December 6, 2025
Gender & Sexuality Issues Technology

Japan Adult Video (JAV): Fantasi Pasar yang Melukai Tubuh Perempuan

Industri adult video di Jepang bukan sekadar hiburan. Ia adalah cermin rapuhnya masyarakat yang menormalisasi eksploitasi atas tubuh perempuan.

  • September 21, 2025
  • 5 min read
  • 7219 Views
Japan Adult Video (JAV): Fantasi Pasar yang Melukai Tubuh Perempuan

Jepang bukan cuma terkenal lewat sushi, anime, dan budaya kawaii. Namun di balik pop culture yang mendunia, ada industri lain yang sama kuatnya membentuk citra Jepang: adult video (AV). 

Jejaknya panjang. Sejak 1868, Jepang melegalkan rumah bordil demi kepentingan negara. Perempuan diposisikan sebagai penyedia kenikmatan, juga sebagai penjamin populasi bagi militer. 

Setelah Perang Dunia II, wajah industri seks berubah. Rumah bordil resmi dihapus pada 1956, tapi praktiknya tak pernah benar-benar hilang. Dari klub malam, panti pijat, hingga soapland, industri seks terus beradaptasi sesuai permintaan pasar.

Di titik inilah pornografi modern mulai terbuka. Seks yang tadinya terjadi di ruang tertutup, kini hadir lewat medium film dan visual. Industri JAV lahir sebagai kelanjutan dari sejarah panjang itu, sekaligus tanda bahwa seks telah menjadi bagian dari budaya populer Jepang.

Ia tumbuh jadi raksasa ekonomi. Menurut laporan Yano Research Institute yang dikutip TrenAsia, nilai pasar JAV dan gravure pada 2018 mencapai lebih dari 106 miliar yen, setara Rp11,3 triliun. Jika dikenai pajak 30 persen, kontribusinya ke kas negara bisa menembus Rp3,39 triliun.

Baca juga: Menuntut Pertanggungjawaban Platform untuk Penyebaran Konten Intim Non-Konsensual

Tubuh Perempuan dalam Jerat Eksploitasi Seksual

Di atas kertas, industri AV tampak seperti mesin ekonomi yang menggiurkan. Namun di balik itu semua, ada tubuh-tubuh perempuan yang menanggung beban. Hidup mereka diliputi rasa takut, sekaligus bayang-bayang kecemasan: bagaimana jika identitas asli mereka terbongkar? 

Di sisi lain, kontrak yang ditawarkan agensi hanya menyisakan sedikit ruang negosiasi. Produser menentukan hampir semua hal, dari peran, adegan, hingga citra yang harus ditampilkan. Aktris kehilangan kendali atas tubuh dan karier mereka, seolah hanya menjadi bagian dari mesin industri yang berputar tanpa henti. 

Melansir Detik, kasus Saki Kozai, misalnya, memperlihatkan rapuhnya posisi aktris. Pada 2016, saat usianya 24, ia menandatangani kontrak sebagai model. Namun dalam waktu singkat, kontrak itu berubah menjadi kewajiban tampil sebagai bintang porno

Human Rights Now menemukan, praktik pemaksaan seperti itu sudah menjadi pola di industri AV Jepang. Ancaman seperti “kamu tidak bisa menolak pekerjaan karena sudah tertulis” atau “jika menolak, kamu harus membayar denda,” masih sering ditujukan kepada para aktris.

Dan di dunia JAV, kerentanan punya banyak lapisan sebab mereka hidup dalam lingkaran kerahasiaan. Hal ini dijelaskan oleh Akiko Takeyama (2023), Profesor Studi Perempuan, Gender, dan Seksualitas di University of Kansas, dalam Involuntary Consent: The Illusion of Choice in Japan’s Adult Video Industry. Pertama, identitas asli harus disembunyikan demi menghindari stigma dan diskriminasi. Meski ancaman terbongkarnya selalu menghantui. 

Kedua, perasaan pribadi ditutup rapat agar tidak merusak citra di depan kamera. Ketiga, mereka harus menyesuaikan diri dengan fantasi penonton dan terus menampilkan citra femininitas ideal, meski tak merasa nyaman dengan representasi dirinya. 

Keempat, aktris dituntut menjaga keramahan untuk penggemar dan kolega. Dan di lapisan terdalam, ada pergulatan batin yang sulit dihapus, seperti rasa bersalah, malu atau takut mengecewakan orang-orang terdekat. 

Baca juga: Ancaman Deepfake: KBGO dan Gerak Perempuan yang Makin Rentan

Ketika Masalah Ekonomi Dijadikan Komoditas

Namun tubuh perempuan bukan satu-satunya pilar industri ini. Di sisi lain layar, ada laki-laki yang juga hidup dalam kerentanan. Sebagian besar adalah laki-laki paruh baya, berusia akhir 30-an hingga awal 50-an. Banyak dari mereka masih lajang, tanpa pengalaman pacaran maupun seksual.

Dalam masyarakat Jepang yang menjunjung pekerjaan tetap dan stabilitas finansial sebagai tolok ukur maskulinitas, mereka berada di luar standar itu. Rasa kurang jantan kerap muncul. Akibatnya, ada yang minder saat bergaul dengan laki-laki sukses, bahkan tak mampu menikah. 

Dalam kondisi ini JAV menawarkan pelarian, sebuah ilusi kedekatan emosional dan seksual. Acara jumpa fans bahkan memberi mereka ruang untuk merasa setara. Tapi sama seperti aktris, mereka juga terjebak dalam kerentanan struktural. 

Involuntary Consent: Ketika Pilihan Cuma Ilusi

Jika ditarik lebih jauh, kerentanan perempuan maupun laki-laki punya titik temu. Akiko Takeyama menyebutnya sebagai involuntary consent atau persetujuan dalam keterpaksaan. 

Bagi perempuan muda yang merantau ke kota, pilihan hidup sering kali begitu terbatas hingga industri JAV tampak sebagai satu-satunya jalan. Mereka disebut menyetujui kontrak, begitu pula pekerja laki-laki dianggap rela menerima pekerjaan tidak tetap. Padahal keduanya sama-sama tidak punya alternatif yang lebih layak. Apa yang disebut kebebasan individu, pada kenyataannya, hanyalah keterpaksaan yang dibungkus dengan bahasa pilihan.

Antropolog Talal Asad menyebutnya sebagai kekerasan liberal: sebuah mekanisme yang bekerja bukan lewat cambuk atau penjara, melainkan melalui pasar bebas, hukum, dan norma sosial yang dianggap netral. Atas nama kebebasan dan kontrak, kondisi kerja eksploitatif justru dinormalisasi.

Di sinilah wajah kapitalisme tampak jelas. Perusahaan pembuat JAV adalah pemilik modal, alat produksi, sekaligus pengendali hak cipta. Mereka merancang fantasi, mengatur interaksi aktris dan penggemar, lalu menjualnya kembali sebagai produk dan pengalaman. 

Akhirnya, baik aktris maupun penggemar sama-sama dieksploitasi: yang satu lewat tubuh dan emosinya, yang lain lewat kesepian dan kerinduan akan koneksi. Tapi beban paling berat tetap ditanggung perempuan. Sebab, ilusi kenikmatan yang dicari laki-laki lewat pornografi, pada dasarnya berdiri di atas penderitaan perempuan. 

Baca juga: ‘Dia Bukan Ibu’: Horor yang Dihadapi Perempuan Saat Kehilangan Dirinya Sendiri

Cermin Rapuhnya Masyarakat Jepang

Industri AV Jepang berdiri di atas celah hukum. Pornografi dilegalkan atas nama kebebasan berekspresi, tapi pekerjanya tak pernah diakui sebagai buruh. Menurut Human Rights Now, selama hukum hanya melindungi hiburan dan korban kekerasan sambil mengabaikan pekerja seksual, perempuan akan terus menanggung beban terberat. 

Karena itu, yang perlu dibongkar bukan hanya praktik industri atau kontrak yang mengekang, tapi juga paradigma hukum dan budaya yang menormalisasi eksploitasi. Penguatan regulasi bisa jadi langkah awal, tapi yang tak kalah penting adalah mengakui adanya eksploitasi perempuan dalam industri ini. 

Pada akhirnya, industri JAV Jepang adalah cermin rapuh dari sebuah masyarakat yang membiarkan kerentanan seseorang dijadikan komoditas.

About Author

Safika Rahmawati

Safika adalah sosok yang suka melamun dan punya cita-cita hidup tenang di desa di kaki gunung. Tapi kalau harus tinggal di kota dulu, enggak masalah—asalkan bisa rebahan tanpa rasa bersalah sambil menikmati suara burung gereja di dalam kamar.