Panduan Lengkap Cara Marah kepada Negara yang Baik dan Benar
Malam (28/8), kawasan Jalan Penjernihan I, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, dipenuhi gas air mata dan teriakan massa. Sejak siang, warga dan mahasiswa berusaha menyuarakan aspirasi di depan kompleks DPR/ MPR RI. Meski dipukul mundur berkali-kali, sebagian tetap bertahan.
Di tengah kepanikan itu, Affan Kurniawan, 21, pengemudi ojek daring, meninggal dunia setelah dilindas kendaraan taktis Barracuda Brimob yang melaju kencang. Mobil seberat belasan ton itu sempat berhenti, lalu kembali melaju dan meremukkan tubuh Affan.
Ia sempat dilarikan ke RS Cipto Mangunkusumo, tetapi luka parah membuat nyawanya tak tertolong. CNN Indonesia melaporkan, malam itu Affan sedang bekerja mengantarkan pesanan—pekerjaan yang ia jalani demi menjadi tulang punggung bagi orang tua dan dua saudaranya. Hidup yang diperjuangkan dengan keringat justru direnggut aparat yang gajinya dibayar dari pajak rakyat, termasuk dari Affan sendiri.
Kabar kematian Affan cepat menyebar. Nama dan wajahnya memenuhi linimasa. Di X, poster perlawanan dibuat tanpa henti. Di Instagram, fitur add yours dipenuhi unggahan solidaritas. Banyak yang viral hingga ratusan ribu interaksi, dengan benang merah yang sama: Kutukan terhadap polisi dan kecaman pada penguasa yang memilih bungkam.
Narasi perlawanan merambat ke grup WhatsApp keluarga, status harian, hingga poster digital yang makin banyak tersebar. Ribuan pengemudi ojek daring turun ke jalan, mengantarkan Affan ke peristirahatan terakhir. Hari itu, kemarahan publik tidak lagi bisa dipendam. Mereka ramai-ramai kembali turun ke jalan.
Baca Juga: Masihkah DPR Mewakili Kita?
Akar Kemarahan
Kematian Affan Kurniawan bak puncak dari serangkaian kabar buruk yang menimpa warga Indonesia belakangan ini. Sejak Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden, wajah asli kekuasaan makin terang. Itu ditandai lewat kebijakan yang jauh dari rakyat, sementara kepentingan elite dijaga rapat-rapat.
Contohnya, kenaikan gaji anggota DPR. Melalui Surat Sekretariat Jenderal DPR Nomor B/733/RT.01/09/2024, Prabowo menepati janji kampanye menaikkan gaji pejabat negara. Kini, setiap anggota DPR berhak atas tunjangan rumah yang membuat penerimaan bulanan mereka menembus lebih dari Rp100 juta. Angka itu berlaku hingga 2029.
Untuk gambaran, jumlah ini 42 kali lipat Upah Minimum Regional (UMR) Jakarta yang hanya Rp5,39 juta per bulan. Itu pun baru gaji pokok plus tunjangan rumah, belum termasuk dana aspirasi dan kunjungan dapil yang bisa bernilai ratusan juta hingga miliaran rupiah. Dengan total 580 anggota, negara menggelontorkan sekitar Rp29 miliar setiap bulan hanya untuk tunjangan rumah. Dalam lima tahun, totalnya membengkak jadi Rp1,74 triliun. Semuanya dibayar dari pajak rakyat.
Kontras dengan rakyat yang makin susah, banyak anggota DPR justru sibuk pamer gaya hidup mewah. Di tengah gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), mereka bisa berjoget santai di istana.
Ketimpangan makin terasa ketika publik disuguhi keluhan selebritas. Nafa Urbach, misalnya, mengeluh terjebak macet setiap hari saat menempuh perjalanan Bintaro–Gedung Nusantara. Padahal, ribuan pekerja bergaji pas-pasan harus berdesakan di kereta, tetap membayar pajak, sekaligus membiayai mobil-mobil mewah yang membawa para pejabat. Ironisnya, ketika rakyat marah dan turun ke jalan, mereka dicap “orang tolol” dan “brengsek”.
Kebijakan lain pun tak kalah mengecewakan. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dijadikan unggulan kampanye malah berujung petaka. Menurut BBC Indonesia, 1.376 siswa di berbagai daerah mengalami keracunan setelah mengonsumsi makanan program ini. Alih-alih dihentikan atau diperbaiki, pemerintah tetap melanjutkannya, seolah nyawa anak-anak hanya angka untuk klaim keberhasilan politik.
Tragedi juga menimpa Raya, bocah empat tahun yang meninggal akibat infeksi parasit dan TBC. Seandainya sistem kesehatan lebih cepat tanggap dan layanan Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS) Kesehatan bisa diakses tanpa hambatan, hidupnya mungkin bisa diselamatkan. Namun pemerintah kembali memilih menutup mata, alih-alih membenahi sistem yang gagal melindungi warganya.
Semua ini terjadi di tengah ironi lain: Aparat menembakkan gas air mata—diduga kedaluwarsa—kepada demonstran, dengan anggaran keamanan mencapai Rp126,6 triliun.
Sementara di hari yang sama, Presiden Prabowo sibuk membagikan tanda kehormatan. Menurut laporan BBC Indonesia, jumlah penghargaan itu bahkan naik dua kali lipat dibanding era Jokowi.
Masalahnya, penghargaan yang seharusnya sakral justru diberikan kepada 141 tokoh, termasuk nama-nama yang kontroversial. Dari koruptor seperti mantan Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah, mantan Bupati Merauke Johanes Gluba Gebze, hingga pengusaha kaya raya Haji Isam yang dikenal punya kedekatan dengan elite politik.
Baca Juga: Kursi Roda di Barisan Depan Demo Krisis Iklim
Teruslah Marah, karena Marah adalah Hak Kita
Semua itu menegaskan: Negara tidak berpihak pada rakyat. Pajak dipungut, tenaga dihisap, tapi yang kenyang justru segelintir elite. Tak heran jika amarah publik meluap, dari media sosial ke jalan-jalan.
Namun, marah saja tidak cukup. Penguasa tahu cara memecah belah. Mereka paham strategi menggiring narasi seolah rakyat sedang berhadapan dengan aparat, bukan dengan kekuasaan. Ini cara lama yang menihilkan tujuan perlawanan.
Sejarah mencatat, sejak era kolonial, polisi memang dibentuk untuk menjaga kepentingan penguasa, bukan rakyat. Laporan Rapport nopens de werking van de organisatie der politie op de grootse hoofdplaatsen van Java menyebut tiga penyakit klasik: Korupsi, kesewenang-wenangan, dan fungsi politik. Peneliti Bambang Widyanarko dalam Kegagalan Historis Membangun Polisi (di) Indonesia (2023) menegaskan warisan itu terus menempel hingga hari ini.
Itu sebabnya, marah kepada aparat dan DPR adalah hal wajar—keduanya bagian dari lingkar kekuasaan yang saling menopang. Jika kemarahan hanya diarahkan ke salah satunya, perjuangan kehilangan daya dobrak.
Saat kawan-kawan turun ke lapangan, jangan buru-buru menyalahkan mereka. Jalanan yang ditutup bukan sekadar aksi nekat, melainkan keberanian mempertaruhkan nyawa demi masa depan kita semua.
Bagi yang tak bisa turun, ruang digital tetap penting. Retweet, unggahan, like—terlihat kecil, tapi ia tekanan kolektif yang nyata. Ingat Affan: Hanya setelah linimasa penuh kemarahan, kepolisian akhirnya bergerak. Kamera ponsel bisa jadi saksi sekaligus senjata.
Baca Juga: Di Tengah Aksi Buruh dan Mahasiswa, DPR Justru Ramai-ramai WFH
Solidaritas ini juga soal gender. Kematian Affan berarti ada ibu yang kehilangan anak, ada saudara perempuan yang kehilangan kakak, ada pasangan yang kehilangan masa depan. Duka perempuan jarang masuk berita, hanya bergema di dapur atau kamar kecil. Perlawanan digital bisa jadi ruang agar suara mereka tak hilang.
Maka setiap postingan solidaritas adalah bukti kita masih hidup, peduli, dan marah. Selama amarah itu ada, ada harapan. Harapan bahwa negara, seburuk apa pun ia kini, takkan pernah bisa sepenuhnya membungkam rakyat. Dari jalanan, dari layar ponsel, dari ruang domestik yang sering diremehkan, kita terus menulis perlawanan.
















