December 5, 2025
Issues Opini

Membacakan Buku untuk Anak: Praktik Sederhana, Dampak Luar Biasa

Membacakan buku untuk anak tak hanya membangun literasi, tapi juga menanam empati, ketahanan emosi, dan kemampuan berpikir kritis.

  • July 18, 2025
  • 5 min read
  • 633 Views
Membacakan Buku untuk Anak: Praktik Sederhana, Dampak Luar Biasa

Setiap malam, Esa selalu menyempatkan diri membaca buku untuk anaknya. Di kamar yang mulai redup dan tubuh yang sudah letih setelah bekerja seharian sebagai digital marketer, ia tetap melantunkan cerita.

“Karena aktivitas sebelum tidur itu jadi core memory,” ujarnya. Bagi Esa, ini bukan sekadar rutinitas, tapi bentuk kehadiran penuh seorang ibu.

Ritual membacakan buku itu ternyata membawa dampak besar. Anak Esa kini lebih fokus, memiliki kosa kata lebih kaya, dan tidak ragu mengungkapkan perasaan. “Membaca bersama bukan kewajiban. Buat saya, ini kebutuhan,” katanya. Dalam dunia yang dipenuhi distraksi digital dan konten instan, ruang tenang seperti ini menjadi langka dan sangat berharga.

Apa yang dilakukan Esa sebenarnya adalah tindakan sederhana, tapi menyimpan dampak luar biasa. Membacakan buku bukan hanya sarana mengenalkan literasi, tapi juga media membangun kedekatan emosional, empati, dan ketahanan mental anak. Sayangnya, praktik ini mulai tergeser oleh gawai, tayangan YouTube, atau “white noise” yang dianggap pengganti cerita pengantar tidur.

Baca juga: Literasi Digital Ortu Tinggi, tapi ‘Sharenting’ Jalan Terus

Cerita bukan sekadar hiburan

Yustiana, seorang ibu rumah tangga di Jakarta, punya kebiasaan yang serupa. Ia membacakan buku setiap malam kepada dua anaknya yang terpaut usia cukup jauh. Menurutnya, membacakan buku memberi dampak pada tiga aspek: literasi, hiburan, dan kestabilan emosional.

“Anak-anak saya jadi lebih ekspresif dan bisa bercerita,” tuturnya.

Menurut Lita Soerjadinata, penerjemah dan pegiat literasi di Bandung, rutinitas membaca sebelum tidur membuat anaknya belajar mendengarkan, bukan hanya kepada cerita, tetapi juga kepada orang tuanya.

“Ia jadi belajar untuk lebih dulu mendengarkan kata-kata orang tuanya dibanding orang lain,” ujarnya, menambahkan bahwa anaknya kini tumbuh menjadi sosok yang lebih mampu mendengarkan dan lebih percaya diri dalam berkomunikasi.

Cerita-cerita sederhana dalam buku juga mengandung kekuatan luar biasa. Menurut American Academy of Pediatrics (2023), anak-anak yang rutin dibacakan buku sebelum usia lima tahun menunjukkan perkembangan kognitif dan emosional 30–40 persen lebih cepat. Mereka memiliki keterampilan bahasa yang lebih baik, daya imajinasi lebih luas, dan kemampuan mengelola emosi yang lebih stabil.

Data dari Pusat Penelitian Literasi dan Inovasi Pendidikan juga mengungkapkan bahwa anak-anak yang dibacakan buku sejak dini memiliki kemungkinan 52 persen lebih besar untuk tumbuh sebagai pembaca mandiri di usia sekolah dasar. Ini bukan hanya soal akademik, tapi juga tentang membentuk cara berpikir, cara mengelola konflik, dan kemampuan memahami orang lain—modal penting dalam hidup bermasyarakat.

Dalam psikologi perkembangan, cerita dipahami sebagai media penting untuk melatih executive functioning, yakni kemampuan merencanakan, mengatur emosi, menyelesaikan masalah, dan membuat keputusan. Saat anak mendengar kisah tentang tokoh yang sedih, takut, atau marah, mereka belajar menamai dan memproses emosi mereka sendiri. Ini adalah pondasi dari empati, sebuah kemampuan yang tidak bisa dibentuk lewat layar atau worksheet.

Baca juga: Literasi Digital Penting Diterapkan sejak Sekolah Dasar

Tantangan akses dan kelelahan

Sayangnya, di Indonesia praktik ini belum mengakar kuat. Menurut data Goodstats.id (2023), hanya 36 persen anak usia dini di Indonesia yang terbiasa dibacakan buku setiap hari oleh orang tua atau pengasuh. Angka ini mencerminkan dua masalah besar: kurangnya kesadaran dan terbatasnya akses terhadap buku anak yang berkualitas dan terjangkau.

Esa menyadari betul hal ini. Ia merasa beruntung karena tinggal di kota dengan akses perpustakaan umum dan toko buku. Tapi banyak keluarga lainnya tidak punya kemewahan yang sama. Karena itu, ia mendorong pentingnya memperkuat taman baca, komunitas literasi lokal, serta digitalisasi buku anak yang murah dan layak.

“Buku itu jendela dunia, tapi nggak semua anak punya jendela yang sama,” katanya.

Lita mengangkat isu yang lebih struktural. Ia mengusulkan agar setiap anak yang lahir secara otomatis menjadi anggota perpustakaan wilayah melalui nomor induk kependudukan.

“Ini bukan ide utopis,” katanya. “Beberapa negara Skandinavia sudah menjalankannya. Negara hadir sejak awal, menanamkan kebiasaan membaca dari rumah.”

Di tengah infrastruktur digital Indonesia yang terus berkembang, wacana ini bukan mustahil untuk diwujudkan.

Yustiana menyoroti tantangan yang lebih personal: kelelahan. “Sering kali rasa capek jadi penghalang utama,” ujarnya jujur. Tapi ia bertahan karena ia tahu, hasilnya terasa nyata, meski tidak instan. Ia berharap semakin banyak orang tua yang menyadari bahwa membaca buku untuk anak bukan aktivitas pelengkap, tapi fondasi pendidikan emosional yang paling murah dan paling efektif.

Dan jika kita sungguh ingin membangun bangsa yang tidak mudah dibohongi, tidak mudah dibeli, dan tidak mudah dibentuk oleh algoritma, maka mulailah dengan membacakan satu buku untuk tetap berusaha hadir sepenuhnya. Karena membaca buku untuk anak adalah tindakan politis dalam bentuk sederhana dan tidak populer. Membangun negara dari dalam rumah, dari dalam pikiran, dari dalam hati. Dan seperti semua kerja politik sejati, ia tidak memberi hasil instan, tetapi akan menciptakan generasi yang tak mudah dikendalikan, tak mudah kehilangan arah.

Baca juga: Menjajal Langkah Kreatif untuk Tingkatkan Literasi Siswa

Anak yang terbiasa mendengar cerita akan lebih terbiasa mendengarkan orang lain. Anak yang akrab dengan narasi akan lebih siap menghadapi hidup yang penuh ketidakpastian. Mereka memahami bahwa tidak semua konflik bisa selesai dalam satu paragraf. Bahwa butuh proses, waktu, dan refleksi untuk mengerti sesuatu. Dan semua itu, berakar dari suara orang tua yang membacakan cerita di samping tempat tidur mereka.

Membacakan buku bukan hanya investasi untuk anak, melainkan praktik politik dalam bentuk paling intim, membangun warga negara sejak usia dini dari dalam rumah. Anak yang terbiasa membaca akan lebih tahan terhadap hoaks, lebih skeptis terhadap narasi tunggal, dan lebih kuat menghadapi tekanan emosional. Mereka belajar menunda reaksi, menyusun argumen, dan memahami sudut pandang berbeda.

Kalau kita ingin membangun bangsa yang tak mudah dibohongi, tak mudah dibeli, dan tak mudah diprovokasi, mulailah dari satu tindakan kecil: bacakan satu buku untuk anakmu malam ini. Jangan tunggu momen istimewa. Karena dari cerita-cerita sederhana itu, bangsa yang kritis, lembut, dan tangguh sedang dibentuk pelan-pelan.

Foggy FF adalah Penulis, Pegiat Sosial dan Literasi, tinggal di Bandung.

About Author

Foggy FF

Foggy FF adalah novelis dan cerpenis, aktif berkampanye tentang isu kesehatan mental dan pemberdayaan perempuan.