December 6, 2025
Issues Politics & Society

Sepele pada Nalar dan Kekuatan Rakyat: Dosa di Balik Komunikasi Politik Buruk Pejabat Kita

Komunikasi politik atau bahasa kekuasaan yang dipakai pejabat kita—baik anggota DPR dan Presiden—amat jelek, dan cenderung menyepelekan nalar kita sebagai rakyat.

  • September 4, 2025
  • 6 min read
  • 5132 Views
Sepele pada Nalar dan Kekuatan Rakyat: Dosa di Balik Komunikasi Politik Buruk Pejabat Kita

Michael Freeden, ahli politik Inggris, pernah bilang, yang hening juga punya makna. Diam pun adalah bentuk komunikasi. Setiap gestur maupun ucapan politisi selalu mengandung pesan politik, disadari atau tidak.

Hal itu tampak jelas dalam pernyataan Wakil Ketua DPR RI, Adies Kadir, yang menyebut anggota DPR menerima tunjangan perumahan Rp50 juta per bulan. Bagi publik, ucapan itu bukan sekadar angka, melainkan simbol kesenjangan antara elite dan rakyat. Terlebih di tengah kondisi ekonomi yang menghimpit.

Kemarahan publik belum reda, Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni justru melontarkan ucapan kasar: “Catat nih, orang yang cuma mental bilang ‘bubarin DPR’, itu adalah orang tolol sedunia.” Alih-alih menenangkan suasana, pernyataan ini terbaca sebagai bentuk arogansi. Sekaligus melecehkan rakyat yang seharusnya mereka wakili.

Pernyataan Adies Kadir dan Ahmad Sahroni hanyalah sebagian contoh blunder komunikasi politik DPR. Rangkaian pernyataan semacam itu menyulut kemarahan publik. Bukan cuma merepet di kolom komentar di media sosial, rakyat juga turun ke jalan. Pada 25 Agustus kemarin, demonstran memadati kawasan Senayan sebagai bentuk protes. 

Sehari berselang, aksi kembali pecah dan berujung pada tewasnya Affan Kurniawan, pengemudi ojek daring, setelah dilindas kendaraan taktis Brimob. Peristiwa itu menjadi pemicu gelombang solidaritas yang lebih luas. Pada 27 Agustus, ribuan orang kembali turun ke jalan dengan tuntutan yang lebih tegas: keadilan bagi Affan.

Baca Juga: Terobos Kerumunan Massa Aksi, Kendaraan Taktis Brimob Lindas Ojol

Normalisasi Militer Lewat Bahasa Presiden

Di tengah memuncaknya gelombang protes, Presiden Prabowo akhirnya angkat bicara melalui konferensi pers. Namun pernyataannya justru gagal meredakan amarah publik.

Menurut praktisi program, bahasa, dan humaniora digital, Lalitia Apsari, ada pergeseran signifikan dalam bahasa yang dipakai pemerintah. Pada konferensi pers pertama (29/8), Prabowo masih menggunakan diksi normatif, seolah berupaya menjaga citra nation building. Dalam pidatonya ia menyebut:

“Bangsa kita sedang berbenah diri. Bangsa kita sedang mengumpulkan semua tenaga, kekuatan, kekayaan, untuk kita bangkit membangun negara yang kuat, sejahtera, serta berhasil mengatasi kemiskinan dan kelaparan.”

Namun, dalam konferensi pers kedua (31/8), ketika didampingi perwakilan partai politik dan pimpinan lembaga, nada itu berubah drastis. Diksi seperti “saya perintahkan” dan “ambil tindakan yang setegas-tegasnya” muncul ke permukaan. Gaya komunikasinya tidak lagi berupa imbauan, melainkan perintah yang bersifat otoritatif dan imperatif.

Perubahan ini dapat dibaca sebagai bentuk normalisasi militerisme dalam ruang sipil. Demonstrasi yang harusnya dilihat sebagai ekspresi politik warga malah diposisikan sebagai ancaman keamanan yang harus ditumpas dengan kekuatan militer. 

Lalitia juga menyoroti penyebutan agen pelaksana yang muncul secara eksplisit dalam pidato kedua. Jika sebelumnya Prabowo hanya menyatakan telah memerintahkan pengusutan tuntas tanpa menyebut institusi tertentu yang harus bertanggung jawab atas kematian Affan Kurniawan, kali ini ia tegas menunjuk aparat keamanan sebagai pemegang mandat penuh untuk menegakkan “ketertiban”.

Dengan demikian, garis komando tidak lagi samar sebab negara menunjuk langsung siapa eksekutor di lapangan. Itu berarti legitimasi yang lebih besar bagi aparat untuk bertindak keras. Dalam pidatonya ia menyebut:

“Kepada pihak Kepolisian dan TNI, saya perintahkan untuk ambil tindakan yang setegas-tegasnya, terhadap segala macam bentuk perusakan fasilitas umum, penjarahan terhadap rumah individu ataupun tempat-tempat umum, atau sentra-sentra ekonomi.”

Dalam kacamata komunikasi politik, bahasa semacam ini tidak berhenti pada level instruksi, melainkan berfungsi sebagai konsolidasi kekuasaan. Ia menegaskan garis hierarki: siapa pengendali, siapa eksekutor, dan siapa yang harus tunduk. 

“Nah itu memang sangat menunjukkan ada legitimasi yang cukup jelas yang diberikan kepada agen ini untuk bertindak,” jelas Lalitia kepada Magdalene (2/9).

Lalitia menambahkan, Prabowo memainkan tiga lapis posisi subjek dalam pidato pertamanya. Ia berbicara sebagai “saya”, yang merepresentasikan pemerintah sekaligus kepemimpinan personalnya. Lalu menggunakan “kita”, seolah merangkul rakyat dalam solidaritas kebangsaan dan pada saat bersamaan menunjuk adanya “unsur-unsur”:

“Ada unsur-unsur yang selalu ingin huru-hara, yang ingin chaos.” 

Menurut Lalitia, istilah “unsur-unsur” ini kemudian diperjelas dalam konferensi pers kedua, yakni merujuk pada pihak-pihak yang dituduh melakukan makar dan terorisme. Dalam konstruksi ini, mereka dihadirkan sebagai sosok anonim yang diasingkan dari kategori “rakyat”.

Tiga posisi yang dimainkan Presiden tersebut menciptakan garis pemisah yang tajam. “Saya” ditempatkan sebagai pusat otoritas, “kita” dipakai untuk membangun ilusi kebersamaan antara negara dan rakyat. Sementara, “unsur-unsur” digambarkan sebagai outsider yang pantas ditindak.

Secara bahasa, realitas ini memecah realitas. Kritik warga yang turun ke jalan tak lagi dilihat sebagai suara sah rakyat, tapi dimanipulasi jadi “unsur-unsur” yang berbahaya. Dari sini, represivitas negara seolah mendapat justifikasi, sebab yang dihadapi bukan lagi rakyat, tapi musuh.

Baca Juga: Kejarlah Demonstran Pelajar, Kutangkap Polisi

Di Tengah Krisis, Mengapa Presiden Terjebak di Bubble (Kekuasaaan) Sendiri?

Menurut Lalitia, yang tampak dari komunikasi Presiden justru sisi defensif dirinya. Alih-alih tampil sebagai representasi rakyat yang menyerap aspirasi, ia lebih terlihat seperti individu yang sedang melakukan pembelaan pribadi. 

“Jadi posisi hierarkisnya sebagai perwakilan rakyat gitu yang seharusnya mewakili aspirasi rakyat itu hilang. Statement itu malah muncul sebagai pembelaan diri, makanya malah terlihat tidak sensitif,” jelas Lalitia.

Kondisi ini memunculkan pertanyaan, apakah informasi publik benar-benar sampai ke Presiden? Lalitia curiga ada suara rakyat yang hilang di tengah jalur birokrasi dan lingkaran elite. Akibatnya, Presiden tampak hidup dalam bubble sendiri, terpisah dari sentimen dan opini publik yang seharusnya jadi pegangan utama pengambilan keputusan.

Pengalaman bekerja di Kantor Staf Presiden dulu membuatnya makin heran. Menurutnya, seorang kepala selalu punya tim yang merancang komunikasi, apalagi dalam situasi krisis. 

“Dulu, salah satu tugas saya merangkum sentimen publik dari media setiap hari supaya Presiden tahu apa yang dirasakan masyarakat,” jelasnya. Maka, ketika kini Presiden justru tampak tidak sensitif, Lalitia menilai ada yang keliru. Entah informasi memang tidak sampai atau sengaja diabaikan.

Baca Juga: Di Tengah Aksi Buruh dan Mahasiswa, DPR Ramai-ramai WFH

Ketika Bahasa Politik Justru Melukai

Jika Lalitia menyoroti teks pidato Presiden, Guru Besar Komunikasi Politik LSPR Lely Arrianie menekankan, masalah ini sebagai pola yang melekat pada semua elite politik. Dari blunder DPR hingga pidato Presiden, pola komunikasi politik di Indonesia menunjukkan sisi serupa: bahasa digunakan sebagai alat untuk menekan rakyat. 

Seperti diingatkan Lely, kekerasan dalam politik tak selalu terlihat secara fisik. Ketika kata-kata dipakai untuk merendahkan atau menyakiti rakyat, itulah bentuk kekerasan psikologis. Misalnya, pada tuduhan makar dan terorisme. 

“Mana berani rakyat makar pada pemerintah, terorisme apalagi. Jangan mengembalikan kekecewaan rakyat dengan tuduhan yang makin menyudutkan. Pemerintah bersama DPR perlu introspeksi diri,” ujar Lely kepada Magdalene (3/9).

Pada akhirnya, buruknya komunikasi politik di Indonesia bukan semata soal keliru memilih kata atau gagal membaca situasi. Menurut Lely, persoalannya berakar pada sindrom kekuasaan yang melekat pada siapa pun begitu ia duduk di kursi eksekutif maupun legislatif. Kekuasaan membentuk cara seorang politisi berbicara, bersikap, bahkan memandang rakyat. 

Kalau sungguh ingin memulihkan legitimasi, para elite perlu melepas arogansi yang selama ini menjauhkan mereka dari rakyat. Komunikasi politik baru akan bermakna bila dipakai untuk mendengar, merangkul, dan menyalurkan suara rakyat yang diwakili.

Ilustrasi oleh Karina Tungari

About Author

Safika Rahmawati

Safika adalah sosok yang suka melamun dan punya cita-cita hidup tenang di desa di kaki gunung. Tapi kalau harus tinggal di kota dulu, enggak masalah—asalkan bisa rebahan tanpa rasa bersalah sambil menikmati suara burung gereja di dalam kamar.