December 6, 2025
Issues Politics & Society

Jaringan Perempuan Jaga Indonesia Desak Pemerintah Setop Kekerasan dalam Aksi Massa 

Di tengah aparat yang kian represif, Jaringan Perempuan Jaga Indonesia mendesak negara hadir melindungi rakyat, khususnya kelompok rentan.

  • September 1, 2025
  • 4 min read
  • 1968 Views
Jaringan Perempuan Jaga Indonesia Desak Pemerintah Setop Kekerasan dalam Aksi Massa 

Gelombang demonstrasi sejak (25/8) lalu kembali meninggalkan luka. Korban berjatuhan, termasuk pengemudi ojek daring Affan Kurniawan hingga Syahrinawati, staf DPRD Makassar yang tewas dibakar ketika bertugas. 

Dalam konferensi pers (31/8), Jaringan Perempuan Jaga Indonesia (PJI) menyuarakan keprihatinan mendalam dan mendesak pemerintah menghentikan kekerasan aparat sekaligus menjamin perlindungan bagi kelompok rentan. 

Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) yang pernah jadi Komisioner Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) Zumrotin menegaskan perempu,an tidak bisa berdiam diri ketika anak, perempuan, dan keluarga menjadi korban. Ia menyerukan enam tuntutan kepada presiden dan pimpinan legislatif. 

Di antaranya, menghentikan kekerasan aparat, memulihkan rasa aman masyarakat, melindungi kelompok rentan, menjamin hak warga untuk berekspresi, membuka ruang dialog, serta memastikan tidak ada kekerasan berbasis gender selama penyampaian aspirasi. 

Suara-suara lain dari berbagai organisasi dalam jaringan PJI menyoroti persoalan struktural di balik demonstrasi. Absennya ruang dialog, ketidakadilan sosial, hingga kebijakan publik yang mengabaikan kelompok rentan dinilai sebagai akar yang melahirkan amarah rakyat.

Baca Juga: Terobos Kerumunan Massa Aksi, Kendaraan Taktis Brimob Lindas Ojol  

Absennya Dialog, Menguatnya Represi 

Dalam forum yang sama, Sekretaris Jenderal KPI untuk Keadilan Dan Demokrasi dari tahun 1998-2004 Nursyahbani Katjasungkana menilai gelombang aksi hanyalah puncak kecil dari absennya keadilan sosial dan minimnya ruang dialog di Indonesia. 

Senada, Arimbi Heroepoetri dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara menyoroti terpinggirkannya perempuan adat yang bahkan tak diberi ruang berdiskusi dalam pengambilan keputusan. Karena itu, ia mendorong DPR segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat. 

“Kami sudah ada sebelum negara ini ada, tetapi negara justru memperlakukan kami dengan tidak adil,” tegasnya. 

Dari kalangan mahasiswa, Fanda Puspitasari dari Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPP GMNI) menyebut meluasnya aksi sebagai ekspresi kemarahan rakyat terhadap ketidakadilan sosial dan gaya hidup pejabat yang nirempati. 

Baca Juga: Di Tengah Aksi Buruh dan Mahasiswa, DPR Ramai-ramai WFH

“Indonesia harus shifting identitas dari dark system menuju fair system dengan menghapus feodalisme, oligarki, dan relasi kuasa. Karena kami, mahasiswa, butuh legasi yang beradab dari negara,” ujarnya. 

Kekerasan juga pecah di Makassar. Presidium Nasional Koalisi Perempuan Indonesia, Ema Husain, menggambarkan awalnya aksi mahasiswa tertib sebagai solidaritas untuk Affan Kurniawan. Namun situasi memburuk ketika massa bercampur dengan kelompok tak teridentifikasi. 

“Malam itu saya merasa pemerintah seolah tidak hadir. Demo pecah karena ruang dialog tak pernah benar-benar dibuka,” katanya. 

Kontradiksi janji pemerintah juga disorot. Nabila dari Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS) mengingatkan Presiden berulang kali menyatakan akan mendengar rakyat, tetapi kenyataan di lapangan justru sebaliknya. Mulai dari pemblokiran siaran langsung, intimidasi terhadap kelompok sipil, hingga kabar aparat diperbolehkan menggunakan senjata api. Kondisi itu membuat Aliansi Perempuan Indonesia terpaksa menunda aksi. 

Baca Juga: Kejarlah Demonstran Pelajar, Kutangkap Polisi 

Kerentanan Berlapis, Seruan Hentikan Kekerasan 

Situasi represif ini semakin berat bagi kelompok rentan. Nurma dari Rifka Annisa mengingatkan pengalaman pahit 1998 ketika demonstrasi disertai kekerasan seksual. Ia menekankan pentingnya penguatan tim Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) di lapangan. 

Sementara itu, Riska Karolina dari Women’s March Jakarta menambahkan, diskriminasi membuat kelompok dengan keragaman seksualitas dan identitas gender menanggung beban ganda. Narasi negara yang menuding rakyat makar hanya memperbesar risiko stigmatisasi. 

Novita dari Forum Pengada Layanan menilai pola kekerasan terus berulang karena kebijakan elit tidak pernah benar-benar berpihak pada rakyat. Ia menegaskan perubahan hanya bisa terwujud lewat kolaborasi negara dan masyarakat sipil tanpa kekerasan. Ditta Wisnu dari Jaringan Perempuan Borneo menekankan keterkaitan demonstrasi dengan realitas sehari-hari: akses kesehatan yang masih sulit dijangkau. 

“Padahal banyak di antara mereka, misalnya penyintas kanker, sangat bergantung pada obat,” ujarnya. 

Dari perspektif keagamaan, Ira Imelda dari Perkumpulan Perempuan Alumni Pendidikan Teologi Indonesia menyampaikan duka atas eskalasi kekerasan yang kian nyata, terutama bagi perempuan dari kelompok minoritas. Baginya, setiap nyawa yang hilang mencerminkan ketidakadilan struktural. Sebagai tokoh agama, ia menyerukan penghentian kekerasan sekaligus pembangunan sistem yang adil dan melindungi perempuan serta kelompok rentan. 

About Author

Safika Rahmawati

Safika adalah sosok yang suka melamun dan punya cita-cita hidup tenang di desa di kaki gunung. Tapi kalau harus tinggal di kota dulu, enggak masalah—asalkan bisa rebahan tanpa rasa bersalah sambil menikmati suara burung gereja di dalam kamar.