Mengais Rupiah di Tengah Gelisah, Perempuan Pedagang dalam Aksi Massa
Ribuan massa memadati depan Gedung DPR, sebagian membawa poster, sebagian lagi berorasi lantang menuntut perubahan kebijakan. Polisi berjajar di sekeliling pagar, sementara ketegangan bisa meningkat sewaktu-waktu. Namun di antara lautan demonstran, ada pemandangan lain yang jarang masuk liputan. Adalah para perempuan pedagang yang tetap setia menggelar dagangannya di tengah hiruk-pikuk aksi.
Bagi Anis, 50, Rina, 50, dan Sri, 64, kerumunan seperti ini bukan situasi baru. Sejak puluhan tahun lalu, mereka sudah terbiasa hadir di lokasi demonstrasi. Bukan sebagai peserta aksi, melainkan pedagang yang mencari nafkah di ruang publik yang berisiko.
“Kami ini saksi sejarah demokrasi,” ujar Rina pada Magdalene, (28/8).

Baca juga: Serba-Serbi Respons ‘Absurd’ Anggota DPR RI soal Demonstrasi
Antara Risiko dan Rezeki
Ketiganya memilih cara berbeda untuk bertahan hidup. Rina datang dengan beberapa bakul berisi pecel, sayuran, dan gorengan. Anis menjual air mineral, sementara Sri membawa dagangan kecil lain yang bisa laku cepat di tengah massa.
Bagi mereka, kerumunan demonstran adalah pasar dadakan. Semakin banyak orang berkumpul, semakin besar kemungkinan dagangan habis terjual. Alih-alih takut dengan kericuhan, mereka justru melihat aksi massa sebagai peluang.
“Justru kita seneng kalau ada demo gini. Jadi banyak laris. Kalau perlu ada demo setiap hari, demo lah setiap hari,” kata Rina sambil tersenyum.
Anis menimpali dengan kisah yang lebih getir. Kondisi ekonomi yang semakin berat membuatnya harus bergerak lebih cepat mencari penghasilan tambahan.
“Sekarang token aja kalau enggak bayar tiga bulan langsung dikasih segel. Mau gimana lagi,” ujarnya.
Keterangan Anis menggambarkan realitas yang akrab bagi banyak perempuan kelas pekerja. Ketika biaya hidup naik dan kebijakan publik sering tidak berpihak pada warga kecil, mereka harus mengandalkan segala cara untuk bertahan. Demonstrasi, yang biasanya dipandang sebagai arena konflik politik, justru bisa berubah menjadi ruang ekonomi alternatif.
Baca juga: Kursi Roda di Barisan Depan Demo Krisis Iklim
Ketangguhan Perempuan di Tengah Aksi
Risiko tetap ada. Aparat biasanya tidak segan menggunakan gas air mata untuk membubarkan demonstran. Namun baik Anis, Rina, maupun Sri tidak membekali diri dengan perlengkapan khusus.
“Ini nih kita cuma bawa ini aja,” kata Rina sembari mengeluarkan pasta gigi dari dalam tasnya. Cara sederhana yang sudah lama mereka percaya dapat membantu mengurangi perih di mata ketika gas air mata ditembakkan.
Perlengkapan minim itu tidak membuat mereka ragu. Sikap santai yang ditunjukkan ketiganya lebih tepat dibaca sebagai bentuk ketangguhan. Mereka terbiasa menghadapi kondisi sulit, mereka tetap hadir karena mundur berarti kehilangan pemasukan.
Di sinilah lapisan lain dari demonstrasi bisa terlihat. Aksi massa sering dipahami sebagai ruang ekspresi politik, tetapi bagi perempuan pedagang kecil, aksi juga berarti kesempatan untuk memastikan kebutuhan dasar rumah tangga tetap terpenuhi.
Keberadaan mereka menegaskan, demokrasi jalanan bukan hanya tentang tuntutan yang diteriakkan lewat megafon. Ada kerja-kerja sunyi perempuan yang menopang hidup keluarga di tengah risiko. Mereka hadir di antara orasi, asap, dan kerumunan dengan satu tujuan: Pulang membawa uang.
Ketika banyak pihak sibuk memperdebatkan arah kebijakan DPR, Anis, Rina, dan Sri menjalani perjuangan mereka sendiri. Perjuangan itu sederhana sekaligus mendesak: Memastikan ada nasi di meja, token listrik tetap menyala, dan hidup bisa terus berjalan.
















