Saya tidak cacat, hanya memiliki kemampuan yang berbeda. Kalimat ini berkali-kali menguatkan saya sejak duduk di bangku kuliah. Waktu itu, istilah “disabilitas” masih asing di telinga. Namun dengan membaca, mencari tahu lewat internet, dan berdiskusi dengan dosen, saya akhirnya paham: saya adalah orang dengan disabilitas, dengan kebutuhan sekaligus kemampuan yang berbeda.
Mengingat kembali masa kecil hingga remaja, saya sadar betapa seringnya label “cacat” dilekatkan pada diri saya. Hampir semua orang di sekitar menggunakan sebutan itu. Awalnya, saya menganggapnya biasa saja. Namun seiring waktu, kata itu mulai terasa kasar, bahkan menusuk. Semakin sering terdengar, semakin dalam rasa sakitnya—seolah ada bagian tubuh yang tercerabut. Sebutan itu melemahkan semangat, menurunkan rasa percaya diri, dan lebih menyakitkan dari sumpah serapah.
Bagi saya, kata “cacat” bukan sekadar sebutan, melainkan bentuk kekerasan simbolik. Ia menggerogoti mental, karakter, bahkan fisik saya secara perlahan. Kata ini menurunkan semangat, meruntuhkan rasa percaya diri, dan menciptakan jurang antara saya dan masyarakat sekitar. Saya akhirnya menyadari: kata itu adalah bentuk pembunuhan yang halus tapi nyata—membunuh semangat hidup dan kepercayaan diri seseorang.
Saya sempat mencoba memaklumi, berpikir mungkin ini hanya kebiasaan orang Ambon berbicara dengan nada keras. Tapi tidak. Kata itu adalah bentuk kekerasan simbolik—pelan-pelan menggerogoti mental, karakter, bahkan fisik saya. Itu adalah “pembunuhan”— penghancuran harga diri oleh sebuah label.
Baca juga: Kursi Roda di Barisan Depan Demo Krisis Iklim
Dari “cacat” ke “disabilitas”
Sejak lama, masyarakat menggunakan kata “cacat” untuk menyebut orang yang berbeda secara fisik, sensorik, mental, atau intelektual. Kata itu membentuk stigma: orang yang disebut cacat dianggap tidak normal, tidak sempurna, bahkan sebagai beban. Sebaliknya, orang yang memberi label merasa lebih normal, pintar, dan superior. Bahasa ini menciptakan relasi kuasa yang timpang.
Gerakan hak-hak disabilitas lalu mendorong perubahan. Istilah “disabilitas” diperkenalkan sebagai pengganti, dengan penekanan pada perbedaan kemampuan, bukan kekurangan. Kata ini lebih menghormati martabat, menegaskan bahwa setiap orang bisa berfungsi dengan cara berbeda. Pergeseran bahasa ini bukan kosmetik belaka, melainkan bagian dari perjuangan panjang menuju keadilan dan kesetaraan.
Selain kata “cacat,” masyarakat juga kerap memakai istilah “normal” dan “tidak normal.” Dalam logika medis, orang dengan tubuh lengkap dan berfungsi disebut normal, sementara yang berbeda dianggap tidak normal. Padahal, konsep “normal” sangat relatif dan merupakan konstruksi sosial. Apa yang dianggap normal bagi satu orang, bisa berbeda bagi yang lain.
Seorang pengguna kursi roda, misalnya, disebut tidak normal hanya karena tidak berjalan dengan kaki. Padahal, dengan kursi roda ia bisa bermobilitas secara efektif—ini adalah bentuk normalitasnya sendiri. Demikian juga orang dengan disabilitas penglihatan. Kami mungkin tidak bisa melihat dengan mata, tetapi kami bisa membaca Braille, menulis, mengakses informasi digital dengan pembaca layar, dan bermobilitas dengan tongkat. Semua ini bukan ketidakmampuan, melainkan cara berbeda untuk berfungsi.
Jika standar kenormalan ditentukan secara general dan kaku, akan selalu ada kelompok yang terdiskriminasi. Karena itu, normalitas seharusnya ditentukan dari pengalaman orang yang menjalaninya, bukan label dari luar.
Baca juga: Anak Disabilitas Butuh Ruang, Bukan Belas Kasihan
Bahasa membentuk realitas
Bahasa tidak pernah netral. Kata “cacat” membawa dampak psikologis dan sosial yang serius. Ia membuat orang dengan disabilitas merasa rendah diri, malu, dan pesimis. Kata ini juga mempengaruhi bagaimana masyarakat memperlakukan kami, sering kali dengan stigma, batasan, atau bahkan pengucilan.
Sebaliknya, bahasa yang inklusif dapat membangun kesadaran bahwa semua orang memiliki cara berbeda dalam berfungsi dan berkontribusi. Kata “disabilitas” memberi ruang untuk melihat potensi, bukan kekurangan. Pergeseran bahasa menjadi bagian dari perjuangan kolektif untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil.
Hari ini, saya memilih untuk berdamai dengan masa lalu. Saya tidak lagi hidup dari validasi orang lain. Saya bangkit sebagai perempuan dengan disabilitas penglihatan, dengan kebutuhan dan kemampuan yang berbeda. Saya belajar bahwa saya bisa berfungsi dengan cara saya sendiri. Saya normal, saya sempurna—dengan ukuran yang saya tentukan, bukan dengan standar sempit masyarakat.
Dengan memahami kekuatan bahasa, saya berharap masyarakat bisa lebih bijak dalam memilih kata. Karena setiap kata yang kita gunakan bisa menjadi pisau yang melukai, atau jembatan yang menguatkan.
Yohana Maitimu adalah perempuan disabilitas penglihatan dan Ketua Persatuan Tunanetra Indonesia Maluku.
















