Menonton ‘The Truman Show’, Menatap Nasib Anak yang Tubuh dan Jiwanya Dieksploitasi Kamera
Butuh waktu 30 tahun bagi Truman, untuk menyadari bahwa gerak-geriknya diikuti oleh kamera. Tidak tanggung-tanggung ada 5000 kamera tersembunyi yang menyertainya. Sangat menarik dan asyik mengikuti kehidupan selebriti selama 24 jam, meskipun Truman sama sekali tidak menyadari bahwa ia seorang selebriti. Ia menjadi selebriti tanpa konsen.
Christof sang produser The Truman Show, yang diperankan Ed Harris, menciptakan utopia bagi Truman sejak masih bayi. Tak ayal saat Truman ingin mencapai kebebasannya, Christof mencoba “mengaslight” Truman dengan berkata bahwa dunia di luar seaheaven tidak sebaik dan seindah dunia ciptaannya itu.
Saat mengatakan itu, Christof tentu tidak bersimpati pada kebebasan Truman yang dirampasnya sejak lahir. Ia hanya takut kehilangan pundi-pundi uang yang dihasilkan dari eksploitasi atas tubuh Truman sejak masih berusia satu hari. Lihat berapa banyak brand yang ditampilkan di The Truman show. Bubuk cocoa instan, bir kaleng, hingga pisau dapur: semua muncul sebagai produk yang diiklankan Truman, yang tidak sadar dirinya seorang model iklan. Dan tanpa ia sadari pula, brand-brand yang ia minum dan gunakan sebagai minuman dan barang sehari-hari itu, makin laris-manis. Semua karena dirinya.
Untuk mencapai rating tinggi demi meningkatkan brand deals, Christof menemukan sebuah formula yang ajaib yaitu “Hubungan Parasosial” antara penonton The Truman Show dan Truman sendiri. Hubungan Parasosial sendiri adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan hubungan satu sisi antara pengguna media dan persona media.
Untuk mencapai hubungan parasosial yang sempurna itu, dibuatlah skenario yang menyenangkan penonton, seperti drama ayah-anak yang kompleks antara Truman dan aktor yang berperan sebagai ayahnya, hingga kehamilan istrinya yang tak kunjung tiba, karena Truman yang masih ragu-ragu. “Semakin dramatis semakin laris!”
Setelah menonton The Truman Show, saya teringat kepada anak-anak Indonesia yang kebebasan tubuh dan jiwanya dirampas oleh kamera.
Sejak masih di dalam perut mereka sudah dijadikan konsumsi publik. Orang tua yang biasanya berasal dari kalangan selebritas dan menyambi jadi youtuber, mulai berbondong-bondong membikin konten. Entah menebak gender si calon bayi, ataupun cerita sebelum kehamilan yang inspiratif. Tidak lupa dengan kamera yang selalu mengarah ke perut ibu. Setelah lahir dan menjadi bayi yang bisa berjalan, bicara, dan berpikir, kamera semakin bertambah banyak. Orang tua seolah menjadi sutradara dan penulis skrip di sebuah show, dan anak-anak mereka adalah pemeran utama, yang wajib mematuhi komando si sutradara, makhluk yang punya kuasa lebih karena menyandang gelar “orang tua”.
Baca juga: ‘Otome Games’: Eskapisme Aman untuk Perempuan di Dunia Otaku
Saat Anak Dikapitalisasi Jadi Konten
Layaknya realitas rekaan yang diciptakan Christof di The Truman Show, orangtua punya rumah dan matahari mereka sendiri. Meskipun tidak seluas seahaven. Formulanya pun sama dengan yang digunakan Christof dalam The Truman Show, yakni “hubungan parasosial”. “Semakin dramatis semakin laris!”
Di hadapan kamera yang banyak, mereka membuat anak mereka menjadi santapan yang siap dimakan oleh pengguna internet yang sedang bosan, kesepian, atau butuh hiburan. Anak-anak polos dan lucu tentu lebih disukai dari orang dewasa, mereka dianggap jujur dan apa adanya. Walaupun di hadapan kamera mereka adalah wayang yang dimainkan oleh dalang bernama “orang tua”. Mereka, anak kecil apa adanya, yang dibentuk orang tua untuk menjadi apa yang mereka inginkan.
Mereka kini sering dijuluki “bayi online”, oleh penonton yang gemas pada mereka. Kalau sang bayi online sedih, mereka selaku orang tua online ikut sedih. Kalau bayi online mereka berceloteh mereka akan tertawa dan menyebar link ke semua lini sosial media yang mereka punya. Tapi kalau si bayi online mulai mengeluarkan perilaku yang mengesalkan. Mereka akan merundung bayi online mereka sendiri, bahkan menelantarkan mereka dan mencari bayi online baru.
Orang tua yang bersangkutan tentu tidak merasa kasihan kepada si anak yang masih polos itu. Semakin dramatis semakin laris! Cukup klarifikasi dengan membawa-bawa anak mereka yang memperlihatkan wajah lelah dan sedih karena hinaan dari warga internet. Dan setelah itu viewer akan bertambah, dan brand deals akan semakin banyak. Jadwal syuting semakin padat hingga kamera semakin membuat anak mereka terdesak.
Berkaca dari The Truman Show, mampukah anak-anak itu protes? Haruskah mereka menunggu 30 tahun agar mereka bebas?
Baca juga: ‘Parasocial Break-Up’: Patah Hati Karena Karakter Fiksi
Eksploitasi yang Dinormalisasi
Cerita “Rayyan Arkan Dikha”, anak lelaki berumur 9 tahun, seorang penari pacu jalur asal Kuansing, Riau, yang viral dengan julukan “aura farming” mungkin bisa jadi contoh. Tariannya di ujung perahu berhasil memikat hati para pengguna media sosial dari berbagai lapisan umur. Sekarang, Rayyan terjebak dalam Truman Show-nya sendiri.
Sebuah video di internet, menunjukan dirinya yang menari dengan wajah lelah. Ibunya sendiri mengaku bahwa Rayyan pernah menangis karena kelelahan. Kini tarian Rayyan yang indah itu digunakan untuk memenuhi kantong uang mereka yang tidak pernah cukup. Rayyan semakin lelah, mereka semakin kaya!
Saking normalnya fenomena eksploitatif ini, ia bukan lagi realitas rekaan. Ia jadi relitas kita.
Dalam riset The Child Labor in Social Media: Kidfluencers, Ethics of Care, and Exploitation, ada 424 video YouTube dari 4 kanal kidfluencer terbesar di AS yang diteliti. Hasilnya menyimpulkan: praktik “kidfluencing” memenuhi kriteria buruh anak menurut prinsip dalam Konvensi Hak Anak PBB.
Baca juga: Mengeksplorasi Cinta Lewat Gim ‘Mystic Messenger’
Setidaknya, penelitian itu mencatat lima hak fundamental anak yang secara sistematis dilanggar: Hak atas Persetujuan (Consent): Anak tidak bisa memberikan persetujuan sadar dan berkelanjutan terhadap konten yang menampilkan mereka; Hak atas Privasi: Kehidupan personal terekspos secara terus-menerus hingga berpotensi menimbulkan trauma jangka panjang; Kebebasan dari Eksploitasi Ekonomi: Anak tidak memiliki kontrol terhadap jadwal, penghasilan, atau beban kerja, sementara orang tua dan platform sering diuntungkan secara finansial; Kebebasan dari Bahaya: Konten kadang melibatkan risiko fisik (tantangan ekstrem) dan psikologis (tekanan publik, cyberbullying).
Di Indonesia sendiri, memang ada UU Ketenagakerjaan yang bilang anak di bawah 18 tahun boleh bekerja untuk pengembangan bakat-minat. Hanya itu. Jenis pekerjaan dan jam kerjanya pun dibatasi. Misalnya, tidak boleh pekerjaan berbahaya, yang contohnya menggunakan mesin. Dan mereka cuma boleh bekerja tiga jam sehari. Masalahnya, pengawasan aturan ini belum berjalan maksimal.

Bukan cuma orang tua influencer yang mengejar jumlah views, belakangan dalam kasus Rayyan, pejabat mulai ikut berbondong-bondong menggunakan tarian indah itu sebagai alat pencitraan dan branding citra jenaka. Menjadi viral dan ikut tren dinormalisasi, sementara hak anak dan isu eksploitasi yang mengikutinya dikesampingkan.
Hal ini lagi-lagi mengingatkan saya pada Truman yang di-gaslight oleh Christof. Seperti Truman, anak-anak itu harus segera naik ke atas awan dan menggapai kebebasan mereka. Masalahnya, di realita ini, itu baru bisa terjadi kalau orang-orang dewasanya sendiri sudah terbebas dari belenggu kapitalisasi dunia digital.
















