Remisi Ronald Tannur: Layakkah Pelaku Femisida Dapat Pengurangan Masa Pidana?
Pelaku femisida terhadap Dini Sera, Gregorius Ronald Tannur, mendapatkan remisi dalam momen Hari Ulang Tahun Republik Indonesia (HUT RI) ke-80. Mengutip Tempo, Ronald memperoleh remisi umum satu bulan dan remisi dasawarsa tiga bulan.
Remisi umum diberikan setiap tahun pada (17/8) kepada narapidana yang memenuhi syarat. Sementara, remisi dasawarsa diberikan setiap sepuluh tahun HUT RI.
Menukil CNN Indonesia, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Rika Aprianti, menyebut pemberian remisi terhadap Ronald sudah sesuai dengan syarat yang ditentukan oleh peraturan. Syarat tersebut antara lain berkelakuan baik, mengikuti program pembinaan yang diselenggarakan lembaga pemasyarakatan (lapas), serta telah menjalani masa pidana lebih dari enam bulan dan menunjukkan penurunan tingkat resiko.
Namun, pemberian remisi kepada Ronald Tannur sebagai pelaku femisida memunculkan kontroversi. Praktik ini dinilai dapat membunuh korban untuk kedua kalinya, mengingat keadilan bagi Dini dan keluarga tidak pernah betul-betul terpenuhi.
Sebelumnya, di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Ronald sempat diputus bebas oleh hakim–Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo, yang kemudian tersandung kasus suap vonis bebas.
Mahkamah Agung lalu menganulir vonis bebas Ronald dalam putusan kasasi. Akan tetapi, Ronald hanya dijatuhi hukuman 5 tahun penjara dan keluarga tidak mendapatkan restitusi.
Lantas, masih pantaskah Ronald mendapatkan remisi?
Baca juga: Femisida Bukan Sekadar Pembunuhan Biasa, Ada Misogini di Dalamnya
Apakah Pelaku Femisida Bisa Mendapatkan Remisi?
Perlu diketahui, berdasarkan penjelasan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan), remisi adalah pengurangan masa menjalani pidana kepada narapidana yang memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Syarat tersebut diatur dalam ayat (2), antara lain berkelakuan baik, aktif mengikuti program pembinaan, dan telah menunjukkan penurunan tingkat risiko. Apabila narapidana telah memenuhi ketiga syarat tersebut, maka berhak mendapatkan remisi.
Ajeng Gandini Kamilah, Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), menjelaskan kalau remisi adalah hak yang melekat pada setiap narapidana. “Pemberian remisi sebenarnya memang melekat ke semua narapidana.”
Akan tetapi, wajar ketika pemberian remisi terhadap Ronald Tannur terlihat tidak adil, dikarenakan singkatnya masa tahanan, yakni 5 tahun.
“Itu vonis lima tahun, dikurangi masa tahanan. Karena masa tahanannya pas kita cek bisa sampai 400-an hari, berarti kan (sisa pidana penjara) empat tahun tuh,” jelas Ajeng. Belum lagi Ronald bisa mendapatkan remisi umum saat 17 Agustus, dan remisi khusus setiap hari besar keagamaan.
Ketidakadilan semakin terasa saat restitusi tidak pernah diterima keluarga korban. “Pas kasasi pun Hakim Mahkamah Agung (MA) bahkan tidak mempertimbangkan restitusi untuk keluarga korban,” ujar Ajeng.
Baca juga: Femisida Pegawai BPS: Judol, Kerentanan Perempuan, dan Pentingnya Komunitas
Standar ‘Baik’ dan Pembinaan yang Tak Jawab Permasalahan
Ajeng menyoroti syarat remisi yang sangat mudah bisa didapatkan oleh narapidana pelaku femisida, dengan cukup berkelakuan baik dan mengikuti pembinaan.
Dari yang Ajeng amati, standar minimum berkelakuan baik di lembaga pemasyarakatan (lapas) hanya sekadar tidak berbuat onar selama menjalani pidana.
“Sepanjang dia enggak berbuat onar, enggak bikin rusuh lapas, itu masih masuk berkelakuan baik. Memang cuma itu aja, dan pasti dapet.”
Selain itu, pembinaan kerapkali tidak disesuaikan dengan kebutuhan dan latar belakang tindak pidana dari narapidana.
“Sementara pembinaan di pemasyarakatan itu kan bertujuan supaya pas ke masyarakat, narapidana bisa kembali membaur dengan masyarakat. Cuma kadang ada beberapa program pembinaan yang enggak sesuai sama kebutuhan si narapidananya,” tutur Ajeng.
Misalnya, pembinaan dipukul rata dengan program yang sifatnya ekonomis seperti membuat kerajinan, atau tak jarang lewat program donor darah, yang menurut Ajeng tidak menjawab permasalahan si narapidana. Padahal, dalam kasus Ronald Tannur, sepatutnya pembinaan disesuaikan dengan kebutuhan pelaku femisida, seperti pembinaan yang sifatnya psikologi.
“Tapi apakah pembinaannya menjawab permasalahan? Yakni mengoreksi narapidana supaya enggak melakukan hal yang sama ketika kembali ke masyarakat? Itu enggak sampai ke situ. Jadi enggak terlalu berkontribusi banyak sebenarnya kalau kita ngelihat jenis pembinaan yang memang hanya umum seperti itu.”
Baca juga: Dari Femisida ke Feminisida: Kegagalan Negara yang Bunuh Perempuan
Negara Butuh Regulasi Terkait Femisida
Sebenarnya, syarat remisi untuk kasus tindak pidana tertentu mensyaratkan syarat tambahan agar narapidana bisa mendapat remisi.
Berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2018, bagi narapidana kasus terorisme, narkotika, korupsi, pelanggaran HAM berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lain, syarat remisi tidak hanya berkelakuan baik dan ikut pembinaan. Mereka juga wajib, misalnya, bekerjasama dengan penegak hukum, membayar denda atau uang pengganti (untuk korupsi), serta mengikuti program deradikalisasi (untuk terorisme).
Pertanyaannya, apakah ketentuan serupa bisa diterapkan pada kasus femisida? Misalnya, dengan menambahkan syarat rehabilitasi bagi pelaku sebelum mendapat remisi. Dengan begitu, negara tidak sekadar memberikan remisi berdasarkan standar berkelakuan baik, tapi juga memastikan ada proses koreksi nyata terhadap pelaku kekerasan.
Sayangnya, wacana ini masih sulit diwujudkan. Berdasarkan penuturan Ajeng, hal ini dikarenakan femisida belum termasuk dalam klasifikasi tindak pidana tertentu yang diatur dalam aturan remisi, sehingga masih diperlakukan sebagai tindak pidana umum.
Akibatnya, pelaku femisida tetap bisa memperoleh remisi hanya dengan memenuhi syarat umum: berkelakuan baik dan mengikuti pembinaan.
Situasi ini, tutur Ajeng, mencerminkan dua hal. Pertama, negara belum mengatur secara khusus tindak pidana femisida.
“Kedua, karena memang belum ke-mainstreaming mungkin ya, semua APH (aparat penegak hukum)–polisi, jaksa, hakim, pemasyarakatan, belum terlalu ngeh terkait femisida ini.”
Meski begitu, bukan berarti pintu tertutup rapat. Ajeng menilai isu ini tetap bisa diperjuangkan untuk bisa masuk ke dalam kebijakan pemasyarakatan. Pendekatannya bisa lewat perlindungan terhadap kelompok rentan, seperti perempuan dan anak, meskipun tidak langsung menyebut istilah femisida.
Jika aturan remisi mengharuskan adanya rehabilitasi khusus bagi pelaku pembunuhan terhadap perempuan dan anak, menurut Ajeng itu sudah menjadi pintu masuk untuk mendorong pengakuan femisida.
“Kalau ada syarat rehabilitasi, otomatis ada asesmennya. Dari situ tampak skalanya seperti apa. Negara bisa bekerja untuk pelaku seperti ini,” jelas Ajeng.
Dengan begitu, remisi tidak lagi sekadar formalitas administratif, tetapi juga menjadi instrumen koreksi bagi pelaku femisida.
















