December 5, 2025
Issues Politics & Society

Yang Keliru dari Polisi Minta Ojol dan Starling Jadi “Mata dan Telinga” Mereka

Ojol dan Starling jadi mata dan telinga polisi, apa masalahnya?

  • October 20, 2025
  • 3 min read
  • 459 Views
Yang Keliru dari Polisi Minta Ojol dan Starling Jadi “Mata dan Telinga” Mereka

Polda Metro Jaya berencana menjadikan pedagang kopi keliling (biasa disebut starling) sebagai “mata dan telinga polisi” di lapangan. Hal ini disampaikan saat pembagian bansos bagi pedagang kaki lima di kawasan sekitar Monumen Nasional (Monas), Jakarta Pusat, Kamis (9/10).

“Mereka bukan sekadar penjual kopi, tapi juga bagian dari mata dan telinga kepolisian di lapangan,” kata Kapolda Metro Jaya, Irjen Pol Asep Edi Suheri (9/10). “Kalau ada kejadian atau hal yang mencurigakan, silakan laporkan kepada kami. Bagi yang membantu memberikan informasi tentu akan kami apresiasi,” tambahnya.

Inisiatif ini diklaim Asep sebagai bagian dari pendekatan humanis kepolisian, untuk mensukseskan tugas polisi menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibnas). Selain menjadi ruang dialog, kegiatan ini disebut juga sebagai bagian dari strategi Community Policing Pemolisian Masyarakat.

Konsep serupa juga diterapkan 26 September lalu, saat Polda Metro Jaya (PMJ) membentuk Komunitas Ojol (Ojek Online) Kamtibnas. Komunitas ini diklaim sebagai wadah kemitraan antara kepolisian dan dengan pengemudi ojol. Dilansir dari CNN Indonesia, Asep Edi juga bakal memberikan uang sebesar Rp500 ribu kepada pengemudi ojek online (ojol) yang merekam aksi kriminal di jalanan.

Wakapolda Metro Jaya Brigjen Dekananto berharap agar para ojol tak sungkan menjadikan pos polisi sebagai posko.

“Pos polisi adalah rumah bagi rakyat. Kami ingin teman-teman ojol menjadikan tempat ini sebagai posko. Kalau ada tindakan kriminal di jalan, kami akan berikan apresiasi, bahkan reward sebesar Rp500 ribu dari Kapolda jika ada rekaman kejadian penting yang membantu pengungkapan kasus,” kata Dekananto di Jakarta Pusat, Jumat (26/9), dilansir dari CNN Indonesia.

Baca juga: Bukannya Berbenah, Polisi Keluarkan Aturan Baru soal Penindakan Aksi

Ancaman Penyalahgunaan Kewenangan, Mengikis Ruang Demokrasi, dan Mengadu Domba Warga

Menurut Kepala Bidang Advokasi LBH Jakarta, Alif Fauzi, rencana Polda Metro Jaya melibatkan masyarakat seperti ojek online dan pedagang kopi keliling (starling) dalam menjaga keamanan justru menyimpan banyak risiko.

“Wacana ini berpotensi mengganggu fungsi utama polisi dalam menjaga keamanan dan ketertiban. Lebih jauh, ini bisa membungkam ruang demokrasi dan rawan disalahgunakan, apalagi tanpa partisipasi publik dan kajian dampak yang jelas,” ujarnya kepada Magdalene.

Alif mengatakan, LBH Jakarta mempertanyakan urgensi kebijakan ini kepada Polda Metro. Ia menegaskan Kapolda Irjen Asep harus sangat berhati-hati ketika mewacanakan kebijakan yang menyangkut pelibatan warga sipil.

“Tidak jelas masyarakat akan dilibatkan dalam bentuk apa. Dari pemberitaan, ada kabar ojol dan starling akan diberi insentif Rp500 ribu. Ini secara logis bisa mengubah persepsi publik, karena yang diajak adalah kelompok pekerja informal yang dekat dengan keseharian masyarakat urban,” kata Alif.

Ia menilai kebijakan tersebut berbahaya dan bisa memicu konflik horizontal antarmasyarakat. Alif mengingatkan, tugas menjaga keamanan tetap menjadi tanggung jawab aparat intelijen dan investigasi yang memang terlatih. Ia juga menyerukan agar masyarakat sipil tetap waspada terhadap kebijakan yang tergesa-gesa dan berpotensi menimbulkan kontroversi.

Baca juga: Ironi di 40 Hari Kematian Affan: Polisi Bebas, Ratusan Demonstran Masih Ditahan

Peneliti Virdika Rizky Utama, dalam tulisannya di Islami.co, menyebut dalam kebijakan ini, rakyat diminta menjadi perpanjangan tangan negara dalam fungsi pengawasan, bukan subjek yang berdaulat atas ruang sosialnya sendiri. Alih-alih paksaan atau kekerasan, kebijakan ini menggunakan narasi kedekatan, moral, dan kebersamaan. Ini mencerminkan bentuk kekuasaan modern seperti dijelaskan Foucault: kontrol hadir lewat kesadaran, bukan represi langsung.

Menurutnya, partisipasi warga dalam pengawasan menciptakan masyarakat yang saling curiga, bukan saling percaya. Solidaritas dapat bergeser menjadi kewaspadaan. Sehingga hubungan sosial direduksi menjadi potensi ancaman.

“Di sinilah bahaya kebijakan ini menjadi nyata. Ia menanamkan polarisasi mikro di tengah warga tanpa perlu konflik terbuka. Bahaya itu bukanlah adu domba dalam pengertian klasik, tetapi jauh lebih subtil,” tulis Virdika.

About Author

Ahmad Khudori

Ahmad Khudori adalah seorang anak muda penyuka kelucuan orang lain, biar terpapar lucu.