December 6, 2025
Issues Politics & Society

Relokasi Warga Gaza ke Pulau Galang ala Prabowo: Ngawur dan Berpotensi Jadi Penjajahan Terselubung

Rencana evakuasi warga Gaza ke Indonesia adalah bentuk kolonialisme terselubung. Solidaritas dan tekanan politik seharusnya jadi jalan ninja mendukung melucuti Palestina dari tanahnya.

  • August 22, 2025
  • 4 min read
  • 1177 Views
Relokasi Warga Gaza ke Pulau Galang ala Prabowo: Ngawur dan Berpotensi Jadi Penjajahan Terselubung

Rencana Presiden Prabowo Subianto mengevakuasi 2.000 warga Gaza ke Pulau Galang, Batam untuk perawatan medis menarik perhatian publik. Pulau Galang sebelumnya digunakan sebagai kamp pengungsian “boat people” Vietnam pada 1979–1996. Namanya kini hangat kembali di tengah tragedi kemanusiaan Palestina. 

Wacana ini mulanya disampaikan Prabowo dalam Sidang Kabinet di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (6/08). Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi, mengatakan Prabowo hendak membuat pusat pengobatan di sana. 

“Yang luka-luka, yang mengalami apa, mungkin kena bom, kena reruntuhan dan segala macam,” ujar Hasan. 

Pulau Galang dipilih karena memiliki fasilitas rumah sakit dan pendukung. Pada pandemi Covid-19, Rumah Sakit Khusus Infeksi (RSKI) pernah berdiri di sana. Pulau ini juga terpisah dari pemukiman warga lain, sehingga menurut Hasan, “Jadi sebenarnya kalau dalam sisi keamanan dan kenyamanan warga itu bisa manageable.” 

Wacana evakuasi bukan pertama kali. April lalu, Prabowo menyatakan kesiapannya menerima pengungsi, terutama anak-anak Palestina, ke Indonesia. 

“Saya siap menerima 1.000 pengungsi dari Gaza, terutama anak-anak, untuk kita rawat di Indonesia,” ujar Prabowo seperti dikutip CNN Indonesia. 

Baca Juga: Ulasan ‘Minor Detail’: Kami Orang Palestina Dianggap Setengah Binatang  

Relokasi sebagai Bentuk Kontrol Kolonial 

Meskipun terlihat sebagai langkah solidaritas, rencana ini menyimpan pertanyaan penting soal posisi Indonesia dalam genosida Palestina. Laporan BBC Indonesia menyebut nama Indonesia beberapa kali menjadi tujuan relokasi sejak Januari lalu. Steve Witkoff, utusan Timur Tengah Presiden AS Donald Trump, sempat mencetuskan akan merelokasi warga Gaza ke Indonesia, sebagaimana dilaporkan NBC. 

Kementerian Luar Negeri Indonesia membantah menerima informasi tersebut. Namun, wacana kembali muncul Maret lalu ketika media Israel melaporkan 100 warga Gaza akan dikirim ke Indonesia dalam program percontohan migrasi sukarela. Juli silam, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu diberitakan mendorong percepatan relokasi ke luar negeri, termasuk Ethiopia, Libya, dan Indonesia. Hingga kini, Kementerian Luar Negeri Indonesia belum menanggapi. 

Jika rencana ini benar, relokasi bisa menjadi bentuk kolonialisme terselubung. Sejarah menunjukkan, pemindahan paksa selalu digunakan untuk memutus keterikatan komunitas dengan tanah mereka.  

Frantz Fanon dalam The Wretched of the Earth (1961) menegaskan kolonialisme bekerja bukan hanya melalui perampasan fisik, tetapi juga pemisahan masyarakat dari ruang hidupnya. Anibal Quijano dalam Coloniality of Power (2000) menekankan relokasi atas nama kemanusiaan bisa menjadi kelanjutan kolonialisme modern, termasuk kontrol atas tanah, tenaga kerja, dan sumber daya masyarakat asli. 

Masyarakat asli sering diklasifikasikan secara rasial sebagai “terbelakang,” identitas, pengetahuan, dan budaya mereka dianggap inferior. Model pembangunan modern Eropa dipaksakan sebagai satu-satunya jalan kemajuan. Quijano menekankan relokasi erat kaitannya dengan eurosentrisme—cara pandang yang menempatkan Eropa sebagai pusat rasionalitas. Dalam logika ini, tanah masyarakat asli dianggap lahan kosong untuk dieksploitasi, dan pemindahan paksa dilegitimasi melalui dalih modernisasi. 

Logika serupa terlihat dalam cara pandang zionis terhadap Palestina. Beberapa pejabat Israel, termasuk Menteri Pertahanan Yoav Gallant, menyebut warga Palestina sebagai “manusia hewan,” memberi legitimasi untuk kekerasan dan dehumanisasi. Selain itu, narasi Israel menggambarkan Palestina sebagai tanah tak berpenghuni yang perlu “dimodernisasi,” mirip logika kolonial klasik Eropa yang meniadakan eksistensi masyarakat asli. 

Jika rencana ini benar, relokasi bisa menjadi bentuk kolonialisme terselubung. Sejarah menunjukkan, pemindahan paksa selalu digunakan untuk memutus keterikatan komunitas dengan tanah mereka.  

Baca Juga: Magdalene Primer: Yang Perlu Diketahui tentang Isu Palestina-Israel

Dari Evakuasi ke Perlawanan: Langkah Indonesia dan Masyarakat Sipil 

Dampak relokasi bagi masyarakat Palestina sangat besar. Mereka kehilangan tanah, sumber pangan, ekonomi subsisten, dan fondasi budaya. Penelitian UNRWA (2019) mencatat generasi ketiga pengungsi Palestina di kamp-kamp Lebanon dan Yordania yang mengalami relokasi hidup dalam ketidakpastian identitas, akses kerja, dan hak tanah. 

Alih-alih evakuasi, Indonesia bisa menempuh langkah politik strategis. Pertama, pemerintah perlu menuntut pertanggungjawaban Israel di PBB, Mahkamah Internasional, atau ICC. Kedua, memutus semua hubungan dagang dengan Israel untuk menunjukkan keberpihakan nyata pada Palestina. Ketiga, menegaskan dukungan penuh terhadap hak Palestina atas tanahnya, termasuk menolak solusi dua negara yang kerap digunakan Israel untuk memperluas koloninya. 

Masyarakat sipil Indonesia juga berperan penting. Melalui kampanye digital dan aksi solidaritas, publik bisa menekan pemerintah agar isu Palestina tidak hanya menjadi diplomasi simbolik. Gerakan akar rumput terbukti menjaga konsistensi dukungan terhadap Palestina ketika elit politik bersikap ambigu. 

Dengan demikian, kritik terhadap rencana Prabowo bukan sekadar soal pemahaman kolonialisme, tetapi juga soal visi politik luar negeri. Jalan yang nyata adalah memperkuat komitmen pada kemerdekaan Palestina, menolak normalisasi dengan Israel, dan menegakkan prinsip keadilan global tanpa kompromi. 

About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.