Viral Struk Restoran Ada Biaya Royalti Musik Rp29 Ribu—Ini Fakta, Aturan, dan Hak Konsumen
Lagi rame di media sosial, beredar foto struk pembayaran makan di sebuah restoran yang bikin orang mengernyit. Bukan cuma harga makanannya, tapi ada biaya tambahan yang enggak biasa: biaya royalti musik dan lagu sebesar Rp29.140.
Dikutip dari Detik, Viral Struk Makan di Resto Ada Biaya Royalti Musik Rp29 Ribu, Ini Faktanya, drama soal royalti musik sebenarnya bukan hal baru. Selama ini, gesekan lebih banyak terjadi di antara musisi dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Tapi belakangan, pemilik kafe dan restoran juga kena imbasnya. Banyak yang akhirnya memilih aman, memutarkan suara kicau burung atau malah membiarkan tempatnya sunyi, buat menghindari ribut-ribut soal royalti.
Nah, foto struk yang viral ini menampilkan biaya royalti musik di dalam tagihan pelanggan. Enggak ada keterangan nama atau lokasi restorannya, tapi hal ini langsung jadi perbincangan, salah satunya oleh pemilik kafe Nuka Mari Kopi di Bogor.
Lewat video di TikTok @nukamarikopi (9/8), sang pemilik mengaku khawatir kalau beban royalti ini dilempar ke konsumen.
“Kalau begini terus, orang makan malah disuruh bayar royalti musik, kan lumayan jumlahnya. Besok-besok orang jadi malas datang. Ini bisa makin runyam gara-gara kasus royalti,” keluhnya.
Baca Juga: Trump-Presiden Prabowo Sepakat: AS Bebas Tarif, Indonesia Bayar Mahal?
YLKI Soroti Beban Biaya ke Konsumen
Ternyata, bukan cuma warganet yang geleng-geleng lihat struk makan dengan biaya royalti musik, tapi juga lembaga perlindungan konsumen. Dikutip dari Tempo, YLKI Soal Tarif Royalti Musik Dikenakan ke Konsumen: Itu Beban Restoran, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) langsung menyoroti praktik ini dan menyebutnya keliru besar.
Menurut Rio Priambodo, Sekretaris Eksekutif YLKI, konsumen enggak seharusnya ikut menanggung beban royalti musik. “Itu kan urusan restoran. Pengenaan royalti ke konsumen enggak nyambung, karena harusnya jadi tanggung jawab pihak resto,” tegasnya saat dihubungi Minggu (10/8).
YLKI juga mempertanyakan dasar hukumnya. Soalnya, kasus ini jelas bikin kontroversi makin panas. Sebelumnya, foto struk bertanggal 5 Agustus 2025 yang menunjukkan tambahan Rp29.140 untuk royalti musik dan lagu sudah viral duluan, memicu debat panjang soal aturan ini.
Dampaknya, banyak kafe dan restoran memilih aman, stop memutar lagu Indonesia, daripada pusing mengurus royalti. Nada serupa datang dari Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia, Tulus Abadi. Ia menilai, menambahkan biaya royalti musik ke tagihan pelanggan itu enggak bisa dibenarkan.
“Konsumen kan enggak pesan musik. Ini bisa dibilang bentuk pemaksaan,” ujarnya.
Tulus menekankan, langkah itu juga enggak adil, apalagi buat orang yang mungkin enggak suka lagu yang diputar. Menurutnya, royalti musik harusnya dibayar dari pendapatan restoran, bukan dibebankan ke kantong pengunjung.
“Konsumen enggak punya urusan soal kewajiban royalti. Itu sepenuhnya tanggung jawab pengelola,” tambahnya.
DPR Dorong Aturan Teknis Royalti Musik Biar Enggak Bikin Ribet Konsumen
Gonjang-ganjing soal struk viral yang memuat biaya royalti musik sampai ke telinga DPR. Dikutip dari Tirto, Dasco Minta Kemenkum Segera Buat Regulasi Teknis Royalti Musik, Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, bilang pihaknya sudah berbicara dengan Kementerian Hukum buat ngebut bikin aturan teknis pengelolaan royalti lagu dan musik, yang jadi ranah Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
Menurut Dasco, Kemenkumham baru aja membentuk formasi komisioner LMKN yang baru. Tugas mereka? Mengatur manajemen royalti di layanan publik komersial seperti restoran, kafe, dan tempat hiburan; bikin SOP penghitungan royalti; sampai jadi penengah kalau ada sengketa pembagian.
Politikus Gerindra itu optimistis, formasi baru ini bakal bikin penarikan royalti jadi lebih tertib dan enggak memberatkan pelaku usaha. “Kita mau ada peraturan menteri yang jelas, supaya mekanismenya fair, enggak bikin rumah makan dan kafe megap-megap,” ujarnya.
Dasco juga menegaskan, revisi Undang-Undang Hak Cipta yang lagi dibahas DPR akan memasukkan pengelolaan royalti sebagai salah satu poin penting. Tapi sambil nunggu UU baru kelar, aturan teknis ini diharapkan bisa jadi solusi sementara biar kasus seperti struk Rp 29 ribu kemarin enggak terulang.
Baca Juga: Omon-Omon Swasembada Pangan Presiden: Banyak Janji, Minim Petani
Langganan Spotify atau YouTube Premium Tetap Kena Royalti Kalau Diputar di Kafe
Setelah heboh struk makan dengan biaya royalti Rp 29 ribu, muncul lagi pertanyaan yang bikin banyak pemilik usaha garuk-garuk kepala: kalau lagu diputar dari Spotify, Apple Music, atau YouTube Premium, masih harus bayar royalti juga enggak sih?
Jawabannya: iya, tetap harus. Dikutip dari Kompas, Mengapa Putar Suara Alam dan Kicauan Burung Juga Kena Royalti di Kafe dan Restoran?, menurut Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kemenkumham, langganan aplikasi streaming itu sifatnya personal. Begitu musiknya diputar di ruang publik, kayak kafe, restoran, atau gym, secara hukum sudah masuk kategori “penggunaan komersial”. Artinya, dibutuhkan lisensi tambahan yang diurus lewat mekanisme resmi, salah satunya lewat Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
Kenapa enggak otomatis tercakup? Karena dalam ketentuan layanan, semua platform streaming jelas-jelas bilang kalau lisensinya cuma buat pemakaian pribadi, bukan buat acara umum atau usaha. Spotify misalnya, secara gamblang menulis kalau izin mereka terbatas untuk penggunaan “personal dan non-komersial”. Jadi, meskipun sudah bayar bulanan, itu cuma menutup hak akses kamu sebagai individu, bukan sebagai pemilik kafe yang putar lagu buat pelanggan.
Suara Alam Bukan Jalan Pintas Bebas Royalti
Buat yang mikir bisa menghindari royalti dengan memutar rekaman gemericik air, kicau burung, atau suara hutan hujan, sayangnya, itu enggak otomatis bikin kamu bebas dari kewajiban hukum. Masih dari Kompas, Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Dharma Oratmangun, bilang tegas kalau rekaman suara apapun, termasuk suara alam, tetap punya “hak terkait” yang dilindungi undang-undang.
“Kalau itu rekaman fonogram, entah suara burung atau ombak pantai, produser yang bikin rekaman itu punya haknya sendiri. Jadi ya tetap harus dibayar,” jelas Dharma.
Meski bukan lagu hasil karya komposer, kalau bentuknya rekaman yang diproduksi oleh individu atau perusahaan, otomatis masuk ke wilayah perlindungan Hak Cipta sesuai Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014. Hak terkait ini mencakup hak produser dan pelaku pertunjukan atas karya mereka—dan itu berlaku juga untuk rekaman suara alam.
Dharma juga mengkritik narasi “nakal” sebagian pelaku usaha yang bilang muter suara alam itu solusi aman dari royalti. “Jangan dibangun narasi seolah-olah putar suara burung itu legal. Kalau rekaman, ya tetap bayar,” tegasnya.
Baca Juga: Kenaikan PPN 12 Persen, ini Pedoman Bertahan dan Berjuang dengan Sebaik-baiknya
Tarif Royalti Sudah Ada Aturannya
Biar enggak bingung, tarif royalti sebenarnya sudah jelas diatur lewat Keputusan Menkumham HKI.02/2016. Untuk usaha kuliner, misalnya:
- Restoran & Kafe: Rp60.000/kursi/tahun untuk pencipta + Rp60.000/kursi/tahun untuk hak terkait.
- Pub, Bar, Bistro: Rp180.000/m²/tahun untuk pencipta + Rp180.000/m²/tahun untuk hak terkait.
- Diskotek & Klub Malam: Rp250.000/m²/tahun untuk pencipta + Rp180.000/m²/tahun untuk hak terkait.
Pembayarannya cukup setahun sekali dan bisa diurus online lewat situs LMKN. Tarif ini berlaku untuk semua pemanfaatan musik atau rekaman di ruang usaha, baik dari speaker, live music, maupun file digital.
Dharma menegaskan, royalti bukan buat mempersulit bisnis, tapi buat menghargai jerih payah pencipta dan produser yang udah bikin karya tersebut.
















