December 6, 2025
Culture People We Love Prose & Poem

Ida Fitri adalah Pengeras Suara untuk Perempuan Aceh 

Tulisan-tulisan Ida Fitri berhasil mengangkat suara perempuan Aceh yang terpinggirkan dari sejarah dan budaya.

  • July 17, 2025
  • 5 min read
  • 6848 Views
Ida Fitri adalah Pengeras Suara untuk Perempuan Aceh 

Aceh adalah tanah yang lekat dengan konflik. Sejak perlawanan melawan kolonial Belanda, pembantaian massal 1965, pemberontakan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII), hingga perang bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan militer Indonesia, sejarah provinsi ini ditulis dalam huruf-huruf hitam pekat. 

Konflik di Aceh enggak cuma menelan nyawa, tapi juga menyisakan luka yang diwariskan antar-generasi. Negara tampak lebih peduli menjaga citra ketimbang membuka ruang penyembuhan. Tanpa pengakuan, trauma pun menjelma beban kolektif yang terus menghantui. 

Dalam keheningan trauma ini, Ida Fitri—perempuan asal Bireun—mengambil peran penting sebagai penulis. Ia tidak sekadar mengisahkan dirinya, tapi turut menyuarakan memori kolektif masyarakat Aceh yang selama ini dibungkam. Kehadirannya menjadi napas segar dalam dunia sastra Indonesia, yang masih jarang menempatkan Aceh dan pengalaman perempuan di pusat cerita. 

Lewat karya-karyanya, Ida menggedor kesadaran publik. Dalam wawancara dengan Magdalene, (11/7) lalu, Ida mengisahkan pengalaman dan refleksi sebagai perempuan Aceh yang bertahan di tengah konflik. Ia berharap, tulisannya bisa menjadi suara hidup yang menuntut pengakuan, bukan hanya sebatas catatan sejarah. 

Baca juga: Mpu Uteun: Kelompok Perempuan Pelindung Hutan Aceh yang Melawan Patriarki  

Ketika Tangan Bersaksi atas Trauma 

Tahun 2015 menjadi titik balik Ida dalam menulis. Seorang kawan menyimpan surat-surat lamanya dan mengaku menyukai cara Ida mengekspresikan pemikiran. Kalimat itu menampar lembut Ida, menyadarkan bahwa kata-katanya hidup, meski lama tertidur dalam kertas-kertas usang. 

Sejak itu, ia kembali menulis. Bukan hal sulit bagi Ida, sebab ia memang akrab dengan bacaan. Buku demi buku dilahap, berita ia ikuti saban hari. Namun, seiring itu pula, ia tak lagi tenang. Ketimpangan, ketidakadilan, dan sistem yang bobrok memaksanya bergerak. Tak hanya membaca, ia juga banyak mengamati sekeliling. 

“Aku melihat sekelilingku sendiri. Kejadian-kejadian di Aceh ini sangat dekat dengan kekerasan atau trauma kekerasan oleh militer,” ungkapnya. 

Ida kemudian mengisahkan pengalaman masa remajanya, ketika suara tembakan jadi latar malam hari. Pemadaman listrik bisa berlangsung sebulan penuh, pohon-pohon ditebang, akses warga terputus. Sekolah pun sering diliburkan. Ketakutan merajalela. 

“Begitu ada kontak senjata ya, ketakutan, gemetaran, pulang dengan merangkak, takut rumahnya dibakar gitu,” ceritanya. 

Di tengah kekacauan itu, desas-desus tentang mobil pickup berkeliling membuang mayat semakin mempertebal teror. Masyarakat hidup dalam ketegangan. Bahkan setelah konflik berakhir pada 2005, residu traumanya masih terasa. 

“Perempuan-perempuan itu kalau lihat tentara atau truknya mulas (perutnya), langsung lari ke rumah. Mereka sampai ada yang terkencing-kencing di celana, itu kan traumanya luar biasa ya,” tutur Ida. 

Situasi ini menjadi bahan bakar emosional Ida dalam menulis Paya Nie—novelnya yang bercerita tentang empat perempuan: Ubiet, Mawa Aisyah, Cuda Aminah, dan Kak Limah. Mereka hidup di tengah konflik, mencoba bertahan meski dihantam kekerasan dari berbagai arah. Novel ini hanya 194 halaman, tapi Ida menulisnya selama empat tahun karena kerap harus memberi jeda untuk memproses emosi. 

Namun kerja keras itu berbuah manis. Paya Nie membawanya menjadi juara III Sayembara Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2023. 

Baca juga: Rambu Dai Mami, Pemimpin Perempuan dari Tanah Sumba  

Lingkaran Kekerasan yang Menjebak Perempuan 

Ida tidak hanya menulis untuk mencatat sejarah. Ia juga berusaha membuka realitas kekerasan berbasis gender yang selama ini luput dari sorotan. Baik dalam Paya Nie maupun kumpulan cerpen Neraka yang Turun di Kebun Kelapa, Ida mengangkat bagaimana perempuan terjebak di antara konflik bersenjata dan budaya patriarki yang mengakar kuat di Aceh. 

Meski ada tokoh-tokoh perempuan legendaris seperti Cut Nyak Dhien dan Laksamana Malahayati, peran perempuan Aceh hari ini masih sangat domestik. Mereka dituntut mengurus rumah, anak-anak, dan tunduk pada suami. Ruang gerak mereka dibatasi oleh norma dan nilai sosial yang menindas. 

Dalam konteks konflik, kekerasan terhadap laki-laki oleh aparat kerap berujung pada kekerasan di ranah domestik. Para suami atau ayah yang mendapat kekerasan dari aparat membawa trauma itu ke rumah, dan melampiaskannya pada perempuan. 

“Ada semacam apa ya, mungkin pelampiasan ya atau lingkaran kekerasan dan karena harus patuh pada suami jadi ketika (mengalami) KDRT itu kadang perempuan membiarkan aja. Dia sudah terstigma bahwa itu hal yang wajar,” jelasnya. 

Ida menyampaikan kenyataan ini lewat karakter Khadijah dalam Paya Nie, yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga dari suaminya Mail, korban kekerasan aparat. Kisah ini menjadi potret dari mekanisme pelampiasan kekuasaan yang berlapis, dan bagaimana perempuan menjadi korban paling rentan. 

Kekerasan terhadap perempuan selama konflik tak berhenti di ranah domestik. Ida juga mengangkat isu pemerkosaan oleh aparat sebagai alat dominasi. Dalam konflik, tubuh perempuan dianggap simbol kehormatan yang bisa ditaklukkan untuk menebar teror. Tujuannya jelas, yakni menghancurkan ikatan sosial dan memudahkan kontrol atas wilayah. 

Kekerasan seksual semacam ini sangat jarang dibicarakan, baik dalam karya sastra maupun narasi sejarah resmi. 

“Konflik, mau apa pun itu lebih banyak mengangkat suara laki-laki dari sisi penulis laki-laki. Suara perempuan hilang begitu saja,” pungkasnya. 

Baca juga: Santi Warastuti dan Legalisasi Ganja Medis: Saya Takkan Berhenti  

Melawan Penghapusan Sejarah dari Sudut Pandang Perempuan 

Dalam wawancara itu, Ida juga menyoroti proyek penulisan ulang sejarah oleh Kementerian Kebudayaan, yang dikoordinasi Fadli Zon. Ia menilai, penghilangan konflik bersenjata antara GAM dan militer dari narasi resmi menunjukkan ketidakseriusan negara dalam mengakui pelanggaran HAM. 

Bagi Ida, penghapusan ini adalah bentuk kekerasan terselubung yang kembali membungkam suara para korban, terutama perempuan. Karena itu, ia merasa penting untuk bersuara. Menulis menjadi caranya merebut ruang yang diabaikan sejarah. 

Ida tahu perempuan Aceh perlu menuturkan sendiri kisah mereka. Namun lebih dari itu, masyarakat luas juga perlu tahu dampak nyata dari konflik bersenjata terhadap kehidupan perempuan. Karena jika sastra adalah cermin masyarakat, maka Ida adalah penjaga cerminnya. Semua agar bayangan perempuan Aceh tak lagi kabur, atau dihapus sama sekali. 

About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.