Presiden Prabowo Minta TNI-Polri Ambil “Langkah Tegas Tindakan Anarkis”
Hari ini (30/8) Presiden Prabowo Subianto memanggil Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo di kediamannya, Hambalang, Bogor. Pertemuan ini membahas terkait aksi demonstrasi yang terjadi di beberapa kota di Indonesia sejak hari Senin (25/8).
Dalam konferensi pers di Kopi Koneng, Bojong Koneng, Bogor (30/8), Kapolri Listyo menjelaskan, Presiden Prabowo memerintahkan keduanya untuk mengambil tindakan tegas terhadap peserta aksi. Ia menambahkan kalau arahan presiden kepada TNI dan Polri ditujukan untuk menindak tegas tindakan-tindakan anarkis sesuai undang-undang.
Baca juga: Dari Medan hingga Solo: Buntut Kematian Affan, Gelombang Aksi Meluas ke Berbagai Kota
Menurut Listyo, beberapa aksi yang dilaksanakan tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Ia mengingatkan untuk melaksanakan aksi sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 9 Tahun 1998 terkait Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
“Kalau kita melihat bahwa eskalasi yang terjadi dari dua hari ini, kecenderungannya terjadi tindakan anarkis di beberapa wilayah. Mulai dari pembakaran gedung, pembakaran fasilitas umum, penyerangan terhadap markas-markas,” ucap Listyo.
Namun, perintah “tindak tegas” ini memunculkan kekhawatiran, beberapa pihak menilai ini justru akan memunculkan eskalasi kekerasan aparat.
“Instruksi presiden itu semacam cek kosong, yang diberikan pada aparat keamanan dalam penggunaan kekerasan. Ini berpotensi besar untuk terjadi skala penggunaan kekuatan yang tidak proporsional dan berlebihan,” kata Koordinator Komisi untuk Orang Hilangan dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Dimas Arya pada Magdalene (30/8).
Baca juga: Deretan Figur Publik yang Pilih Berisik, Ada Hindia hingga Sherina
Pelabelan “anarkis” ini terlalu subjektif, menurut Dimas. Sering kali dipakai untuk membenarkan tindakan represif aparat. Menurutnya, instruksi ini berpotensi menimbulkan lebih banyak korban kekerasan oleh aparat.
“Kadang kala operasi penindakan ini tidak tepat sasaran. Itu yang kami takutkan. Juga akan terjadi eskalasi kekerasan pada masyarakat yang ikut menyampaikan pendapat di muka umum,” tambah Dimas.
Dimas bilang, polisi seharusnya mengamankan secara proporsional jika terjadi pelanggaran saat unjuk rasa. Negara, menurutnya, punya data intelijen yang cukup kuat. Maka, seharusnya sudah ada skema penindakan yang terukur untuk menangkap pelanggar.
“Bukan melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya di luar proses hukum. Bagaimanapun seseorang yang melakukan tindak pidana tidak bisa kemudian hak atas hidupnya dikurangi, dia harus diproses hukum terlebih dahulu,” kata Dimas.
Ia menambahkan, semua harus ditindak menggunakan prosedur hukum yang memang ditetapkan dalam peraturan Undang-Undang.
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia turut menanggapi pernyataan Prabowo. Dalam rilis yang diterima Magdalene, PSHK mendesak Presiden melakukan evaluasi atas tindakan aparat keamanan dalam menjaga aksi demonstran, bukan malah menyalahkan rakyat.
Baca juga: 7 Polisi Pembunuh Affan Kena Sanksi Ringan 20 Hari
Narasi “demonstrasi anarkis” dan instruksi Presiden untuk melakukan tindakan tegas terhadap peserta aksi demonstrasi dinilai tidak sensitif dan kekeliruan yang fatal.
“Selain tidak tepat sasaran, narasi ini juga memecah belah warga dan menggiring opini bahwa para peserta aksi demonstrasi tidak mewakili kepentingan masyarakat Indonesia,” tulis PSHK.
Presiden seharusnya memerintahkan pihak penegak hukum untuk kembali pada koridor perlindungan kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28E UUD 1945 dan UU No. 9 Tahun 1998.
















