December 6, 2025
Health Issues Opini

Peluang Sembuh atau Rasa Utuh, Dilema Perempuan Hadapi Mastektomi

Kisah Ayu dan penyintas lain menunjukkan perjuangan batin, citra tubuh, dan cara bertahan hidup sebagai pejuang mastektomi

  • August 26, 2025
  • 5 min read
  • 6355 Views
Peluang Sembuh atau Rasa Utuh, Dilema Perempuan Hadapi Mastektomi

Dokter telah menyarankan “Ayu” (bukan nama sebenarnya), pasien kanker payudara di RSU Dokter Soedarso Pontianak, untuk segera jalani tindakan mastektomi atau prosedur bedah pengangkatan payudara.  

Ayu memahami, mastektomi akan mengubah penampilannya selamanya dan ia tidak siap. Ia tidak mau suaminya melihatnya sebagai perempuan yang “kurang” karena hanya memiliki sebelah payudara. Ayu kemudian memilih jalani pengobatan alternatif, berharap benjolan di payudaranya bisa mengecil tanpa harus dioperasi.  

Tiga bulan berlalu dan kondisi Ayu tidak kunjung membaik. Setelah suaminya berkata sembuh dari kanker lebih penting daripada memiliki payudara lengkap, Ayu akhirnya setuju payudaranya diangkat. 

Ayu adalah gambaran banyak perempuan dengan kanker payudara, yang dikatakan Abby Gina & Atnike Sigiro (2019) kerap menghadapi tekanan berlapis; yaitu ancaman kesehatan dan pergulatan batin atas makna tubuhnya. 

“Mereka Tidak Tahu Apa yang Sebenarnya Saya Takutkan” 

Endri Kurniawati dalam bukunya “Kehidupan Kedua, Memoar Penyintas Kanker,” (2015) menceritakan betapa peliknya menghadapi mastektomi. Wartawan senior Tempo ini sempat ragu menjalani operasi, karena baginya kehilangan payudara bukan hanya perkara kehilangan organ, tetapi kehilangan penanda feminitas yang paling terlihat dan esensial. 

“Saya akan kehilangan satu payudara. Padahal, payudara tidak seperti anggota tubuh yang lain. Anggota tubuh ini-selain juga rahim-adalah salah satu pembeda perempuan dan laki-laki.”  

Sebelum memutuskan operasi, Endri mendapat banyak tawaran bantuan alternatif pengobatan. Mulai dari pakaian anti kanker, obat herbal, hingga mengalihkan kanker ke kambing. Endri bercerita batin dan pikirannya ternyata saling berbantahan. Ia menginginkan kesembuhan. Namun jika pilihan pengobatan yang efektif adalah mastektomi, ia takut dengan efek yang ditinggalkan operasi. 

Konflik batinnya kian memuncak ketika keluarga besarnya menyarankan untuk segera jalani pengobatan medis. Mereka mengira Endri takut merasakan sakit karena dibedah. Endri dibujuk seorang kerabat yang menyaksikannya belajar karate saat muda, dengan mengatakan kalau Endri pasti berani menjalani operasi. 

Mereka tidak tahu apa yang sebenarnya saya takutkan. Ketakutan menjalani mastektomi tidak sama dengan menghadapi lawan tanding. Tidak sesederhana itu.” 

Endri sangat menyadari, ia tidak memiliki banyak waktu memutuskan jenis pengobatan untuk kankernya. Ia berhasil mengatasi dilema dan memutuskan jalani mastektomi kurang dari satu minggu setelah diagnosis. 

Baca Juga: Bulan Kesadaran Kanker Payudara: Dear Penyintas, Kamu Tak Sendirian 

Dampak Berkepanjangan 

Tekanan psikologis tidak berakhir setelah pasien kanker payudara memutuskan mastektomi dan turun dari meja operasi. Berdasarkan penelitian, banyak pasien kanker payudara mengalami citra tubuh yang buruk dan selalu merasa takut penyakitnya kambuh. Hal ini menyebabkan depresi, kecemasan sosial, hingga disfungsi seksual, tulis Álvarez-Pardo et al. (2023). Beberapa penyintas tidak mengalami perbaikan citra tubuh hingga lima tahun setelah perawatan kanker, ungkap peneliti Lewis-Smith, H. et al. (2018). Hal ini menggambarkan, tekanan psikologis akibat perawatan kanker dapat berlangsung sangat lama. 

Dampak psikologis berkepanjangan akibat perawatan kanker juga tampak dalam hasil kajian yang dilakukan oleh Titin Sukartini dan Yulia Indah Permata Sari (2021). Responden penelitian mereka adalah 30 penyintas kanker payudara di Surabaya yang telah menjalani mastektomi minimal enam bulan sebelumnya. 

Mayoritas responden menganggap payudara adalah simbol keperempuanan dan keibuan, karena menjadi tolak ukur kecantikan dan memampukan mereka untuk menyusui. Sehingga, setelah kehilangan payudara, mereka kehilangan feminitas dan kepercayaan diri, serta sedih saat membandingkan diri dengan perempuan lain yang memiliki payudara lengkap. Citra tubuh yang buruk mengubah cara berpakaian mereka, dan membuat beberapa dari mereka enggan meninggalkan rumah atau bersosial. 

Meminjam pandangan Abby Gina & Atnike Sigiro (2019), saat kehilangan payudara maka perempuan akan mengalami dua kali tercabut dari dari definisi normal. Pertama, normal dalam arti tubuh yang utuh sempurna. Kedua, normal dalam standar norma feminin, yaitu perempuan adalah seseorang yang berpayudara utuh dan sehat. 

Sehingga, menurut mereka, meski kehilangan bagian tubuh apa pun adalah tahapan yang sulit untuk hampir setiap orang, kehilangan organ yang seakan menjadi syarat untuk menjamin identitas gender dapat membuat penerimaan atas perubahan tubuh menjadi lebih sulit. Artinya, tindakan mastektomi dapat menyebabkan duka berkepanjangan pada perempuan.  

Baca Juga: Benarkah KB Spiral Picu Kanker Payudara pada Perempuan?

Cara Bertahan 

Pengalaman perempuan dengan kanker payudara adalah pengalaman yang sangat personal. Keparahan penyakit saat diagnosis, akses terhadap pelayanan kesehatan, tingkat pendidikan, kemampuan finansial, dukungan keluarga, dan berbagai hal lain dapat jadi faktor yang memengaruhi bagaimana perempuan mengalami penyakit kanker payudara.  

Endri yang lulusan universitas, menunjukan bagaimana latar belakang pendidikan dan kesehariannya sebagai wartawan dapat menjadi bekal dalam menghadapi dilema memutuskan perawatan kanker. Ia menelaah berbagai pilihan pengobatan kanker yang ditawarkan kepadanya dengan bertanya kepada narasumber dan membaca buku-buku. 

Setelah menemukan mastektomi adalah metode pengobatan terbaik, kekhawatirannya terhadap penampilan melemah: “Kekhawatiran itu mengkerut ketika berhadapan dengan ketakutan saya terhadap kematian. Kalau saya mati lebih cepat, bukankah saya tidak akan bisa lagi menikmati penampilan cantik?”  

Seorang responden penelitian Abby Gina & Atnike Sigiro (2019) yang cakap digital dan tinggal di Jakarta, memilih menuliskan perjuangannya menghadapi penyakit dan perubahan tubuhnya dengan menulis. Ia merasa perlu membagi pengalaman dan pengetahuannya, untuk melawan narasi dominan yang membahayakan kesehatan perempuan, serta sebagai bentuk solidaritas dan penguat sesama penderita kanker. 

Jadi pengalaman (kanker payudara) yang berkesan kemudian bikin blog dan ternyata blog itu dibaca orang dan membantu juga.” 

Pada akhirnya, pengalaman para penyintas seperti Endri dan responden penelitian Abby Gina & Atnike Sigiro, menunjukan perempuan dapat mengatasi pergulatan batin dan bangkit dari keterpurukan akibat mastektomi. Demi jalan terbaik untuk sembuh, mereka lampaui ekspektasi sosial terhadap tubuhnya. Tanpa payudara lengkap, mereka mendefinisikan ulang makna menjadi perempuan. 

Ariane Meida, lulusan Pascasarjana Antropologi Universitas Indonesia. Saya juga adalah seorang penyintas kanker payudara. 

About Author

Ariane Meida