December 6, 2025
Culture Issues Screen Raves

Rentan jadi Korban Kejahatan, Alasan Perempuan Suka ‘True Crime’ 

Bagi banyak perempuan, True Crime jadi sarana belajar menghadapi dunia yang kerap tak aman.

  • August 26, 2025
  • 4 min read
  • 2449 Views
Rentan jadi Korban Kejahatan, Alasan Perempuan Suka ‘True Crime’ 

Genre True Crime belakangan jadi salah satu konsumsi budaya pop paling populer di dunia. Podcast Serial (2014) membuka jalan dengan menghadirkan investigasi kriminal nyata yang viral secara global. Popularitasnya berlanjut dengan tayangan Netflix seperti Making a Murderer hingga Dahmer – Monster: The Jeffrey Dahmer Story (2022), yang sempat mendominasi percakapan publik di media sosial. 

Tren ini juga terlihat di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, True Crime berkembang lewat Podcast, kanal YouTube, hingga film dokumenter. Dua kreator YouTube, Nadia Omara dan Nessie Judge, menjadi contoh sukses membawakan kisah kriminal nyata dengan jutaan penonton setia. 

Menariknya, mayoritas penikmat genre ini adalah perempuan. Survei YouGov (2023) menunjukkan 60 persen pendengar konten True Crime adalah perempuan. Fenomena serupa terlihat di Indonesia. Penggemar Nadia Omara dan Nessie Judge didominasi perempuan, yang aktif memberikan komentar emosional maupun analisis personal pada setiap kasus. 

Baca Juga: ‘In the Name of God: A Holy Betrayal’: Bukti Media Terobsesi pada Adegan Pemerkosaan 

Asah Kewaspadaan 

Sonia Renata, 23, salah satu penggemar kanal YouTube True Crime, mengaku mulai tertarik sejak menonton kisah Ted Bundy di kanal Nessie Judge saat masih duduk di SMK. 

“Kewaspadaan aku meningkat setelah tahu kisah Ted Bundy. Dia bisa banget menyamarkan identitasnya dengan baik. Jadi bikin aku sadar kalau sebenarnya kita enggak bisa langsung percaya sama siapa pun,” tuturnya (11/8). 

Menurut Sonia, perempuan di era modern makin rentan menjadi korban kejahatan. Dengan menonton True Crime, ia merasa terbantu memahami berbagai modus yang kian beragam. Ia juga tertarik pada sisi psikologis pelaku, karena banyak dari mereka memiliki latar belakang kelam dengan motif pelampiasan. 

“Aku juga sering merasa emosional kalau nonton tayangan True Crime yang korbannya perempuan. Karena perempuan rentan jadi korban dan korbannya didominasi perempuan. Sebagai sesama perempuan, aku jadi ikut berduka setiap kali lihat kisah mereka,” tambahnya. 

Kecenderungan serupa dialami Anna Abelina, 21. Ia mengaku menyukai genre ini karena menyajikan kisah bak misteri yang harus dipecahkan. “Yang paling seru itu jalan ceritanya, kayak sebuah misteri yang harus dipecahkan, bikin deg-degan selama proses investigasinya. Kalau sekarang aku lebih suka Nadia Omara, soalnya cara nyampein kisahnya asik dan ringan,” katanya (11/08). 

Abel menambahkan, rasa marah sering muncul ketika kasus yang ditayangkan melibatkan korban perempuan. “Kalau ceritanya soal pembunuhan perempuan, aku jadi lebih marah. Mungkin karena banyak baca buku juga soal perempuan, jadi paham kalau mereka dibunuh kadang karena mereka terlahir sebagai perempuan. Jadi pas nonton rasanya makin miris,” ungkapnya. 

Pengalaman Sonia dan Abel mencerminkan realitas: perempuan memang lebih rentan menjadi korban kejahatan. UN Women (2023) melaporkan setiap hari sekitar 140 perempuan dan anak perempuan tewas akibat kekerasan. Sementara OECD & UN Women (2024) menunjukkan perempuan di banyak negara merasa lebih tidak aman berjalan sendiri pada malam hari dibanding laki-laki. 

“Aku juga sering merasa emosional kalau nonton tayangan True Crime yang korbannya perempuan. Karena perempuan rentan jadi korban dan korbannya didominasi perempuan. Sebagai sesama perempuan, aku jadi ikut berduka setiap kali lihat kisah mereka,” tambahnya. 

Baca juga: ‘True Crime Craze’: Ketika Kejahatan Diglorifikasi dan Korban Di-reviktimisasi 

Lebih dari Sekadar Hiburan 

Situasi ini mendorong banyak perempuan mencari kisah kriminal melalui True Crime, baik untuk memahami pola kejahatan maupun mengantisipasi potensi ancaman. 

Psikolog forensik Lia Sutisna menjelaskan: “Bagi sebagian perempuan, ini bisa jadi cara defensif, misalnya ketika menghadapi situasi berbahaya, seperti ada yang menyerang, merampas tas, atau menyentuh tubuh mereka. Strategi ini membuat mereka merasa lebih siap melindungi diri dan orang terdekat,” jelasnya pada Magdalene (20/8). 

Lia merujuk Bonn (2023) yang menemukan beberapa faktor pendorong. Pertama, empati tinggi perempuan terhadap kisah nyata membuat mereka lebih mudah terhubung dengan cerita. Rasa empati itu semakin kuat ketika korban juga perempuan, karena muncul kedekatan emosional. Kedua, ada dorongan memahami motivasi pelaku—seringkali laki-laki—serta kebutuhan merasa aman. 

“Manusia ingin tahu apa yang dipikirkan pelaku kriminal, apa yang sedang terjadi di masyarakat, bahkan ada kecenderungan memahami dark thoughts dalam dirinya maupun orang lain,” kata Lia. 

Namun, Lia mengingatkan konsumsi True Crime berlebihan juga bisa berisiko, memunculkan vicarious trauma, rasa takut berlebihan, hingga trust issue dalam kehidupan sehari-hari. 

“Jadi tidak boleh berlebihan dan cara menanggapinya harus bijak. Kalau bisa mengontrol pikiran dan mengambil sisi edukatifnya, justru bisa jadi strategi defensif,” tambahnya. 

Fenomena perempuan menggemari True Crime menegaskan, hiburan ini tak sekadar tontonan. Ia hadir di tengah meningkatnya kasus femisida, kekerasan berbasis gender, dan berita-berita tragis yang semakin sering menghiasi media. 

Lebih lanjut, bagi banyak perempuan, menonton True Crime berarti belajar dari kisah nyata, mengasah intuisi, sekaligus mempersiapkan diri menghadapi ancaman. Pada saat yang sama, ia juga menjadi ruang empati. Maksudnya menjadi medium untuk berduka bersama, sekaligus menolak lupa terhadap korban yang terlalu sering hanya tercatat sebagai angka di statistik. 

Keterhubungan emosional ini membuat True Crime menempati posisi unik. Ia jadi hiburan sekaligus sarana edukasi, refleksi sosial, bahkan mekanisme bertahan hidup di dunia yang masih jauh dari kata aman bagi perempuan. 

About Author

Zahra Pramuningtyas

Ara adalah calon guru biologi yang milih jadi wartawan. Suka kucing, kulineran dan nonton anime. Cita-citanya masuk ke dunia isekai, jadi penyihir bahagia dengan outfit lucu tiap hari, sembari membuat ramuan untuk dijual ke warga desa.