Kematian Ibu di Bandung: Utang, Kemiskinan, dan Beban Tak Terlihat Perempuan
*Peringatan Pemicu: Artikel ini mengandung konten bunuh diri. Artikel ini memuat konten bunuh diri. Jika kamu sedang depresi atau punya pikiran untuk bunuh diri, segera hubungi layanan kesehatan jiwa terdekat.
Di kampung saya dan kampung lain di sekitarnya, ada fenomena rumah kosong yang dijarah warga. Pemiliknya lari karena tak sanggup membayar utang koperasi Mekar yang berbunga tinggi. Karena sistem tanggung renteng, anggota lain yang merasa dirugikan akhirnya menjarah rumah itu. Kursi, panci, bahkan pintu ikut terangkat.
Belum genap setahun lalu, seorang suami di kampung saya memilih mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri di kusen pintu, tak kuat menanggung jerat utang Mekar. Kini istrinya harus memikul warisan utang itu sendirian.
Baca juga: Bagaimana Jika Tak Ada Surga di Telapak Kakiku?
Di tempat terpisah, minggu lalu, kabar serupa datang dari Bandung. BBC Indonesia mengabarkan, seorang ibu, EN, mengakhiri hidup bersama dua anaknya. Sebelum tragedi itu, sang ibu tersebut menulis surat wasiat yang menjelaskan kondisi batin dan finansialnya.
Dalam suratnya, EN menulis:
“Sudah lelah lahir batin” serta “tidak kuat menjalani hidup seperti ini.” Hidup yang EN maksud ialah utang yang semakin hari semakin bertambah.
EN menambahkan:
“Tidak tahu utang kepada siapa saja, berapa jumlahnya, dan untuk keperluan apa.”
Masih di surat yang sama, EN menuturkan alasan mengambil jalan keluar tersebut. Ia berharap suaminya sadar dan tidak tega menyaksikan anak-anaknya sengsara:
“Saya harap, jika saya dan anak-anak sudah meninggal, dia akan sadar. Jika tidak sadar pun tidak apa-apa, yang penting tidak menyengsarakan anak-anak saya.”
“Saya lelah punya suami yang selalu bohong, tidak ada sadarnya. Saya lelah terus-menerus disakiti hatinya, sudah jelas-jelas dikucilkan orang lain, diomongin, dibenci, padahal tidak merasa berbuat salah,” tambahnya.
Surat itu menjadi saksi bisu perjuangan dan keputusasaan yang ia alami di tengah jerat utang dan kemiskinan. Ironisnya, peristiwa itu terjadi di September — bulan yang diperingati dunia sebagai Bulan Pencegahan Bunuh Diri (World Suicide Prevention Day).
Bagi saya, ini adalah cermin telanjang, dampak dari pembangunan yang gagal berpihak dan tak sensitif gender.
Baca juga: Dari Femisida ke Feminisida: Kegagalan Negara yang Bunuh Perempuan
Pembangunan Tak Sensitif Gender dan Dampak Utang Mikro
Setiap hari, ada banyak perempuan yang tertindas bukan karena kecelakaan atau kekerasan fisik, tapi kebijakan dan pembangunan yang tak pernah menghitung pengalaman mereka. Pembangunan yang katanya netral gender lahir dari kacamata patriarki yang menempatkan pengalaman perempuan sebagai catatan pinggir, atau bahkan dihapus sama sekali.
Kerja pengasuhan, beban ganda, kecemasan, tubuh yang dipaksa kuat, semua itu tak pernah masuk indikator pembangunan. Netral gender akhirnya berarti mengabaikan kebutuhan spesifik dan hambatan struktural yang berbeda sejak awal. Alih-alih adil, ia justru memperkuat ketimpangan.
Jurnalis feminis Katrine Marçal pernah menyindir dalam bukunya Who Cooked Adam Smith’s Dinner? A Story About Women and Economics (2012).:
“Economics has always forgotten the person who cooked Adam Smith’s dinner.”
Memang, jutaan perempuan miskin tercatat sebagai angka dalam statistik resmi. Namun, kerja perawatan yang mereka lakukan, dari merawat anak, orang tua, suami yang sakit, hingga menjaga tak pernah dihitung sebagai kontribusi pembangunan. Kelelahan itu tak masuk laporan pertumbuhan, padahal tanpa itu semua, pembangunan takkan pernah berjalan.
Jika kelelahan itu dihitung, mestinya ada kursi konseling murah di Posyandu atau Puskesmas, beras subsidi lebih dulu sampai ke rumah perempuan miskin yang menopang keluarga di tengah sakit, usia renta, dan kemiskinan.
Ketika terimpit kemiskinan dan mencari jalan keluar, satu-satunya yang tersedia sering kali cuma pinjaman mikro berbunga tinggi. Sebut saja Mekar sampai kredit harian yang mencekik. Alih-alih memberi napas, skema ini memperdalam jerat perempuan. Program seperti Ultra Mikro (UMi) memang memberi akses modal, tetapi siapa yang berdaya jika 95 persen dari 6,4 juta debiturnya adalah perempuan paling rentan?
Perempuan yang menjadi kepala keluarga atau menopang rumah tangga di saat bersamaan, memang tidak memiliki literasi keuangan yang memadai. Mereka dipaksa mengambil pinjaman tanpa pendampingan. Sementara risiko gagal bayar menumpuk, utang bertambah, tekanan psikologis meningkat, dan risiko bunuh diri menjadi nyata.
Beban kerja dan risiko finansial yang berlebihan pada perempuan inilah yang kerap berakhir dalam konsekuensi kesehatan mental serius. Utang mikro tanpa pendampingan psikososial atau kapasitas usaha hanyalah jebakan yang menjerat generasi berikutnya dalam lingkaran kemiskinan.
Baca juga: Empat Babak Darah: Hidup di Antara Luka dan Takdir
Pemerintah Ingkar Janji, Saatnya Collective Care Bergerak
Dalam kasus kematian ibu di Bandung, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Pratikno menyebut tragedi itu sebagai “luka kolektif bangsa” dan menjanjikan koordinasi lintas kementerian. Istilah itu terdengar megah, tetapi kosong.
Janji koordinasi lintas kementerian tidak mengubah kenyataan di lapangan. Rumah-rumah di kampung saya akan tetap kosong, perempuan kepala keluarga tetap terlilit utang Mekar, kursi konseling di Puskesmas tetap tak ada. Empati tanpa layanan nyata hanyalah kosmetik politik. Pemerintah sibuk rapat koordinasi, sementara ibu-ibu sibuk menghitung beras yang menipis. Negara terlalu sering hadir di pemakaman, tapi jarang hadir di dapur.
Namun, dari dasar kampung, collective care lahir. Solidaritas sederhana yang bergerak dari dapur, dari pelukan sesama ibu, dari tangan-tangan yang menolak membiarkan siapa pun mati sendirian. Ibu-ibu saling menitipkan anak agar bisa bekerja tanpa rasa cemas. Komunitas berbagi lauk dan sembako untuk anggota yang sedang kesulitan. Sesi curhat dan pendampingan psikososial informal di rumah tetangga meringankan beban mental ibu-ibu.
Semangat itu masih ada, tapi rapuh dan perlu dirawat. Bunuh diri seorang ibu karena tak kuat menanggung beban adalah pengingat pahit bahwa collective care harus diperkuat. Ia bukan sekadar kebaikan hati, melainkan strategi bertahan hidup. Jika dunia punya World Suicide Prevention Day, maka di kampung kita pencegahan itu bernama saling jaga. Ia sederhana, tapi bisa menyelamatkan nyawa. Collective care adalah cinta yang bergerak, yang menolak menyerah pada sistem yang abai, dan pesan lantang bahwa hidup perempuan harus dihargai.
Kami tidak minta pembangunan yang memanjakan. Kami minta pembangunan yang menghitung beban ganda dan luka yang tak terlihat. Kami minta pembangunan yang tahu bahwa “akses modal” tanpa akses pemulihan hanyalah jebakan. Dan kami minta pemerintah mendukung riset berbasis gender—agar kebijakan tidak hanya berbasis angka, tapi juga pengalaman hidup.
















