December 5, 2025
Issues Opini Politics & Society

Uang Duka dan Bantuan yang Bisa Jadi Petaka

Bantuan yang datang saat duka sering kali disertai niat baik. Namun tanpa pendampingan, uang duka bisa sia-sia dan meninggalkan luka baru bagi keluarga yang ditinggalkan.

  • September 3, 2025
  • 4 min read
  • 1766 Views

Sekitar dua puluh tahun lalu, seorang kerabat dekat saya meninggal dunia akibat kecelakaan motor. Beberapa bulan setelahnya, sang istri menerima uang asuransi kematian dalam jumlah yang cukup fantastis pada masanya. Dalam bulan-bulan awal setelah kehilangan suaminya—ayah dari dua anak perempuan yang masih kecil—ia mengambil serangkaian keputusan drastis.

Ia pindah dari Jakarta ke kota kecil asalnya. Ia membeli mobil meski tak bisa menyetir, mempekerjakan pekerja rumah tangga dan sopir, memborong barang-barang mewah, serta meminjamkan uang ke kerabat tanpa pikir panjang apakah uang itu akan kembali atau tidak. Anehya, ia tidak terpikir untuk menyisihkan dana pendidikan anak, berinvestasi properti, membuka deposito, atau membeli asuransi kesehatan. Hanya dalam hitungan tahun, uang itu habis. Pinjaman tak kembali, biaya sekolah anak-anak tak terjamin, dan hidup kembali serba pas-pasan.

Pengalaman serupa pernah saya lihat pada seorang rekan kerja. Ia dikenal sederhana dan anti-pamer. Namun, tak lama setelah kehilangan suaminya yang masih muda, ia mendadak membeli rumah, mobil, jalan-jalan tanpa arah, dan tampil dengan gaya glamor. Belakangan saya tahu, ia juga baru menerima uang asuransi kematian.

Belakangan saya baru tahu bahwa perilaku seperti ini bukan semata soal “pemborosan”, melainkan fenomena yang disebut grief spending. Orang yang sedang berduka bisa tiba-tiba bertindak di luar karakter: spontan, impulsif, tergesa-gesa, dan menghamburkan uang. Ini adalah salah satu mekanisme bertahan (coping mechanism). Mereka sibuk mencari distraksi, sulit mengekspresikan emosi, diliputi penyesalan atau rasa bersalah, dan merasa hidup terlalu singkat untuk tidak dinikmati.

Baca Juga: Stop Bilang Saya Boros: Ketika Saya Bosan Jadi Miskin

Risiko di balik uang duka

Fenomena grief spending membuat kita perlu lebih berhati-hati dalam melihat berbagai bentuk bantuan duka cita. Saat ini, publik menaruh perhatian pada limpahan bantuan untuk orang tua Affan Kurniawan, pengemudi ojek online berusia 21 tahun yang meninggal dilindas kendaraan taktis Brimob.

Bantuan datang dari banyak pihak dengan niat mulia: umrah gratis, uang donasi dalam jumlah besar, janji menanggung biaya hidup, hingga pembangunan rumah baru. Semua itu adalah bentuk kepedulian yang patut diapresiasi. Namun, pengalaman di banyak kasus menunjukkan bahwa bantuan dalam jumlah besar, bila datang tiba-tiba, bisa membawa tantangan baru.

Dalam masa berduka, seseorang kerap tidak berada pada kondisi paling jernih untuk mengambil keputusan. Di saat seperti itu, uang duka bisa cepat habis tanpa perencanaan, atau dipercayakan pada pihak lain yang mungkin tidak selalu mengutamakan kepentingan keluarga yang kehilangan. Risiko inilah yang perlu kita sadari bersama, bukan untuk menyalahkan, melainkan untuk mendorong adanya pendampingan yang tepat.

Baca Juga: ‘Doom Spending’: Saat Belanja Jadi Pelarian Emosi Anak Muda

Lebih dari sekadar simpati sesaat

Bantuan finansial seharusnya tidak hanya berhenti pada “memberi”. Bantuan perlu dilengkapi dengan pendampingan literasi keuangan, dukungan hukum agar keluarga paham hak dan kewajiban mereka, serta perhatian pada kesehatan fisik dan mental.

Jika kita memberi anak kita sepeda motor, misalnya, kita perlu memastikan ia mengendarai dengan aman, memahami rambu lalu lintas, dan merawat kendaraannya. Tanpa itu, sepeda motor justru bisa membahayakan. Begitu pula dengan uang duka—ia bisa jadi penopang, tapi juga bisa jadi bumerang.

Itulah mengapa bantuan duka perlu dipahami sebagai awal dari proses panjang, bukan akhir. Memberikan uang, rumah, atau perjalanan ibadah tentu baik, tapi lebih penting lagi memastikan keluarga yang berduka punya pegangan untuk masa depan. Pendampingan yang konsisten—baik dari komunitas, pemerintah, maupun lembaga sosial—akan membuat bantuan yang tulus itu benar-benar berdampak, bukan hanya sekejap rasa hangat.

Kita semua ingin orang tua Affan bisa melanjutkan hidup dengan tenang, tanpa beban tambahan di luar kehilangan besar yang mereka alami. Seperti kata penulis Adam Grant, kehangatan bisa dipalsukan, tapi fondasi kepercayaan adalah integritas dan konsistensi. Pertanyaan pentingnya: apakah simpati, janji menolong, dan belas kasih itu masih akan ada ketika publik sudah lupa dan kehidupan kembali normal? Di sinilah janji-janji kebaikan diuji akuntabilitasnya.

Karena itu, mari kita beri keluarga Affan ruang untuk berduka dengan tenang. Akan ada saat yang tepat untuk memanfaatkan bantuan sesuai kebutuhan mereka. Yang terpenting sekarang adalah menghormati proses kehilangan itu—kehilangan yang membuat hidup mereka selamanya berubah tanpa Affan.

Itu hal paling sederhana yang bisa kita lakukan saat ini: menjaga martabat keluarga yang sedang berduka dan memastikan bantuan yang datang bukan hanya simbol simpati sesaat, melainkan benar-benar menopang masa depan. Kita semua berutang pada Affan. Semoga ia beristirahat dalam damai.

About Author

Riyani Indriyati

Riyani adalah pendiri dari Dahuni foundation, seorang mentor yang punya jiwa “restless” terutama jika menyangkut masalah perempuan dan pendidikan.