December 6, 2025
Culture Opini Screen Raves

‘Beyond The Bar’: Serial Prosedural Hukum Baru Ala Korea

Seorang pengacara muda yang idealis akhirnya masuk ke firma hukum bergengsi—dan kini ia harus belajar keras di bawah mentor yang dingin dan super menuntut.

  • September 15, 2025
  • 6 min read
  • 2918 Views
‘Beyond The Bar’: Serial Prosedural Hukum Baru Ala Korea

Serial prosedural adalah salah satu format paling klasik dalam sejarah televisi. Disebut prosedural karena setiap episodenya menghadirkan kasus baru dengan alur yang relatif berdiri sendiri—penonton tak harus nonton dari awal untuk bisa nyambung. Biasanya genre ini berputar di tiga ranah besar: kriminal, medis, atau hukum. Polanya terasa familiar: formulanya mirip-mirip, karakternya pun cenderung konsisten serupa. Tapi justru di situlah letak pesonanya—cara tiap karakter menavigasi kasus membuat setiap episode terasa segar.

Karena episodik, serial prosedural sering disebut “pondasi” televisi modern. Produksinya terbilang mudah karena strukturnya sudah paten. Dari sisi umur tayang pun ia tahan lama; kalau berhasil menciptakan tokoh utama yang karismatik, serial jenis ini bisa berjalan bertahun-tahun. Contoh nyatanya adalah Grey’s Anatomy yang sudah belasan musim, atau jagat CSI dengan berbagai spin-off.

Beyond The Bar, serial prosedural terbaru asal Korea, hadir dengan kesegaran sekaligus keseruan baru di ranah drama hukum. Ditulis Park Mi-hyun dan disutradarai Kim Jae-hong, episode pembuka langsung mencuri perhatian lewat kisah Kang Hyo-min (Jung Chae-yeon) adalah seorang gadis lulusan hukum yang menjadi lulusan nomer satu di kampusnya.

Hari itu ia telat untuk wawancara di firma hukum Yullim, salah satu firma hukum paling mentereng di Seoul. Ia tidak dibiarkan masuk oleh Yoon Seok-hoon (Lee Jin-wook), salah satu pengacara senior yang kaku. Tapi Hyo-min memaksa untuk tetap wawancara. Ia bahkan rela menunggu sampai antrian terakhir.

Baca juga: Drakor ‘Good Partner’: Drama Pengacara Spesialis Perceraian yang Ditulis Pengacara Asli

Meski datang terlambat dengan kemeja putih bernoda kopi. Ia sempat mencoba menutupinya dengan tipe-x, tapi mata jeli Seok-hoon tentu tak luput menangkap trik itu. Pada akhirnya, Hyo-min justru memilih bergabung di departemen Seok-hoon—yang terkenal kaku, tanpa fleksibilitas, tanpa janji work-life balance, bahkan dengan bonus yang minim. Namun jelas, bukan fasilitas itu yang ia kejar. Yang ia inginkan hanyalah satu: kesempatan untuk benar-benar ditempa menjadi pengacara yang baik.

Beyond The Bar punya kasus mingguan yang cukup menarik, tapi ia gagal menghadirkan karakter yang kuat—padahal hal tersebut adalah kunci prosedural yang bertahan lama. Hyo-min dan Seok-hoon sebagai karakter utama tidak berkembang. Mereka adalah karakter yang sama dari awal episode sampai episode 12. Hyo-min memang menjadi pengacara yang lebih baik, tapi dari episode pertama ia sudah memenangkan sidangnya. 

Tidak hanya itu, sebagai karakter ia juga terasa sangat vanilla. Tidak ada sesuatu yang unik dari karakternya. Ia tidak ada bedanya dengan karakter drama Korea yang lain. Saya memang tidak mengharapkan Beyond The Bar untuk memberikan karakter sekuat Extraordinary Attorney Woo—salah satu serial prosedural terbaik yang pernah diciptakan—tapi setidaknya pembuat serial ini harus bisa mengikat penonton kalau memang mereka ingin tahan lama.

Baca juga: ‘When Life Gives You Tangerines’: Ketika Romeo-Juliet Cabang Jeju Coba Runtuhkan Patriarki

Latar belakang Seok-hoon sendiri terasa seperti potongan khas drama Korea. Ia digambarkan sebagai seorang duda yang belum sepenuhnya bisa move on dari kegagalan rumah tangganya. Pernikahannya kandas bukan hanya karena perbedaan pandangan soal anak, tapi juga karena akhirnya terungkap bahwa sang mantan istri memang tak pernah benar-benar mencintainya. 

Satu-satunya benang merah yang masih menghubungkan mereka hanyalah seekor anjing bernama Hash, yang kini mereka rawat secara bergantian. Setiap akhir pekan, giliran Seok-hoon menjaga Hash—sebuah rutinitas kecil yang diam-diam menegaskan kesepian sekaligus kerentanannya.

Di sisi lain, kisah pribadi Hyo-min justru dipenuhi drama yang lebih kompleks—meski tidak otomatis membuatnya lebih menarik. Ia pernah dilamar oleh Han Seong-chan (Kang Sang-joon), seorang pengacara di firma hukum Lee & Seo yang kelak menjadi rivalnya. Namun, Seong-chan hanya mengejar prestise dan citra: ia bahkan sempat berselingkuh ketika masih berpacaran dengan Hyo-min, semata-mata karena merasa latar belakang keluarga Hyo-min tidak cukup mentereng. Di balik itu, Hyo-min menyimpan beban lain yang tak kalah berat: ia memiliki saudara kembar yang tuli, yang akhirnya diasuh oleh sang bibi lantaran kedua orang tua mereka merasa tidak sanggup mengurusnya.

Detail subplot yang terasa tidak nyambung ini memang jadi cerminan dari problem yang lebih besar dalam Beyond The Bar. Selama 12 episode, serial ini tampak kesulitan menemukan keseimbangan tone. Ia seperti ragu-ragu—apakah ingin menjadi serial prosedural hukum dengan bumbu romansa, atau yang fokus pada ensemble karakter, atau malah yang lurus-lurus saja.

Kasus-kasus yang ditangani pun terasa acak dan tanpa benang merah. Memang, banyak serial prosedural sengaja menghadirkan kasus baru di tiap episode untuk menjaga kesegaran cerita. Namun dalam Beyond The Bar, cara bercerita justru terasa membingungkan. Dari isu KDRT hingga penganiayaan hewan sempat muncul, tapi tidak semuanya berakhir dengan konklusi yang memuaskan. Ironisnya, salah satu kasus paling emosional—karena melibatkan langsung karakter utama—justru tidak ditutup lewat persidangan. Padahal set-up-nya sudah cukup menjanjikan untuk jadi titik balik dramatis.

Saya yakin bukan hanya saya yang merasa kecele dengan materi promosi Beyond The Bar. Trailer dan poster menjanjikan duel seru penuh romansa antara dua karakter utamanya: Kang Hyo-min dan Yoon Seok-hoon. Mereka diposisikan sebagai kutub yang berlawanan—hijau vs. berpengalaman, meledak-ledak vs. tenang, single vs. duda. Sayangnya, perbedaan latar belakang itu nyaris tidak berpengaruh pada cara mereka menangani kasus. Tidak ada perdebatan sengit ala Scully dan Mulder; yang ada justru mereka lebih sering saling mengiyakan.

Baca juga: ‘The Trauma Code: Heroes On Call’ — Drama Medis Tanpa Basa-Basi yang Bikin Kangen

Dan soal romansa, Beyond The Bar bisa dibilang menipu penontonnya. Hingga episode terakhir, hubungan Hyo-min dan Seok-hoon tidak pernah berkembang ke arah yang dijanjikan. Bumbu percintaan yang diharapkan menjadi penopang ketegangan justru absen sama sekali, membuat chemistry mereka terasa hambar sejak awal hingga akhir.

Menariknya, justru romansa dalam Beyond The Bar dihidupkan oleh pasangan second lead: Lee Jin-woo (Lee Hak-joo) dan Heo Min-jeong (Jeon Hye-bin). Keduanya datang dari latar berbeda—Min-jeong seorang janda, Jin-woo masih single—namun perkembangan hubungan mereka terasa jauh lebih organik dan meyakinkan. Dari momen ketika salah satu mulai sadar ada rasa, hingga pengakuan, konflik, lalu konklusi, dinamika mereka bergerak cepat sekaligus natural. Sayangnya, kualitas ini kontras dengan percintaan karakter utama yang ruwet, tapi mandek, sehingga chemistry yang dijanjikan di awal tak pernah benar-benar terwujud.

Saya masih bisa memaafkan kegagalan drama ini menghadirkan perspektif segar soal profesi hukum di Korea Selatan. Namun, yang sulit diterima adalah pilihan ending yang terasa tanggung. Alih-alih memberikan penutup yang tuntas, Beyond The Bar seolah sengaja memancing musim kedua dengan menaruh firma hukum Yullim di tangan Kwon Na-yeon (Kim Yeo-jin), teman sekaligus mentor Seok-hoon. 

Hanya saja, cliffhanger tersebut tidak cukup kuat untuk membuat penonton menantikan kelanjutannya. Pada akhirnya, Beyond The Bar menjadi contoh gamblang bagaimana sebuah serial prosedural bisa terasa hambar ketika hanya mengandalkan formula tanpa menghadirkan karakter yang benar-benar layak diikuti hingga garis akhir.

Beyond The Bar dapat disaksikan di Netflix.

About Author

Candra Aditya

Candra Aditya adalah penulis, pembuat film, dan bapaknya Rico. Novelnya ‘When Everything Feels Like Romcoms’ dapat dibeli di toko-toko buku.