Mengenal Munir dari POV Generasi yang Lahir Usai Kematiannya
Saya lahir setahun sebelum Munir dibunuh. Saya tidak mengenalnya dari buku sekolah, tapi namanya berseliweran di media sosial. Saat itu, saya bertanya-tanya: Siapa Munir? Apa yang ia lakukan? Mengapa ia dibunuh? Mengapa pilot pesawat yang ditumpangi meracuninya?
Pertanyaan-pertanyaan itu mengapung di kepala saya bertahun-tahun. Di sekolah, jarang ada guru yang mau membicarakannya. Baru pada 2022, ketika saya datang ke Jakarta dan melihat langsung orang-orang berkumpul di depan Istana Merdeka setiap Kamis sore, sebagian pertanyaan itu mulai menemukan jawaban, meski belum semuanya.
Saya tidak sempat mengenalnya juga tak pernah bertemu. Saya cuma kenal dia dari video yang berseliweran, cerita orang-orang yang pernah berdiri bersamanya, dan jejak perjuangan yang masih terasa hingga hari ini.
Perjuangan itu terasa dekat, karena ia membela hak dasar manusia (HAM). Bagi saya, Munir adalah perwujudan nyata dari kata “keberanian”. Kalau keberanian itu menjadi manusia, ia pasti Munir. Keberaniannya menggetarkan, orasinya tajam sekaligus menguatkan. Keberanian itulah yang membuat namanya tak padam, meski raganya telah tiada. Setiap Kamis sore di depan Istana, orang-orang berkumpul membawa keberanian Munir bersama mereka.
Bagi saya, yang lahir setelah kepergiannya, Munir adalah pengingat bahwa keberanian tidak berhenti pada satu generasi. Ia adalah warisan yang menuntut untuk diteruskan.
Baca Juga: Lima Rekomendasi Buku yang Wajib Kamu Baca soal Tragedi 1998
Kamis Pertama di Bulan September
Sore itu, jalan di depan Istana Negara dipenuhi massa berpakaian hitam yang berjejer rapat. Dari kejauhan, warnanya membentuk barisan gelap yang kontras dengan langit Jakarta yang cerah.
Asap kendaraan bercampur hawa panas aspal membuat suasana gerah, tetapi orang-orang tetap bertahan. Mereka duduk di atas jalan aspal panas, sebagian berdiri sambil mengangkat topeng bergambar wajah Munir, dan lainnya membawa poster peringatan 21 tahun kematiannya.
Di belakang kerumunan, berdiri Sri Devi Wahyuni, 20, perempuan asal Makassar yang kini berkuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Jentera. Ia datang dengan pakaian serba hitam sederhana, wajahnya basah oleh keringat, tapi sorot matanya teguh.
Devi menceritakan pertemuan pertamanya dengan nama Munir terjadi tanpa sengaja, jauh sebelum ia paham siapa sosok itu. Saat duduk di bangku SD pada 2016, Devi pernah melihat foto Munir di internet. Ia menyimpannya hanya karena menarik secara visual.
“Aku jadikan itu favorit, tapi enggak tahu siapa orangnya. Karena aku tinggal di desa, nggak banyak informasi sampai ke sana,” kenang Devi ketika ditemui pada (4/9) di Kamisan peringatan 21 tahun kematian Munir.
Devi mengaku tidak pernah mendengar nama Munir di sekolah. Sejarah yang diajarkan kepadanya hanya berhenti pada presiden, pembangunan, dan film propaganda.
“Soeharto digambarkan keren banget, aku dulu sampai kagum. Baru sekarang aku sadar kalau dulu salah banget ngidolain Soeharto,” tuturnya.
Seiring waktu berjalan, Devi mulai mengetahui Munir lebih jauh ketika ia menginjak SMP. Lewat komunitas yang aktif membicarakan sejarah Orde Baru, ia mulai mengetahui sepak terjang Munir membela korban pelanggaran HAM.
Pencariannya berlanjut hingga masa SMK. Ia mulai menggali lebih dalam dari berita, buku, hingga film dokumenter mencari tahu siapa sebenarnya sosok Munir.
“Ketika menggali lebih dalam, aku sampai nangis setiap baca berita dan nonton video kasusnya. Tahu kebenaran akan kematiannya yang gak wajar, dia dibunuh negara karena membela korban HAM,” terangnya.
Bagi Devi, Munir memiliki tempat tersendiri di hati. Ia merasa ada kedekatan emosional meski keduanya tak pernah bertemu. Video dan rekaman orasi Munir yang berseliweran di internet membuatnya seolah-olah masih hidup. Suaranya lantang, wajahnya tegas, semuanya bergema di kepala.
Baca juga: #MenolakLupa: Sejarah Kelam September Hitam
Karena itu baginya, Kamisan bukan sekadar ritual mengenang, tapi soal menuntut sesuatu yang lebih mendasar: Keadilan.
“Kalau kasus Munir bisa tuntas, pelaku sebenarnya dihukum, itu bukti kalau keadilan sosial yang selalu kita dengar di sila kelima benar-benar ada. Namun faktanya sampai sekarang belum,” ucapnya.
Sebagai mahasiswa hukum, ia tahu betul kata “keadilan” bukan sekadar jargon. Keadilan, imbuhnya, berarti negara tak lagi bersembunyi di balik diam, dan korban tak dibiarkan hanya jadi nama yang diperingati tiap tahun.
Keadilan untuk Munir, ucapnya, adalah pintu yang bisa membuka jalan keadilan bagi kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya yang menumpuk tanpa penyelesaian. Itu sebabnya ia memilih berdiri di antara lautan hitam sore itu.
Baginya, menjaga ingatan sama pentingnya dengan menuntut keadilan. Lebih jauh, Devi menilai sejarah kelam seperti kasus Munir harus masuk ke kurikulum agar generasi muda mengetahui potret kegagalan negara menegakan keadilan.
“Kalau generasi kita lengah, bisa aja perjuangan berhenti di sini. Tapi kalau kita jaga dengan terus datang kamisan dan mengingat, kita bisa teruskan ke generasi selanjutnya. Jangan sampai mereka buta sejarah,” ungkapnya.
Selain Devi, mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Sholeh turut menceritakan perjalanannya mengenal Munir. Ia mengenang bagaimana pertama kali mendengar nama Munir ketika duduk di kelas 3 SMK pada tahun 2023.
Guru di sekolahnya pernah menjelaskan tentang pelanggaran HAM berat di Indonesia sejak 1965 hingga masa Reformasi. Namun, nama Munir sama sekali tidak disebut.
“Akhirnya aku cari tahu sendiri lewat internet. Awalnya enggak nyangka ada kasus semenyedihkan itu. Soalnya dulu aku tipikal orang yang enggak terlalu paham politik. Namun kasus Munir jadi titik balik, bikin aku melek politik, jadi sadar ternyata negara bisa sekejam itu ke aktivis yang berjuang buat rakyat,” ujarnya.
Rasa kagumnya pada Munir makin besar ketika menemukan potongan video orasi Munir yang beredar di TikTok. Dalam video itu, Munir mengkritik bagaimana banyak penguasa bersembunyi di balik kata “kekuasaan.” Bagi Sholeh, kalimat itu masih relevan hingga kini.
“Itu relate banget sama kondisi sekarang. Apalagi kalau kita lihat pelaku pelanggaran HAM masa lalu malah jadi pejabat di pemerintahan sekarang. Lalu dengan mudahnya mereka terima lencana penghargaan. Tentunya dari terduga penculik,” katanya.
Selain itu, Sholeh paham, di kalangan teman-temannya dari Gen Z, Munir memang tidak dikenal luas. Sebab memang sistem pendidikan yang dijalani berfokus menceritakan citra baik negara, ketimbang memperlihatkan keburukannya lewat kasus Munir.
“Temen-temen di sini (Kamisan) pasti kenal, enggak mungkin nggak. Akan tetapi kalau yang lain, banyak yang belum tahu. Apalagi banyak yang emang nggak melek politik. Ada juga yang sama sekali enggak mau tahu,” ungkapnya.
Sholeh menilai penting bagi generasinya untuk mengenal sosok Munir. Ia meyakini, ada banyak nilai yang bisa diwarisi, terutama keberanian Munir yang tetap konsisten berjuang hingga akhir hidupnya.
“Dia itu pemberani, tahan banting. Sampai akhir masanya masih berjuang buat rakyat, walaupun dari pemerintah sama sekali nggak dukung bahkan disinyalir dalang atas kematiannya,” terang Sholeh.
Sholeh sendiri baru dua kali mengikuti Kamisan. Pertama kali ia datang tiga minggu sebelumnya. Ia mengaku sudah lama ingin ikut bergabung namun karena kesibukan kuliah baru sempat sekarang.
“Motivasi aku ikut itu biar followers di medsos tahu kalau masih banyak pelanggaran HAM berat di Indonesia. Aku harap semua orang bisa aware,” jelasnya.
Sholeh menilai mewujudkan keadilan bagi Munir terasa sulit melihat kondisi pemerintahan saat ini. Baginya, keadilan sejati hanya bisa tercapai jika para pelaku, termasuk aktor utama di balik kasus tersebut, diadili dan dihukum seberat-beratnya, bukan sekadar pelaku lapangan atau pihak yang dikambing hitamkan.
















