Menonton Lagi ‘fiksi.’ Lewat Kacamata Queer: ‘Alice in Wonderland’ Versi Mouly Surya
Alice duduk bosan di tepi sungai, saat melihat seekor Kelinci Putih berjas rapi, membawa jam saku. Si kelinci berlari tergesa sembari bergumam, seperti sedang terlambat ke suatu tempat. Terpikat sekaligus penasaran, Alice mengikutinya sampai terjerembab ke sebuah lubang—yang terasa tak berujung itu. Alice lalu mendarat di sebuah dunia asing.
Di sana petualangannya dimulai: tubuh Alice membesar dan mengecil secara tak terduga, aturan logika konvensional tidak lagi berlaku. Ia juga bertemu makhluk-makhluk yang hidup di luar nalar dunia “normal”. Cerita itu berasal dari novel klasik masyhur karya Lewis Carroll yang terbit 1856, Alice’s Adventures in Wonderland (atau biasa disebut Alice in Wonderland) .
Sejak lama, baik kritikus sastra maupun akademisi menafsirkan petualangan Alice ini sebagai alegori becoming queer: sebuah pengalaman memasuki dunia yang menolak tunduk pada logika normatif.
Carroll sendiri dalam novelnya berulang kali menggunakan kata queer—sebanyak lebih dari selusin kali—untuk menyebut sesuatu yang aneh, ajaib, atau di luar kebiasaan. Kata itu, pada abad 19, belum secara spesifik merujuk pada identitas seksual non-heteroseksual, tetapi tetap punya konotasi “tidak biasa” dan “penyimpangan” dari aturan lazim.
Dengan begitu, teks Alice in Wonderland sudah mengandung potensi queer. Ia menawarkan identitas yang cair, perubahan tubuh yang radikal, serta absurditas yang secara implisit menolak heteronormativitas.
Jika karakter Alice tergoda kelinci putih untuk masuk ke dunia bawah tanah yang penuh keajaiban, maka Alisha dalam fiksi. (Mouly Surya, 2008) justru menemukan “wonderland”-nya di dunia nyata, di rumah susun Jakarta. Sebuah ruang yang keras, padat, dan penuh cerita manusia kelas menengah bawah.
Namun, Kkelinci putih yang membuatnya menyeberang ke dunia lain bukanlah binatang fantasi, melainkan sosok Bari (Donny Alamsyah), pekerja serabutan yang ia intai diam-diam. Obsesinya pada Bari menuntun Alisha meninggalkan rumah mewahnya yang steril dan terisolasi, dan masuk ke ruang hidup kelas menengah bawah yang penuh keruwetan sosial.
Di sinilah, fiksi. bisa dibaca sebagai inversi Alice in Wonderland. Mouly tidak membawa tokoh utamanya ke dunia fantasi, melainkan menukarnya dengan realitas urban Jakarta, sebuah lanskap sosial yang sama-sama absurd dan menawarkan kemungkinan queer. Membaca film ini lewat kacamata queering—teori yang diperkenalkan Sean D. Burke—memberi kita cara baru untuk memahami bagaimana Alisha dan ruang-ruang yang ia jelajahi membongkar klaim-klaim normalitas tentang gender, kelas, dan moralitas.
Ruang dan Tubuh Alisha sebagai Penanda yang Liyan
Kisah fiksi. berpusat pada Alisha, anak orang kaya yang hidup terkungkung di sebuah rumah gedongan (sebuah fantasi tersendiri bagi penonton yang datang dari kelas menengah pekerja). Satu-satunya interaksi manusiawi yang konstan ia dapatkan datang dari Bu Tuti (Rina Hassim), manajer rumah tangga, dan Pak Bambang (Egi Fedly), supir sekaligus tangan kanan ayahnya.
Sebuah percikan muncul di tengah hari-harinya yang hampa, saat Bari, pemuda tampan yang membersihkan kolam renang di rumahnya, muncul. Anehnya, Alisha makin terpikat sosok Bari saat memergoki pemuda itu mengutil pajangan kelinci putih dari kabinet rumahnya.
Setelah mengelabui Bu Tuti dan Pak Bambang, Alisha berhasil minggat, mengikuti Bari ke tempat tinggalnya di sebuah rumah susun. Di sana, Alisha menyamar sebagai “Mia” untuk masuk ke lingkar sosial Bari dan pacarnya, Renta (Kinaryosih).
Sejak memasuki scene berlatar rumah susun inilah film mulai membangun gagasan oposisi ruang yang jelas. Rumah mewah Alisha yang luas, dengan jendela-jendela besar—yang memungkinkan banyak cahaya natural menerangi ruang-ruang di dalamnya, justru menjadi simbol alienasi. Sementara rumah susun, yang bertumpuk dan jauh lebih sempit, menjadi medan dan titik temu begitu banyak garis kehidupan. Ruang vertikal rumah susun menyatukan orang-orang dari latar sosial berbeda, sekaligus memperlihatkan betapa segregasi sosial hanyalah konstruksi, meski memang ada dan nyata.
Alisha, yang berasal dari kelas atas, hadir dan menyelinap di habitat warga kelas bawah, sehingga tubuhnya sendiri menjadi tanda queer: melintasi batas kelas dan melabrak kategori yang stabil.
Dalam konteks queering, rumah susun hadir sebagai perangkat naratif yang membongkar ilusi sekat sosial. Struktur fisik rumah susun yang bertingkat dan bersekat, mampu menyatukan beragam penghuni dari berbagai kelas, dan menjadi simbol ketercampuran sosial. Kontras ini dipertajam lewat mise-en-scène dan tata kamera. Di rumah besarnya, Alisha kerap ditempatkan dalam komposisi simetris di shot-shot lebar, membentuk citra keterasingan sekaligus keteraturan kelas atas. Sementara di rumah susun, ia dipotret lebih variatif: kadang berbagi bingkai dengan subjek lain, kadang di foreground atau background obyek yang ia intai. Perubahan cara kamera memandang Alisha ini memperlihatkan bagaimana tubuhnya sendiri dikonstruksi ulang ketika berpindah ruang. Dengan kata lain, fiksi. meng-queer-kan ruang sekaligus tubuh Alisha melalui strategi sinematik.
Lebih jauh, femininitas Alisha tak luput dikonstruksi untuk meruntuhkan norma gender. Biasanya, femininitas dipandang sebagai atribut lembut, rapuh, dan tidak berbahaya. Namun, dalam fiksi., kesadaran atas femininitas itulah yang menjadi senjata. Alisha tampil sebagai gadis muda yang, dari luar, tampak polos dan tidak berbahaya. Tapi di balik performa itu, ia menyimpan obsesi yang mematikan.
Judith Butler menekankan bahwa gender tidak pernah esensial, melainkan sesuatu yang terus-menerus diperformakan. Alisha memperlakukan performativitas femininnya bukan sebagai “kodrat”, melainkan jubah strategis untuk melintasi batas kelas dan menyembunyikan kecenderungan destruktifnya. Di titik ini, femininitasnya berubah menjadi kekuatan yang membalikkan norma, yang mempersenjatai tubuhnya.
Simbol kelinci putih yang hadir di Alice in Wonderland juga mendapat resonansi dalam fiksi.. Jika di sana kelinci putih berfungsi sebagai pemicu perjalanan Alice ke Wonderland, maka dalam fiksi., figur Bari, yang membantu Renta mengoleksi boneka kelinci putih, bisa dibaca sebagai “kelinci putih” versi Alisha.
Kendati diperlihatkan terkurung oleh ayahnya yang terlalu protektif, Alisha memiliki semua sumber daya yang dibutuhkan untuk kabur. Namun, pertemuannya dengan Barilah yang mendorong Alisha mengambil aksi nyata: keluar dari istananya menuju dunia luar; dunia nyata.
Namun, berbeda dengan Alice yang terhanyut dalam segala keajaiban di Wonderland, Alisha justru aktif mengendalikan cerita: ia bukan hanya pengamat, tapi juga manipulator yang mengintervensi nasib orang lain demi menciptakan ending yang dramatis. Dengan demikian, simbol kelinci putih di sini dimaknai ulang bukan sekadar pintu menuju dunia baru, melainkan pemantik obsesi voyeuristik yang menguak relasi kuasa antara kelas atas dan bawah.
Anchalee Chaiworaporn dalam “Moving Up: Women Directors and South-east Asian Cinema” mencatat bahwa fiksi. “constructed using female voyeurism and gaze,” situasi ketika sutradara perempuan memutarbalikkan logika pandang patriarkal yang selama ini mendominasi sinema.
Dalam hal ini, Mouly menghadirkan female gaze yang tidak menundukkan tubuh perempuan sebagai objek, melainkan menempatkan Alisha sebagai subjek dengan hasrat aktif. Walaupun hasrat itu destruktif. Di titik inilah queering bekerja: Alisha bukan sekadar “gila” atau “obsesif,” ia adalah figur ambigu yang tak sepenuhnya sesuai dengan norma gender, kelas, atau peran sosial yang dilekatkan padanya.
Dalam konteks perfilman Indonesia, pendekatan ini juga bisa dibaca sejajar dengan karya-karya lain yang memanfaatkan queer bukan sekadar orientasi seksual, melainkan strategi naratif.
Pintu Terlarang (Joko Anwar, 2009), misalnya, memperlihatkan karakter utamanya, Gambir (Fachri Albar) yang heteroseksual bisa dikonstruksikan sebagai queer melalui alienasi dan ketidaksesuaian hidupnya dengan norma sosial. Impotensi yang ia alami merontokkan banyak hak yang harusnya Gambir miliki sebagai laki-laki heteroseksual di masyarakat patriarki. Dan di titik tertentu ke-queer-an itu jadi horor karena sikap-sikap mengerdilkan menimpanya justru datang dari orang-orang terdekat.
Menariknya, Pintu Terlarang juga menggunakan interaksi tubuh yang terbelah antara realitas dan fantasi sebagai perangkat naratif. Persis seperti fiksi. yang mengaburkan realitas dan fiksi. Dengan demikian, ia juga berkontribusi memperluas pemahaman queer dalam sinema Indonesia: bukan hanya soal representasi orientasi seksual, melainkan juga praktik membaca ulang norma sosial, ruang, dan tubuh.
Jejak Seks yang ‘Menyimpang’
Cara film ini mengorkestrasi adegan seks juga menarik dibaca dengan queering. Adegan seks fiksi. dibangun sebagai ruang asing dari hasrat laki-laki. Alisha, yang sejak awal tampak absen dari hasrat seksual, memperlakukan seks sebagaimana ia memperlakukan kehidupan kelas bawah: sesuatu yang ingin ia telusuri dengan dingin, nyaris klinis, atas dasar penasaran.
Hal ini tampak dalam adegan Bari mempraktikkan oral seks kepadanya. Kamera tidak menekankan tubuh Alisha sebagai objek visual, melainkan hanya menyorot wajahnya yang datar, nyaris tanpa ekspresi. Tidak ada tanda kenikmatan seksual konvensional; justru ada jarak emosional yang janggal. Seks, alih-alih menghadirkan keintiman, dihadirkan sebagai aksi observasi.
Alisha seakan tengah menguji tubuhnya sendiri, sama seperti ia menguji dunia kelas bawah yang ia masuki.
Di titik inilah gagasan José Esteban Muñoz tentang Ephemera as Evidence relevan digunakan sebagai kacamata baca. Muñoz berargumen bahwa jejak queer bisa dilacak melalui hal-hal yang hadir secara sementara, samar, tidak tercatat secara formal, dan tidak melulu berbentuk material nyata. Dengan kata lain, queer bisa hadir sebagai nuansa, yang keberadaanya dicari di antara sisa-sisa.
Adegan seks Alisha mungkin tidak eksplisit “queer” dalam pengertian representasi homoseksualitas. Namun, kejanggalan ekspresi dan netralitas wajahnya, munculkan pengecapan queer: berupa hasrat yang tidak bisa dipetakan dalam kerangka heteroseksual konvensional. Adegan seks ini menolak protokol seksualitas yang dianggap normal. Ia tidak berfungsi sebagai pelampiasan hasrat, melainkan momen eksperimental Alisha.
Lapisan queer ini terasa kian tebal setelah hubungan seks itu selesai. Noda darah di sprei kasur Alisha menandai bahwa itu adalah pengalaman seksual pertamanya. Tetapi, alih-alih dibaca sebagai “ritus kedewasaan” heteroseksual atau simbol “kehilangan keperawanan,” Alisha justru menjadikan noda itu sebagai alat manipulasi. Ia memanfaatkan jejak ketubuhannya sebagai senjata agar Bari tetap mau menemuinya diam-diam di belakang Renta. Residu seksualitas heteronormatif dipelintir menjadi sesuatu yang mengganggu alur normatif, sekaligus menjadi alat kuasa.
Dari sini lah pintu untuk mengkonstruksi Alisha sebagai liyan; figur queer dalam arti yang lebih luas. Alisha menolak mengalami seks sebagai sesuatu yang relasional. Kalkulasinya yang dingin dalam praktik hubungan seksnya dengan Bari menyisakan perasaan ketidaknyamanan, keterasingan, dan teror halus yang menyingkap bahwa hubungan heteroseksual pun bisa diguncang, dipelintir, dan dipakai sebagai tanda penyimpangan yang destruktif.
Menonton Kelas Atas Menonton Kelas Bawah
Selain persoalan ruang dan tubuh, fiksi. juga menyajikan lapisan meta yang memperkuat pembacaan queer sekaligus membuka kritik sosial. Seiring hubungan keduanya yang kian akrab, Bari memperlihatkan draf tulisan fiksi yang tengah ia tulis pada Alisha. Cerita dalam tulisan itu terinspirasi dari berbagai macam penghuni rusun yang sehari-hari Bari amati. Ada pasangan gay yang ternyata anak dan ayah tiri, ada cat lady tua penyendiri, ada bandar narkoba, hingga lelaki tua yang menolak masuk ke unit rusunnya sebagai bentuk protes terhadap penggusuran. Hidup orang-orang ini, bagi Bari, adalah materi naratif yang menarik.
Alisha pun menginvestasikan waktu dan tenaganya pada cerita fiksi yang tengah ditulis Bari. Ia mengambil keputusan eksekutif untuk turun tangan, dan secara literal mengintervensi nasib orang-orang itu agar kisah mereka punya akhir yang “dramatis.” Dari sini, voyeurisme menjadi berlapis: bukan hanya Bari yang mengintai kehidupan kelas bawah sebagai pemantik kreativitas, tetapi juga Alisha yang turut mengintai sekaligus memproduksi tragedi agar kisah mereka bisa ia konsumsi dalam bentuk cerita fiksi.
Dengan kata lain, film ini menyingkap bagaimana kelas borjuis berpotensi mengeksploitasi penderitaan kelas bawah sebagai hiburan; suatu praktik yang tidak jauh berbeda dari cara sinema populer sering kali menjadikan tubuh marjinal sebagai tontonan.
Dalam konteks teori film, Laura Mulvey dalam esai seminalnya Visual Pleasure and Narrative Cinema menekankan bagaimana sinema adalah seperangkat alat (aparatus) voyeuristik, tempat penonton mengintip kehidupan orang lain di layar. fiksi. menjadikan fakta ini eksplisit dengan menempatkan Alisha sebagai perwujudan mata penonton yang voyeuristik. Bedanya, jika biasanya penonton pasif, Alisha justru aktif mengatur adegan agar sesuai dengan keinginannya.
fiksi. bukan hanya tentang kisah seorang gadis obsesif, melainkan juga kritik atas mekanisme representasi itu sendiri: bagaimana kelas dominan menulis, memfilmkan, dan mengkonsumsi kehidupan kelas bawah.
Saat menilik filmografi Joko Anwar—rekan duet Mouly menulis skrip fiksi.—kecenderungan ini tampak konsisten. Dari Pengepungan di Bukit Duri (2025) yang mengangkat trauma korban perkosaan, hingga Orang Kaya Baru (2019) yang menjadikan pengalaman kelas miskin naik kelas sebagai bahan komedi, Joko kerap memotret penderitaan atau keterbatasan kelompok lemah.
Dengan campur tangan Mouly sebagai sutradara, kecenderungan itu jadi tereskalasi: bukan cuma eksploitasi penderitaan, tetapi juga potret tentang cara kelas atas menikmati penderitaan tersebut sebagai tontonan.
Dengan membaca fiksi. melalui konsep queering Sean D Burke, kita menemukan bahwa film ini ternyata tak hanya kisah thriller psikologis, melainkan wacana tentang tubuh, ruang, kelas, dan narasi. fiksi., yang menggondol empat Piala Citra termasuk sebagai Film Terbaik di Festival Film Indonesia 2008, pun tak cuma penting secara historis, tapi juga provokatif untuk dihayati. fiksi. mendedah fitrah film sebagai medium yang voyeuristik, dan mengedepankan penyadaran moral tentang bagaimana praktik sesederhana “menatap” bisa jadi bentuk kekerasan simbolik yang perlu kita sadari.
















