December 6, 2025
Issues Politics & Society

Intip ‘Flexing’ Harta Pejabat lewat Akun Cabinet Couture

Cabinet Couture soroti busana dan aksesori mewah pejabat, dari jam tangan ratusan juta hingga tas bermerek. Ini memperlihatkan ketimpangan ekonomi antara elit dan rakyat.

  • September 27, 2025
  • 5 min read
  • 1315 Views
Intip ‘Flexing’ Harta Pejabat lewat Akun Cabinet Couture

Pejabat kini tampil bak model runway tak resmi, bukan di Paris Fashion Week, melainkan di Instagram @cabinetcouture_idn. Rilis pada September 2025, akun anonim ini menampilkan busana dan aksesori mewah pejabat serta keluarga elit politik Indonesia, lengkap dengan label harga yang setara gaji bertahun-tahun pekerja biasa. 

Dalam bio-nya tertulis: “From rakyat taxes to runway pieces, from forests cut down to handbags shown off.” Terinspirasi dari tren serupa di Nepal, akun ini berfungsi sebagai dokumentasi yang menunjukkan bagaimana fesyen dapat mencerminkan ketimpangan dan pola kekuasaan elit. 

Kemewahan sebagai Bahasa Kekuasaan 

Fenomena yang diangkat Cabinet Couture menampilkan kontras antara retorika politik dan gaya hidup para elit. Adies Kadir, Wakil Ketua DPR RI periode 2024–2029 dari Partai Golkar, terlihat mengenakan Rolex Sky-Dweller seharga lebih dari Rp800 juta. Sementara itu, Novita Wijayanti, anggota Komisi V DPR RI dari Partai Gerindra, tampak mengenakan Hermes Birkin senilai sekitar Rp622 juta. 

Respons publik terhadap tampilan tersebut terekam di media sosial. Seorang warganet dengan nama akun @amandaxabrina menulis: 

“Baru kali ini para anggota DPR gaya macem Paris Fashion Week bersaing-bersaing begaya, kondisi rakyat apa kabar?” 

Komentar ini menunjukkan bagaimana sebagian masyarakat memperhatikan dan menanggapi kemewahan yang ditampilkan pejabat, terutama terkait legitimasi mereka sebagai wakil publik. 

Sosiolog Bagong Suyanto, dikutip dari Kompas, melihat tren ini sebagai pergeseran gaya elit. Jika dulu Soekarno dikenal sederhana, pejabat kini tampil seperti bagian dari masyarakat pesolek (dandy society), di mana estetika penampilan lebih dipentingkan daripada integritas.  

Lebih jauh, Antropolog Brandaan Huigen dalam Vulgar Things: Moral Dilemmas of Luxury Consumption in an Unequal Society menilai, gaya hidup mewah pejabat menyimpan makna penting. Ia menandai posisi seseorang dalam masyarakat dan sekaligus berfungsi sebagai modal sosial untuk membangun hubungan dengan sesama elit. Di kalangan elit politik, gaya hidup mewah ini diperlihatkan secara terbuka, sementara publik menanggapi tampilan tersebut melalui pengamatan dan komentar. 

Baca Juga: Sepele pada Nalar dan Kekuatan Rakyat: Dosa di Balik Komunikasi Politik Buruk Pejabat Kita 

Sejarah Tren Flexing Harta Pejabat 

Sejarah menunjukkan, pamer kemewahan bukan hal baru. Antropolog Geger Riyanto menjelaskan, sejak dulu barang mewah selalu menjadi pembeda sosial. 

“Tekstil, kain, atau aksesori tertentu menandai status bangsawan, orang kaya, atau bahkan bagian dari seserahan perkawinan,” ujar Geger kepada Magdalene (25/9). Hari ini, fungsi itu masih tetap relevan. Hanya saja medianya beralih ke jam tangan mewah, tas, hingga pakaian branded.  

Namun, menurut Geger, toleransi masyarakat terhadap kemewahan tak selalu sama. Momen-momen krisis ekonomi kerap memperlihatkan jika pamer kemewahan di tengah kesulitan luas memicu kemarahan. Ia mencontohkan kisah tiga kerajaan di Tiongkok, di mana krisis politik pada masa itu bermula dari kerajaan yang menikmati kemewahan sendiri di tengah paceklik yang menimpa rakyat. 

Fenomena ini menunjukkan, barang mewah bukan sekadar simbol status, tapi juga alat komunikasi sosial. Dalam konteks Cabinet Couture, pertunjukan kemewahan pejabat modern bukan hanya soal estetika atau selera. Ia berada di persimpangan antara legitimasi politik, persepsi publik, dan memori historis tentang ketimpangan. 

Baca Juga: 5 Hal yang Perlu Diketahui Soal Teknologi Deepfake 

Pantaskah Kemewahan Dipertontonkan Hari ini? 

Di balik kemewahan yang dipertontonkan pejabat, Indonesia masih berkutat dengan persoalan struktural. Badan Pusat Statistik (2025) mencatat gini rasio Indonesia di angka 0,375. Bukti jika ketimpangan pengeluaran masih tinggi.  

Meski tergolong negara berpenghasilan menengah, kenyataannya jutaan warga masih berjuang memenuhi kebutuhan dasar. Mengutip Metro TV News, Lembaga Riset dan Data Analisis Sigmaphi mencatat, 118,73 juta penduduk (42,9 persen) Indonesia hidup dalam kondisi tidak layak pada 2023.  

Mengapa kondisi ini bertahan begitu lama? Laporan Transparency International Indonesia menunjukkan, korupsi untuk memperkaya diri sendiri hingga praktik patronase politik yang menjadikan sumber daya negara sebagai bahan bakar kekuasaan, semuanya berkelindan.  

Akibatnya, anggaran yang idealnya dipakai untuk akses pendidikan, layanan kesehatan, infrastruktur, dan jaminan sosial justru mandek. Dalam situasi seperti ini kita patut menggugat tanya: pantaskah mereka tampil mewah, sementara negara gagal memastikan kesejahteraan rakyatnya? 

Memang tak selalu ada bukti langsung bahwa barang-barang mewah itu dibeli dari hasil korupsi. Namun, sinyal yang ditangkap publik jelas, pejabat sibuk mempertontonkan status. Sementara banyak rakyat masih terjebak dalam lingkaran kemiskinan. 

Baca Juga: Ancaman Deepfake: KBGO dan Gerak Perempuan yang Makin Rentan 

Cabinet Couture sebagai Medium Kontrol Sosial 

Di beberapa negara, kesadaran soal etika pejabat publik ditopang oleh aturan ketat. Negara-negara Nordik, misalnya, pejabat dilarang menerima hadiah dalam bentuk apa pun yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Di beberapa negara lain, aturan pelaporan kekayaan dan gaya hidup dijalankan dengan disiplin. Setiap pejabat wajib mengungkap asetnya secara transparan dan bisa dipertanggungjawabkan di ruang publik.  

Indonesia sebenarnya punya mekanisme serupa, yaitu Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Namun praktiknya kerap berhenti pada tumpukan dokumen tanpa kejelasan tindak lanjut. Di sinilah peran masyarakat sipil dan media menjadi krusial.  

Fenomena Cabinet Couture bisa dibaca sebagai bentuk kontrol sosial. Publik tak lagi pasif, tapi ikut mengawasi, mendokumentasikan, dan mempersoalkan gaya hidup pejabat yang dianggap tak wajar. 

Namun, pengawasan dari bawah hanya efektif bila didukung regulasi yang tegas dan penegakan hukum yang konsisten. Kita perlu kembali pada prinsip paling mendasar, jabatan publik adalah amanah, bukan privilese pribadi. Public office is a public trust. Tanpa kesadaran itu, jurang antara rakyat dan penguasa hanya akan semakin lebar, sementara kepercayaan terhadap demokrasi terkikis pelan-pelan. 

About Author

Safika Rahmawati

Safika adalah sosok yang suka melamun dan punya cita-cita hidup tenang di desa di kaki gunung. Tapi kalau harus tinggal di kota dulu, enggak masalah—asalkan bisa rebahan tanpa rasa bersalah sambil menikmati suara burung gereja di dalam kamar.