

Dari situ, ia terjebak gali lubang tutup lubang, memakai lima sampai enam aplikasi pinjol untuk menutupi utang sebelumnya. Dengan kemasan yang ramah pengguna, PayLater menyamarkan realitas sebagai utang digital yang pelan-pelan menggerogoti kestabilan finansial.

Kisah-kisah di atas menunjukkan bahwa keputusan finansial individu queer tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial. Ketika dunia kerja menolak, keluarga tidak mendukung, dan sistem keuangan menuntut identitas normatif, maka pinjol dan PayLater menjadi bentuk bertahan, bukan sekadar kebiasaan buruk.

Anggapan bahwa komunitas queer tidak cakap finansial tidak hanya keliru, tetapi juga tidak adil. Banyak dari mereka justru terbiasa mengelola keuangan secara mandiri sejak muda, tanpa jaring pengaman, tanpa akses bank, dan dalam kesendirian yang panjang. Namun, sekuat apapun daya juang, sistem yang tidak berpihak tetap menjebak dalam siklus risiko.

Baca juga: Bagaimana Pinjol Jerat Anak Muda lewat ‘Mobile Games’

Literasi keuangan harus dipahami lebih dari sekadar mengelola bunga atau menabung. Ia harus berpihak untuk menciptakan ruang belajar aman, sistem yang inklusif, dan akses yang adil tanpa diskriminasi. Keadilan finansial untuk komunitas queer berarti menghentikan stigma, menciptakan layanan keuangan yang tidak mensyaratkan identitas tertentu, serta memastikan bahwa setiap klik pada aplikasi pinjaman tidak membuka pintu menuju krisis berikutnya.

Riska Carolina adalah Chairperson dari SGRC Indonesia (Support Group and Resource Center on Sexuality Studies). Artikel ini ditulis berdasarkan keprihatinannya melihat semakin banyak individu queer terjebak dalam utang digital tanpa perlindungan yang memadai.

About Author

Riska Carolina

Riska Carolina, feminis, pembela HAM, dan advokat untuk studi seksualitas, bercita-cita jadi ahli hukum seksualitas—memang belum profesor, hanya provokator yang ingin menjembatani hukum dan seksualitas.