December 6, 2025
Issues

Perempuan dan Kejahatan Digital: Ancaman Nyata di Era Online

Kejahatan digital makin sering menargetkan perempuan. Dari doxing hingga deepfake, ini ancaman nyata yang perlu kita waspadai bersama.

  • August 25, 2025
  • 5 min read
  • 1375 Views
Perempuan dan Kejahatan Digital: Ancaman Nyata di Era Online

Perkembangan teknologi digital memang membawa banyak peluang baru bagi perempuan, mulai dari akses informasi, ruang berekspresi, sampai kesempatan ekonomi. Tapi, di balik itu semua, dunia maya juga menghadirkan risiko serius yang enggak bisa diabaikan. Berbagai laporan menunjukkan kalau perempuan jauh lebih sering jadi target kekerasan berbasis digital dibanding laki-laki.

Komnas Perempuan mencatat, kasus kekerasan digital terhadap perempuan dan anak perempuan di Indonesia melonjak lebih dari 300 persen hanya dalam lima tahun terakhir. Angka ini sejalan dengan laporan global PBB Cyberviolence Against Women and Girls: The Growing Threat of the Digital Age, yang menemukan antara 16 hingga 58 persen perempuan di seluruh dunia pernah mengalami kekerasan online, mulai dari pelecehan verbal, ancaman, sampai penyebaran konten intim tanpa izin.

Tingginya kerentanan ini tentu bukan kebetulan. Salah satu penyebab utamanya adalah kesenjangan literasi digital. Dikutip dari Laporan UN Women, Gender Analysis Guidance – Digital Inclusion, di banyak negara, termasuk Indonesia, perempuan masih tertinggal dalam keterampilan digital dibanding laki-laki. Akibatnya, mereka lebih gampang jadi sasaran penipuan online, phishing, atau manipulasi berbasis relasi personal. Belum lagi faktor budaya patriarki yang masih kuat, bikin pelecehan berbasis gender di dunia digital sering dianggap “biasa aja.” Lebih parahnya lagi, korban kerap disalahkan ketika berani speak up.

Di sisi lain, perempuan cenderung lebih aktif dan terekspos di media sosial. Mulai dari berbagi aktivitas sehari-hari, hingga berkarya di ruang publik digital. Sayangnya, keterbukaan ini sering disalahgunakan pelaku lewat praktik seperti cyberstalking, doxxing, bahkan pembuatan konten deepfake.

Menurut laporan Financial Times berjudul Women business leaders face surge in online abuse, mayoritas korban deepfake pornografi adalah perempuan dengan identitas yang mudah dikenali secara online. Dampaknya enggak main-main, mulai dari trauma psikologis, rasa aman yang hilang, sampai keputusan banyak perempuan untuk mundur dari ruang publik digital.

Semua ini memperlihatkan bahwa ruang digital yang semestinya aman justru bisa jadi arena baru bagi kekerasan berbasis gender. Karena itu, penting banget untuk membicarakan bentuk-bentuk kejahatan digital yang paling rentan menimpa perempuan, supaya kesadaran publik meningkat dan perlindungan bisa diperkuat.

Baca Juga: ‘Deepfake’ Bertebaran di Internet, Bagaimana Bedakan Fakta dari Fiksi AI?

Definisi Kejahatan Digital

Menurut Britannica, kejahatan digital atau lebih sering dikenal dengan istilah cybercrime adalah segala bentuk tindak kriminal yang menggunakan teknologi informasi dan komunikasi, terutama internet dan perangkat komputer, sebagai sarana maupun target utama. Praktiknya bisa beragam: mulai dari pelanggaran privasi, penyalahgunaan data, hingga tindakan yang bertujuan melecehkan, memeras, bahkan merusak reputasi individu atau organisasi.

Di Indonesia sendiri, payung hukum yang mengatur hal ini adalah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Aturan ini mencakup beragam pelanggaran, seperti penyebaran konten ilegal (misalnya pornografi atau pencemaran nama baik), pemerasan, akses ilegal ke sistem digital, intersepsi data, hingga penyalahgunaan perangkat elektronik untuk merugikan pihak lain.

Sementara itu, dalam artikel Kompas, Cyber Crime: Definisi, Jenis, dan Contohnya, cybercrime jauh lebih luas dari sekadar peretasan komputer atau spam. Ia mencakup aksi serius seperti pencurian identitas, penipuan finansial, penyebaran malware, sampai manipulasi opini publik lewat platform digital. Dampaknya pun tidak main-main: mulai dari rusaknya privasi, kerugian ekonomi, hingga hancurnya reputasi seseorang atau sebuah institusi.

Baca Juga: Nasib Data Pribadi di Masa Pemilu: Rentan Diperjualbelikan

Jenis-Jenis Kejahatan Digital yang Rentan Menimpa Perempuan

Di era digital, perempuan sering jadi target kejahatan online yang bukan cuma bikin privasi bocor atau nama baik rusak, tapi juga bisa meninggalkan trauma psikologis yang serius.

Dikutip dari Health Heroes Indonesia, Rentannya Perempuan Dikepung Ancaman Risiko Keamanan Digital, yang merujuk pada Southeast Asia Freedom of Expression Network (SafeNet), perempuan dan kelompok minoritas gender paling sering jadi korban pelanggaran privasi. Modusnya bisa berupa pencurian dan manipulasi data pribadi (foto atau video) untuk pelecehan, misalnya lewat revenge porn atau deepfake.

Sementara itu, data dari Komnas Perempuan (dilansir Magdalene) mencatat peningkatan kasus kekerasan siber terhadap perempuan. Dari laporan tahunan mereka, ada sembilan bentuk kejahatan digital yang paling sering terjadi:

  • Revenge porn – penyebaran konten intim tanpa izin (33 persen)
  • Penyebaran konten yang merusak reputasi (20 persen)
  • Pelecehan atau perisakan online (15 persen)
  • Peniruan identitas (impersonation) (8 persen)
  • Cyberstalking atau penguntitan digital (7 persen)
  • Peretasan akun/sistem (6 persen)
  • Grooming atau perekrutan untuk tujuan eksploitatif (4 persen)
  • Sexting non-konsensual (3 persen)
  • Morphing – penggabungan foto untuk tujuan pelecehan (persentase kecil)

Dari daftar ini, jelas bahwa kejahatan digital terhadap perempuan bentuknya berlapis dan beragam, bukan hanya soal satu-dua kasus.

Lebih jauh lagi, menurut laporan Media Indonesia, Kekerasan Gender Berbasis Online Naik Empat Kali Lipat, tentang meningkatnya kekerasan gender berbasis online, cakupan kasus ini makin luas. Termasuk di antaranya:

  • Author abuse – penghinaan terhadap perempuan penulis atau pengunggah konten
  • Doxing – penyebaran data pribadi tanpa izin
  • Stalking digital – menguntit lewat aktivitas online
  • Impersonasi – berpura-pura jadi korban di media sosial
  • Eksploitasi seksual via akun palsu
  • Kekerasan psikologis dalam rumah tangga digital

Semua ini memperlihatkan bagaimana perempuan terus-menerus jadi target di ruang digital, dengan pola serangan yang makin kompleks seiring berkembangnya teknologi.

Baca Juga: Mengenal ‘Doxing’, Penyebaran Data Pribadi yang Dilakukan Jefri Nichol

Langkah Praktis yang Bisa Dilakukan Perempuan

Kejahatan digital bukan alasan bagi perempuan untuk menarik diri dari dunia online. Justru, yang dibutuhkan adalah kesadaran, literasi digital, dan kebiasaan menerapkan langkah-langkah sederhana untuk menjaga keamanan diri.

Salah satu hal terpenting adalah memperkuat keamanan akun. Password yang panjang, unik, dan sulit ditebak akan sangat membantu mengurangi risiko peretasan. Lebih jauh lagi, mengaktifkan two-factor authentication (2FA) bisa menjadi tameng tambahan yang terbukti efektif mencegah akses ilegal terhadap akun digital.

Selain itu, perempuan juga perlu lebih bijak dalam membagikan informasi pribadi di media sosial. Detail seperti alamat rumah, nomor telepon, atau lokasi terkini sebenarnya bisa menjadi celah bagi pelaku untuk melakukan doxing maupun penguntitan digital. SafeNet menegaskan bahwa praktik oversharing semacam ini adalah salah satu pintu masuk utama kejahatan digital berbasis gender.

Perlindungan terhadap konten pribadi juga tidak kalah penting. Hindari menyimpan foto atau video sensitif tanpa perlindungan tambahan. UN Women dalam laporannya mengenai Online Gender-Based Violence menekankan bahwa banyak kasus pelecehan digital bermula dari penyalahgunaan konten pribadi, baik karena peretasan maupun penyebaran non-konsensual (non-consensual intimate images).

Dan jika sudah menjadi korban, langkah terbaik adalah berani melapor. Bukti seperti tangkapan layar, tautan, atau rekaman percakapan sebaiknya disimpan dengan rapi. Laporan bisa diajukan langsung ke platform digital terkait atau kepada lembaga berwenang, termasuk Komnas Perempuan, agar kasus bisa ditangani secara lebih serius.

About Author

Kevin Seftian

Kevin merupakan SEO Specialist di Magdalene, yang sekarang bercita-cita ingin menjadi dog walker.