December 5, 2025
Issues Politics & Society

Akankah Anarkisme Bernasib Serupa Komunisme di Indonesia?

Polisi menangkapi orang-orang yang dituding “anarko”, buku-buku kembali dirazia sebagai barang bukti. Apa yang sedang terjadi?

  • September 18, 2025
  • 7 min read
  • 2971 Views
Akankah Anarkisme Bernasib Serupa Komunisme di Indonesia?

Jakarta, 1 Mei. Di antara lautan massa buruh yang tumpah-ruah di depan Gedung DPR, Jorgiana Augustine tampak santai. Perempuan 28 tahun itu hanya mengenakan kaus biru, legging, dan tas selempang. Lulusan hukum yang akrab disapa Oji itu ikut aksi May Day bukan sebagai orator, melainkan relawan paralegal. Seusai aksi, ia bahkan berencana nongkrong dengan kawan-kawannya. Suasananya memang lebih mirip festival: ada panggung musik, ada tenda-tenda organisasi. “Saya pikir bakal damai,” katanya.

Namun beberapa jam kemudian, namanya terpampang di pemberitaan nasional sebagai “penyusup anarko.” Polisi lewat konferensi pers menuding ada kelompok anarko yang menyusup ke demo buruh. Oji ikut terseret. “Seolah-olah kata “anarko” itu kriminal,” ujarnya. “Padahal itu ideologi dan gagasan.”

Jorgiana Augustine (28), yang akrab disapa Oji, bersiap keluar dari salah satu tempat aman di Jakarta pada Minggu, 25 Agustus 2025. Oji selalu membawa lipstik, lip tint, dan lip balm ke mana pun, termasuk ketika ia ditetapkan sebagai tersangka setelah menjadi relawan paralegal dalam aksi May Day di Jakarta, 2025. Barang-barang itu ikut disita bersama tas selempangnya saat penangkapan. “Saya tidak bawa apa-apa yang berbahaya, kecuali kalau mereka menganggap lipstik saya berbahaya,” ujar Oji, disusul tawa. | Foto oleh Fadiyah Alaidrus

Oji bukan satu-satunya. Ada 14 orang ditangkap di Jakarta hari itu, termasuk tiga kawan paramedisnya. Polisi di Bandung dan Semarang pun mengumumkan hal serupa: ada “penyusup anarko” di aksi buruh.

Baca juga: Dari Soeharto ke Prabowo, Tuntutan Perempuan Buruh Masih Sama: Apa Artinya? 

Padahal, tidak ada satu pun aturan di Indonesia yang melarang orang menganut ideologi anarkisme—berbeda dengan komunisme atau Marxisme-Leninisme yang memang dilarang. Tapi, polisi kerap memberi label “anarko” kepada demonstran yang ditahan. Oji sendiri mengaku tak pernah jadi bagian kolektif anarko mana pun. Ia bahkan sempat melaporkan media ke Dewan Pers karena menyebarkan label itu. Meskipun ada satu media yang akhirnya mengubah judul beritanya, sebagian besar tetap bertahan dengan bingkai lama. Oji ingin media paham bahwa mengulang-ulang istilah aparat seperti “anarkis” atau “penyusup” untuk menyebut demonstran maupun paralegal bukanlah hal sepele—melainkan masalah yang harus dihentikan.

Cho Yong Gi, paramedis 22 tahun yang juga jadi tersangka, bercerita soal pengalaman serupa. “Setelah ditangkap, pertanyaan kedua polisi langsung: kamu anarko, ya?” katanya.

Cho Yong Gi (22), relawan paramedis untuk aksi demonstrasi di Jakarta, berpose di tengah gelaran Kamisan, aksi mingguan di depan Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, pada Kamis, 21 Agustus 2025. Yonggi adalah mahasiswa filsafat dan bekerja sebagai instruktur Taekwondo, atau dikenal juga sebagai sabom. | Foto oleh Fadiyah Alaidrus

Dari Komunisme ke Anarkisme

Polisi punya narasi resmi tentang ini. Di situsnya, institusi itu merilis video berjudul Polisi Menjawab: Rusuh, Polisi Memburu Anarko. Isinya menyebut kelompok anarko-sindikalis kerap menyusup ke demo dengan pakaian serba hitam, menyebar selebaran, mencorat-coret tembok, atau merusak fasilitas umum. Sebagai contoh, mereka menyinggung aksi May Day terakhir di Jakarta, Bandung, dan Semarang.

Video tersebut menjelaskan tiga pendekatan polisi terhadap gerakan anarko: “intelijen, preventif, dan represif yang proporsional.” Publikasi itu menyebut cara tersebut sebagai upaya menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan ketertiban umum. Baru-baru ini, Presiden Prabowo Subianto juga memerintahkan Kepolisian dan TNI untuk bertindak tegas terhadap “aksi-aksi anarkis.”

Ketika saya mencoba meminta wawancara dengan dua pejabat Kepolisian RI, termasuk bagian hubungan masyarakat, hingga artikel ini terbit tak satu pun memberi jawaban.

Ferdhi Putra, peneliti independen dan penulis soal gerakan anarkis di Indonesia, menyebut gerakan ini mulai berkembang sejak Reformasi 1998 dan kini bisa ditemui baik di kota maupun desa di berbagai penjuru negeri. Namun, menurutnya, ada salah kaprah yang terus dipelihara. “Dari dulu, yaudah, anarkisme itu kekerasan, jadi siapapun yang melakukan kekerasan disebut anarkis,” kata Ferdhi.

Baca Juga: Tangis Buruh Perempuan di Balik Ambisi Prabowo Perluas Pekebunan Sawit

Stigma itu bukan hal baru. Pada 2018, polisi sudah lebih dulu menempelkan label “anarko” pada para demonstran di Yogyakarta, dengan sebelas orang ditangkap kala itu. Tapi, kata Ferdhi, pola tersebut berubah menjadi sistematis sejak Kapolri kala itu, Tito Karnavian, menyatakan institusinya akan menindak “masalah anarko-sindikalis” di Indonesia.

Pernyataan itu muncul setelah Kepolisian Daerah Jawa Barat di Bandung menangkap 619 orang berpakaian serba hitam, lalu memaksa mereka menanggalkan baju di muka umum dan mencukur habis rambut mereka. Hingga hari ini, perang kepolisian terhadap komunitas anarko di Bandung masih berlanjut. Di situs resminya, Polda Jawa Barat bahkan menyebut terang-terangan bahwa “anarko adalah musuh bersama.”

Ferdhi menekankan gerakan anarkis di Indonesia sangat beragam. Memang ada sebagian kelompok yang menggunakan vandalisme sebagai taktik—terutama menyasar simbol-simbol otoritas seperti kantor polisi. Namun, tak berarti setiap aksi vandalisme bisa langsung dicap tindakan anarkis.

Huruf A kapital dalam lingkaran—simbol anarko—terpampang di sebuah pembatas air yang memisahkan massa Kamisan, aksi mingguan di depan Istana Kepresidenan, dengan polisi dan jalan utama di Jakarta Pusat, Kamis, 21 Agustus 2025. Simbol anarko itu kerap terlihat di berbagai aksi, baik dalam demonstrasi kecil yang damai maupun unjuk rasa besar-besaran di Jakarta. | Foto oleh Fadiyah Alaidrus

Dengan pola yang berlangsung sekarang, Ferdhi melihat gerakan anarko berpotensi menjadi “komunis baru”: musuh bersama yang ditetapkan otoritas hanya berdasarkan ideologi. “Ini pengulangan. Dulu mereka targetkan komunis, lalu teroris, sekarang anarkis,” ujarnya.

Aparat, kata Ferdhi, kesulitan memahami sifat gerakan anarkis yang tak mengenal organisasi, struktur, apalagi pemimpin—tak seperti komunisme di Indonesia. “Polisi atau aparat itu kebingungan untuk mengidentifikasi. Sebetulnya siapa yang bertanggung jawab terhadap gerakannya,” tambahnya.

Asfinawati, dosen hukum di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, menilai aparat Indonesia masih bekerja dengan pola pikir antisipasi subversif ala Orde Baru di bawah Presiden Soeharto. Pada masa itu, segala aktivitas “subversif”—sesuatu yang dianggap menentang kekuasaan—dilarang. Aparat bisa menggerebek dan menyita bahan cetakan, termasuk buku. UU anti-subversif memang sudah dicabut pada 1999, dan kewenangan razia buku baru benar-benar berakhir pada 2010—namun, belakangan metode serupa dilakukan lagi dalam penangkapan beberapa aktivis dan individu yang dianggap menyebarkan anarkisme di Demo 25 Agustus dan 31 Agustus.

“Polisi masih menganut paham konsep yang otoriter dalam institusi kepolisian. Ini menurut saya gejala yang sangat menonjol dalam kasus anarko,” ujar Asfinawati. “Mereka nggak tahu kalau sekarang itu ada kebebasan berpikir. Menjadi anarko pun selama dia tidak melakukan tindak pidana ya tidak ada masalah.”

Bagi Asfinawati, narasi anarko ini hanya bagian dari pola lama. “Tahun ‘65, komunisme jadi musuh bersama. Di era Susilo Bambang Yudhoyono, giliran kelompok minoritas agama seperti Ahmadiyah atau Syiah. Lalu ada LGBT.”

Namun, sejarawan dan dosen di Universitas Nasional Jakarta Andi Achdian punya pandangan berbeda. Tidak seperti komunisme, kata Andi, anarkisme tak punya akar sejarah kuat di Indonesia. Komunisme pernah jadi partai besar, bahkan salah satu yang terbesar di dunia. Anarkisme tidak. 

“Cuma (anarko) memang belum memiliki akar historis yang kuat… belum cukup kuat sebagai pengalaman sejarah,” kata Andi.

Menyasar Simbol

Namun stigma itu nyata dirasakan sebagian anak muda. Rio Imanuel Adolf Pattinama, 28 tahun, misalnya, ditangkap usai mengecat mural bertuliskan “sudah krisis, saatnya membakar.” Polisi menyebut mereka anarko. Saat interogasi, pertanyaan yang sama muncul: siapa pemimpin gerakan?

Rio divonis menyebarkan berita bohong dan membuat keonaran. Bukti yang dipakai: kaos hitam bergambar lingkaran-A dan beberapa buku, termasuk karya pahlawan nasional Tan Malaka, Aksi Massa. “Setiap ada kerusuhan apa pun, pasti dicapnya anarko, sekalipun enggak ada pasalnya. Anarko itu jadi kambing hitam baru pengganti PKI lah kalau menurutku,” ujarnya.

Oji dan tiga rekannya kini menghadapi pasal 216 dan 218 KUHP: melawan perintah pejabat serta tak segera bubar setelah tiga kali diperingatkan. Di sisi lain, mereka juga melaporkan balik polisi atas dugaan kekerasan seksual dan penganiayaan saat penangkapan. Proses hukum masih berjalan.

Meski dituding macam-macam, Oji mengaku tak terlalu kena stigma sosial sehari-hari. “Ruginya lebih ke pengetahuan publik. Orang jadi malas belajar soal ideologi lain,” katanya.

Baca juga:  Serba-Serbi Respons ‘Absurd’ DPR: ‘Demonstran Brengsek’ hingga ‘Takut Enggak Bisa Pulang’

Ia dan rekan paramedisnya masih rutin turun membantu demonstran, bahkan di awal pemerintahan Prabowo Subianto yang baru. Aparat pun tetap rajin memburu “anarko”, terakhir Agustus lalu ribuan orang kembali ditangkap.

Kami menghubungi Kepala Divisi Humas Kepolisian RI, Trunoyudo Wisnu Andiko, pada 19 Agustus. Enam hari kemudian, 26 Agustus, saya juga meminta wawancara dengan Ade Ary Syam Indradi—perwira yang pernah menyebut kasus Jorgiana Augustine dan Cho Yong Gi sebagai kasus “anarkis”—serta bagian hubungan media Divisi Humas, Jihan Isnaini. Trunoyudo dan Ade Ary tak memberikan jawaban sama sekali. Jihan sempat merespons pesan awal saya, namun berhenti menjawab setelah saya menyebut topik wawancara yang hendak diajukan.

Pertanyaannya, apakah anarkisme akan bernasib sama seperti komunisme: dicap musuh negara, dikejar tanpa henti? Atau justru nasibnya berbeda, karena tak punya partai, struktur, atau figur pemimpin yang bisa disingkirkan?

Yang jelas, untuk Oji dan kawan-kawannya, label itu bukan sekadar istilah. Ia bisa berujung jeruji besi.

Aulia Adam berkontribusi menerjemahkan laporan ini dari laporan aslinya bertajuk: Will Anarchism Face the Same Fate as Communism in Indonesia?

About Author

Fadiyah Alaidrus