December 5, 2025
Lifestyle Madge PCR

‘Bibit Bebet Bobot’ Plus Anti-Kekerasan: Kriteria Tambahan Perempuan Mencari Pasangan 

Maraknya kekerasan dalam hubungan, termasuk femisida, membuat perempuan menginginkan pasangan yang sadar soal kekerasan.

  • August 14, 2025
  • 4 min read
  • 5538 Views
‘Bibit Bebet Bobot’ Plus Anti-Kekerasan: Kriteria Tambahan Perempuan Mencari Pasangan 

“Parameshvara”—bukan nama sebenarnya, 39, berhenti menggunakan aplikasi kencan pada 2021. Ia mengambil keputusan tersebut setelah mengetahui, pasangan temannya melakukan femisida terhadap perempuan, yang ditemui di aplikasi tersebut. Sementara korbannya, adalah atasan teman Parameshvara yang lain. 

Tak hanya berhenti swipe kanan dan kiri di aplikasi kencan, peristiwa tersebut juga membuat Parameshvara lebih berhati-hati, saat menjalin kedekatan dengan laki-laki. Ia melakukan background checking untuk mengetahui, apakah laki-laki tersebut berada dalam lingkup kekerasan. Sebab, jika ada riwayat kekerasan dalam keluarga calon pasangan, Parameshvara khawatir keselamatannya terancam, ketika hubungan berakhir secara tak baik. 

Bagi Parameshvara, laki-laki yang tidak melakukan kekerasan adalah bare minimum. Setiap orang, ucapnya, berhak untuk hidup aman. Namun, ia menyadari, kekerasan terhadap perempuan dalam hubungan romantis masih kerap terjadi. 

Batas toleransinya jelas: Ia tidak menerima laki-laki yang pernah melakukan kekerasan verbal secara konsisten. Namun, ia bisa memberi ruang bagi mereka yang menyadari pernah melontarkan ujaran seksis atau rasis, lalu memahami bahwa itu salah. 

Baca Juga: Kriteria Gaji Pasangan 250 Juta, Apa Artinya? 

Mencari Pasangan Laki-laki yang Sadar soal Kekerasan 

Dalam laporan yang dirilis Maret lalu, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan, jumlah kasus kekerasan dalam hubungan romantis selama 2024. Mereka mencatat, terdapat 672 pengaduan kasus kekerasan terhadap istri, 632 kasus kekerasan mantan pacar, dan 407 kasus kekerasan dalam pacaran. 

Artinya, perempuan masih rentan menjadi korban kekerasan dalam hubungan. Biasanya, pelaku melakukan kekerasan untuk memiliki rasa kontrol terhadap pasangan. Ini dilatarbelakangi oleh relasi kuasa dan kultur dalam masyarakat patriarkal, yang menganggap laki-laki lebih superior ketimbang perempuan. 

Dalam konteks itu, kekerasan terhadap perempuan sering dianggap wajar untuk “menyelesaikan” masalah hubungan—seperti dijelaskan Yuanita Zandy Putri dalam Hubungan antara kekerasan dalam pacaran dan self-esteem pada perempuan dewasa muda (2012), mengutip studi Katreena Scott dan Murray Straus. 

Realitas ini menjadi sumber kekhawatiran “Irma”, 27. Ia memilih membatasi interaksi dengan laki-laki dan lebih nyaman berteman, karena takut menjalin hubungan romantis. 

“Sebenarnya ini enggak bisa dibenarkan. Enggak ada salahnya mengenal, tapi harus dalam posisi waspada,” ujarnya. 

Irma menilai laki-laki dari cara berbicara dan respons mereka saat menghadapi situasi yang membuatnya tertekan. Misalnya, ketika mengemudi, ia mengamati apakah laki-laki tersebut mudah mengumpat atau mampu mengendalikan emosi. 

Batas toleransinya jelas: Ia tidak menerima laki-laki yang pernah melakukan kekerasan verbal secara konsisten. Namun, ia bisa memberi ruang bagi mereka yang menyadari pernah melontarkan ujaran seksis atau rasis, lalu memahami bahwa itu salah. 

“Menurutku itu bisa dikomunikasikan, karena bisa aja dia menginternalisasi nilai yang dianggap wajar di masyarakat,” kata Irma. “Tapi kalau dia enggak aware soal kekerasan, apalagi pernah melakukan kekerasan fisik, aku mundur.” 

Baca Juga: Jangan Terlalu Pemilih 

Menilai Berdasarkan Kriteria Pasangan 

Bagi Parameshvara, pekerjaan, pendidikan, atau kemapanan bukan prioritas utama. Ada tiga kriteria mendasar dalam memilih pasangan: Emotionally available, tahu apa yang diinginkan dan dibutuhkan, serta memiliki personal boundaries. Ketiganya ia rumuskan dari pengalaman hubungan sebelumnya. 

Soal personal boundaries, misalnya. Ibu Parameshvara dan mantan ibu mertuanya pernah datang tanpa kabar ke rumah, lalu menata ulang barang-barang. Parameshvara menyampaikan keberatan kepada mantan suaminya, tapi tidak direspons serius karena dianggap “itu kan ibu kita.” 

Untuk ketersediaan emosional, Parameshvara menginginkan hubungan yang mendukung perkembangan keduanya. Dalam pernikahan sebelumnya, hanya ia yang merefleksikan relasi dan emosi, sementara mantan suami merasa semua baik-baik saja. Hubungan pun berjalan seremonial tanpa kedalaman. 

Dari ketiga kriteria itu, Parameshvara bisa menilai apakah laki-laki memahami isu kekerasan. Ia tidak mempermasalahkan jika calon pasangan pernah melakukan kekerasan, selama memenuhi dua kriteria pertama dan mampu mengakui serta memperbaiki perilaku. 

“Beda antara orang yang melakukan kekerasan karena enggak ngerti, dengan yang sadar lalu merefleksikannya,” jelasnya. 

Untuk memastikan, Parameshvara juga melakukan background checking selama proses pendekatan—misalnya lewat Google, Get Contact, atau bertanya ke teman. Menurutnya ini penting, apalagi pernah suatu kali ia mendapati laki-laki yang sedang mendekatinya ternyata punya pacar di luar negeri. 

Ia memutuskan untuk menjauh karena laki-laki itu bersikap agresif selama pendekatan. Alasannya jelas: Perselingkuhan adalah bentuk kekerasan psikis, dan di Indonesia, perempuan sering disalahkan ketika laki-laki selingkuh. 

“Apalagi aku janda, rentan disalahin,” tuturnya. 

Baca Juga: Kriteria Perempuan Idaman Lelaki, Standar ‘Absurd’ yang Rugikan Kita 

Serupa dengan Parameshvara, kriteria pasangan Irma adalah laki-laki yang sadar, setiap orang memiliki trauma. Tapi bisa saling memahami dan tumbuh bersama. Menurutnya, laki-laki yang mengenal kondisi emosional diri sendiri bisa merenungkan perbuatannya. 

Namun, Irma memilih berteman sebelum mengawali proses pendekatan. Sebab, Irma bisa mengenal perilaku dan cara bertutur laki-laki tersebut, kemudian menentukan apakah ia merasa nyaman. Ketika cocok berinteraksi sebagai teman, ia meyakini kemungkinannya akan lebih cocok untuk menjalin relasi romantis. 

Pada akhirnya, perempuan mengutamakan keselamatan diri, termasuk dalam menentukan kriteria pasangan. Baik Irma dan Parameshvara enggan menurunkan standar mereka, demi sekadar memiliki pasangan. Sebab, ruang aman bagi perempuan masih sulit ditemukan di masyarakat patriarkal ini. 

“Buatku, mendingan single tapi hidup (daripada kemungkinannya jadi korban kekerasan),” tutup Parameshvara. 

About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.