Politics & Society

Perempuan Berjilbab Tapi Merokok

Jilbab dan rokok seharusnya diletakkan pada ranah privat nan subtil.

Avatar
  • October 10, 2018
  • 5 min read
  • 4768 Views
Perempuan Berjilbab Tapi Merokok

Perempuan perokok lazim mendapat stigma sebagai perempuan yang nakal, bebas, dan cap negatif lainnya. Apalagi jika perempuan yang merokok itu berjilbab? Dapat dibayangkan bahwa ia akan mengemban stigma ganda.
 
Seperangkat norma yang ada di balik jilbab maupun rokok sesungguhnya lahir melalui pelabelan yang diberikan masyarakat sendiri berdasarkan kesepakatan mayoritas. Dan kesepakatan ini biasanya menguntungkan pihak tertentu. Yang menjadi problematik adalah seperangkat norma, nilai, dan moral yang mengikuti di belakang atribut jilbab dan rokok telah menjadi dogma. Perangkat-perangkat itu telah memainkan peran dalam menentukan baik-buruknya seseorang di tengah kehidupan masyarakat. Jilbab diandaikan sebagai representasi keimanan seorang perempuan. Masyarakat cenderung mengategorikan perempuan yang berjilbab panjang lebih baik ketimbang yang berjilbab pendek. Jilbab mengandaikan seorang perempuan pada tataran feminin agar tidak melenceng dari apa-apa yang telah dibataskan. Sementara itu, rokok diidentikkan dengan sifat-sifat maskulin, seperti kuasa, gagah, dan berani, yang lebih cocok disandingkan dengan laki-laki.
 
Perempuan perokok sering disudutkan pada stigma “nakal”. Terlebih di dalam seni visual, seperti film dan iklan, lazim ditampilkan rokok sebagai atribut yang identik dengan pembentukan citra pada diri seorang pekerja seks atau perempuan-perempuan seksi. Maka asumsinya adalah bahwa perempuan yang baik dan terhormat tidak sepatutnya meniru gaya hidup seperti itu dan tidak sepatutnya keluar dari “koridor-koridor feminitas dan kelayakan adab”. Koridor demikian secara tidak sadar dikonstruksikan oleh budaya dan cara pandang yang patriarki. Kaku dan membelenggu.
 
Dalam situasi seperti itulah saya berdiri dan menghadapinya. Saya adalah seorang perempuan, mengenakan jilbab, dan mengisap rokok. Saya menyadari bahwa kategori ini akan menggiring saya pada konsekuensi yang telah disebutkan tadi. Namun saya juga percaya bahwa berjilbab atau merokok adalah pilihan. Pilihan yang berasal dari dalam diri bahwa saya tidak menginginkan adanya sikap dogmatis dan cara pandang hitam-putih yang bisa menjebak pada konstruksi pemikiran.
 
Pilihan berjilbab dan merokok tentu saja membuahkan pergolakan dan pergulatan di dalam diri saya sendiri. Sebab sejak kecil saya tumbuh dalam keluarga yang menerapkan ajaran Islam secara ketat. Tidak hanya jilbab, perangkat ketubuhan lain seperti gamis atau rok panjang pun hampir diwajibkan, meski perihal rok panjang ini selalu saya tolak dengan alasan saya merasa lebih nyaman mengenakan celana panjang. Di dalam keluarga ini, saya dididik untuk menjadi seorang perempuan salihah, perempuan yang baik-baik, perempuan yang penurut.
 
Pergulatan diri itu menemukan titik puncaknya ketika sampai pada kesadaran bahwa saya bukan lagi pribadi religius seperti dahulu kala. Saya sering tidak melakukan salat. Saya sadar terhadap apa yang saya lakukan, bukan berarti secara otomatis saya bisa menghapus Tuhan dari hidup saya tanpa pretensi apa pun. Saya selalu percaya bahwa kehidupan dan semesta ini digerakkan oleh zat yang gaib, yang di luar nalar manusia, yang tidak kasat mata.
 
Bagi orang-orang yang belum bisa keluar dari dogma, barangkali pertanyaan seperti ini akan dilontarkan kepada saya, kenapa tidak lepas saja jilbabmu? Kamu berjilbab kok tidak salat, merokok lagi.
 
Saya ingin menampik gagasan bahwa jilbab bukan satu-satunya penanda kesalehan seorang perempuan. Begitu pula bagi perempuan yang tidak berjilbab, belum tentu ia dianggap tidak mampu merepresentasikan kesalehannya. Melepas jilbab bukan solusi bijak atas jawaban pertanyaan di atas, sebab tindakan seperti ini justru semakin menguatkan anggapan bahwa perempuan tidak berjilbab yang merokok lebih pantas menerima stigma. Dengan kata lain, orientasi seperti itu menjebak pemikiran kita karena hanya berputar-putar pada ego dogmatis. Tidak ada patokan konkret dan mutlak yang mampu menjadi hakim atas sesuatu yang baik atau yang buruk.
 
Pun rokok bukan satu-satunya penanda baik-buruknya perangai seseorang, terutama perempuan. Menjadi keliru ketika masyarakat memukul rata pandangannya bahwa rokok yang terselip di bibir seorang perempuan selalu merepresentasikan hal-hal negatif. Saya tak menampik bahwa rokok bagi sebagian perempuan urban adalah untuk memperoleh “pengakuan”, sama seperti yang terjadi pada sebagian laki-laki. Pengakuan bahwa ia mengadopsi gaya hidup “keren”. Tetapi kadang masyarakat pun luput dari pengetahuan lain. Di pedesaan, masih ada perempuan-perempuan lanjut usia yang merokok dan mereka tidak pernah dicap sebagai perempuan asusila.
 
Di pedesaan, citra dan simbol rokok yang mereka isap berbeda dengan rokok ala kaum urban. Biasanya mereka lebih menikmati rokok tingwe (linting dhewe atau melinting sendiri) dengan penambahan rempah lain seperti cengkeh (rokok kretek). Atau melinting dengan menggunakan kulit jagung sebagai bahan pembungkusnya, meskipun rokok seperti ini, rokok klobot, nyaris tidak ada yang mengonsumsinya lagi. Atau paling banter mereka lebih gemar pada rokok kretek berkadar nikotin tinggi. Dalam hal ini, rokok sebagai penanda modernitas ala kaum urban tidak berlaku.
 
Menjadi problematik lagi bahwa kini rokok pun memiliki orientasi gender sejak digunakannya sistem produksi mesin. Rokok tipis berkadar nikotin rendah dengan rasa mentol atau mint sering disebut “rokok cewek”. Sementara rokok full flavor, yang berat, lebih diperuntukkan laki-laki karena identik dengan sifat-sifat maskulinitas. Kategori ini akhirnya memosisikan perempuan dalam definisi yang penuh dengan inferioritas.
 
Saya mencoba memaknai jilbab––atribut yang selalu dikaitkan dengan keimanan seseorang––dan rokok pada ranah subtil nan privat. Tuhan tidak hadir melalui jilbab. Lebih dari itu, Dia hadir menyatu dengan denyut nadi, nafas, rasa, dan pikiran dalam kehidupan saya. Rokok saya maknai sebagai teman kecil yang selalu menemani saya pada waktu berdialog dengan kesendirian, melengkapi saya ketika berbincang dengan orang terdekat, dan menyertai saya dalam kontemplasi kreatif pada saat membaca dan menulis.
 
Rizka Khaerunnisa adalah seorang yang belum lama menanggalkan status mahasiswa strata satunya pada studi Sastra Indonesia. Ia selalu tertarik pada wacana-wacana sastra, budaya, sejarah, sosial, politik, serta pemikiran progresif dan alternatif lainnya. Tidak terlalu eksis di media sosial, namun bisa disapa melalui surel di [email protected].



#waveforequality


Avatar
About Author

Rizka Khaerunnisa

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *