December 5, 2025
Issues Politics & Society

Sejarah Mencatat TNI Sama Represifnya dengan Polisi: Anak Muda Wajib Mengkritisi 

TNI tersenyum dan bersalaman saat demonstrasi #ResetIndonesia, sementara polisi dikritik represif. Anak muda wajib waspada, apakah militer mulai kembali menguasai ruang sipil?

  • September 14, 2025
  • 4 min read
  • 2498 Views
Sejarah Mencatat TNI Sama Represifnya dengan Polisi: Anak Muda Wajib Mengkritisi 

Di tengah sorotan masyarakat terhadap tindakan represif kepolisian saat menangani demonstrasi, kehadiran Tentara Nasional Indonesia (TNI) terlihat berbeda. Aparat berseragam coklat kerap dikritik karena menembakkan gas air mata dan memukul demonstran. Sebaliknya, tentara hadir dengan salam, senyum, bahkan merangkul massa aksi yang marah dan berduka atas kematian Affan Kurniawan. 

Pemandangan itu terlihat di rumah duka mendiang Affan, (29/8) lalu. Jurnalis Syifa Maulida menceritakan pengalamannya tentang ini. 

“Ketika semakin sore, banyak tentara yang datang (ke rumah Affan) beriringan sama pasukan ojek daring semakin banyak. Terus aku melihat tentara banyak yang ngobrol sama ojek daring serta warga sekitar,” ujarnya. 

Baca juga: 7 Kekerasan Tentara yang Disponsori Negara Sepanjang Demo #TolakUUTNI

Syifa juga memerhatikan interaksi tentara dan ojek daring yang menaiki mobil pick-up bersama. “Setelahnya terdengar pekikan Hidup TNI! Hidup Ojol! Warga di sana malah ngerasa aman dengan kehadiran tentara, bilang tentara bersama rakyat,” tambahnya. 

Meskipun kehadiran TNI menimbulkan rasa aman sebagian warga, Syifa merasa bingung karena tentara muncul di ruang sipil. Padahal pengamanan demonstrasi seharusnya menjadi ranah kepolisian. 

“Bingung dengan kehadiran tentara yang tidak pada tempat kerjanya, pengamanan buat demonstrasi seharusnya dilakukan oleh polisi saja, tidak sampai membutuhkan tentara,” ungkapnya. 

Fenomena serupa muncul saat demonstrasi di Bundaran Semanggi, (29/9) malam. Massa membakar pos polisi sebagai bentuk protes atas kematian Affan. Tak lama, dua prajurit TNI datang memadamkan api. Menjelang larut malam, kerumunan terus bertambah. Di tengah tembakan gas air mata dari kepolisian, dua mobil berisi prajurit TNI melintas, menurunkan kaca, melambaikan tangan, dan bersalaman dengan beberapa demonstran. Pekikan Hidup TNI! kembali terdengar dari kerumunan. 

Mahasiswa Universitas Indonesia yang berdemonstrasi di depan Polda Metro Jaya pada siang harinya menuntut pertanggungjawaban kepolisian atas kematian Affan sekaligus mendorong reformasi Polri, serta menolak keterlibatan TNI di ruang sipil. 

Darryl Mahardika, salah satu mahasiswa menjelaskan, “Track record keduanya penuh pelanggaran HAM. Jadi ketika muncul narasi TNI bisa jadi alternatif polisi untuk menertibkan, kita wajar khawatir. Apalagi TNI punya senjata dan seharusnya fokus ke ancaman luar negeri, bukan ke dalam negeri. Sampai sekarang pun, tuntutan aksi terkait revisi UU TNI belum ditanggapi negara,” ungkap Darryl (3/9). 

Darryl menambahkan, tanda-tanda dwifungsi TNI mulai terlihat, misalnya saat demonstrasi masif berlangsung, TNI menjaga area sekitar Stasiun UI. 

“Ini kenapa kita harus kritis. Anak muda sekarang perlu meneliti ulang sejarah: Bagaimana dulu dwifungsi TNI bekerja, kursi mereka di parlemen, sifat negara, dan bagaimana kebebasan sipil sangat terbatas.” 

Ia menekankan munculnya rasa takut pasca-rangkaian aksi, telah mempersempit ruang kampus sebagai arena diskusi dan perdebatan. 

“Sekarang yang coba kita bangun adalah menghadapi ketakutan itu. Caranya ada dua: mengaktifkan kembali kegiatan di kampus dan menjaga sistem solidaritas kawan jaga kawan,” imbuhnya. 

Baca juga: Apa itu Darurat Militer dan Kenapa Bisa Ancam Masyarakat Sipil?

Glorifikasi TNI dan Risiko Dwifungsi Militer 

Pakar hukum sekaligus Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera Asfinawati, menilai glorifikasi TNI yang muncul bukan alami, melainkan sengaja dibangun. 

“Banyak yang dibuat-buat. Kalau kita lihat TNI berbaris, melambaikan tangan saat demonstrasi, itu jelas disetting. Sementara polisi memang gagal mengambil hati masyarakat karena sewenang-wenang dalam bertindak,” terangnya pada Magdalene (4/9). 

Asfin mengingatkan bahaya jika masyarakat melihat TNI sebagai alternatif polisi. Tindakan tentara bisa lebih keras karena dididik menghadapi musuh, bukan melayani sipil. “Polisi saja sewenang-wenang, apalagi kalau sipil diserahkan ke tentara. Itu bisa membuka pintu pelanggaran HAM lebih parah.” 

Revisi Undang-Undang TNI juga menjadi perhatian. Menurut Asfin, revisi itu memperluas ruang militer di ranah sipil, mulai dari menangani pemogokan buruh hingga memberi bantuan ke pemerintah daerah, yang seharusnya berada di luar kewenangan mereka. 

“Bahaya sekali kalau TNI diberi lebih banyak ruang di sipil. Pertama karena latar belakang pelatihannya. Kedua, ketika TNI melakukan tindak pidana, mereka diadili di pengadilan militer, artinya mengadili diri sendiri. Itu tidak transparan,” ujarnya. 

Baca juga: Isu Perusuh dalam Penjarahan Pejabat: Aparat yang Tertangkap, Temuan Warga, dan Isu Makar yang Bahaya

Asfin menyoroti karakter keras polisi saat ini yang masih melekat dari sejarah integrasi mereka dalam ABRI. Meski dipisahkan pada 2001, karakter tempur tetap ada. “Masalahnya bukan kita butuh tentara, tapi mereformasi kepolisian agar tidak bertindak layaknya tentara.” 

Reformasi Polri, menurut Asfin, harus fokus pada dua hal. Pertama, penegakan hukum transparan dan akuntabel, termasuk koordinasi ketat dengan kejaksaan sehingga proses penyidikan dan penahanan dapat diawasi. Kedua, hak warga yang ditahan harus dijamin, termasuk hak untuk segera dihadapkan ke pengadilan agar proses hukum dapat dipantau dan kekerasan dicegah. 

“Sekarang sering terjadi orang ditangkap, lalu tidak bisa ditemui. Itu jelas melanggar hukum dan melemahkan kepercayaan publik,” katanya. 

Asfin menekankan edukasi masyarakat dan pengawasan aparat menjadi kunci. Masyarakat perlu sadar, dalam kondisi damai, keamanan dalam negeri idealnya dijaga polisi, bukan tentara. 

“Jangan sampai narasinya berbelok, TNI memang harus fokus menghadapi situasi darurat, misal perang atau ancaman dari luar. Meskipun bisa membantu di kondisi non-perang, tapi bukan pengganti polisi,” pungkasnya.

Ilustrasi oleh Karina Tungari

About Author

Zahra Pramuningtyas

Ara adalah calon guru biologi yang milih jadi wartawan. Suka kucing, kulineran dan nonton anime. Cita-citanya masuk ke dunia isekai, jadi penyihir bahagia dengan outfit lucu tiap hari, sembari membuat ramuan untuk dijual ke warga desa.