Beban Perempuan-Pekerja-Urban dan Pertanyaan ‘Yakin Nikah’?
Yakin Nikah (2025) mungkin akan dengan cepat dianggap sebagai tontonan ringan; dan memang sebaiknya demikian.
Disutradarai Pritagita Arianegara, Yakin Nikah merupakan adaptasi dari serial web berjudul sama yang lebih dulu populer di platform streaming. Layaknya kebanyakan film romantis yang tampak manis di permukaan, Yakin Nikah nyatanya juga menyuarakan sesuatu yang lebih dalam: tentang perempuan urban dan tekanan sosial yang menempel di sekitarnya.
Niken (Enzy Storia) hidup dalam tekanan tak kasatmata yang akrab bagi banyak perempuan: desakan menikah sebelum “dilangkahi” adiknya, Anggy (Amanda Rigby). Ibu mereka, Ratna (Ersa Mayori), khawatir reputasi keluarga tercoreng setelah sang adik lebih dulu dilamar. Pamali sosial ini jadi motor utama penggerak cerita. Padahal, hubungan Niken dengan pacarnya, Arya (Maxime Bouttier), relatif sehat-sehat saja. Kecuali, kesibukan kerja tampaknya bikin mereka belum kepikiran tahap selanjutnya.
Baca Juga: Beban Pekerja Perempuan Generasi ‘Sandwich’ Berlapis
Situasi makin pelik ketika Gerry (Jourdy Pranata), mantan tunangan yang menghilang tanpa jejak, tiba-tiba muncul kembali. Niken seperti dipaksa semesta untuk menimbang ulang masa lalunya sekaligus menguji masa depan: siapa yang sebenarnya lebih layak dijadikan teman hidup?
Film ini tidak berpretensi menyuguhkan statemen yang berat atau menganggap dirinya terlalu serius. Pritagita menjalankan kisahnya dengan ritme ringan, menjaga daya hibur agar tidak hilang di tengah kebimbangan tokohnya.
Namun, di balik alur yang tampak sederhana itu, Yakin Nikah menjadi potret yang cukup jernih tentang bagaimana perempuan muda kelas menengah urban dihadapkan pada berbagai tuntutan—dari keluarga, pekerjaan, hingga relasi asmara—dan bagaimana mereka menavigasi hidup di antara semua itu.
Kantor sebagai Ladang Ekspektasi Sosial
Kekuatan Yakin Nikah bukan semata pada romantismenya, melainkan pada cara film ini memosisikan Niken bukan hanya sebagai objek dalam cinta segitiga, tetapi sebagai subjek yang penuh agensi. Ia membuat keputusan-keputusan yang kadang tidak rasional, kadang menyebalkan, tapi selalu manusiawi.
Film ini bekerja paling baik ketika menghabiskan waktu bersama Niken dan para pria dalam hidupnya: Arya, Gerry, dan ayahnya (Tora Sudiro). Diposisikan untuk selalu ada di titik berdiri Niken, kita tidak diarahkan untuk membenci Arya atau Gerry. Keduanya punya kelebihan dan kekurangan, dan film menolak untuk mengantagonisasi siapa pun.
Menariknya, Yakin Nikah tidak menampilkan variabel klasik seperti status sosial atau kondisi ekonomi sebagai faktor utama dalam pergulatan Niken.
Dalam banyak romcom atau drama Indonesia, sering kali salah satu pria dibuat lebih “ideal” karena lebih mapan. Di sini tidak. Memang, ada kode-kode sosial yang merujuk ke sana: bidang pekerjaan, cara berpakaian, kepemilikan barang, dan sebagainya, tapi hal-hal itu tidak pernah dikomentari secara eksplisit, dan dibiarkan menjadi atribut yang kebetulan menempel pada mereka saja. Pilihan naratif itu membuat film ini terasa segar, karena fokusnya bukan lagi pada siapa yang “lebih baik”, tapi bagaimana Niken belajar mengenali dirinya sendiri lewat hubungan-hubungan itu.
Jika ditarik ke konteks yang lebih luas, Yakin Nikah muncul di tengah geliat baru film Indonesia yang mulai menjadikan kehidupan pekerja urban sebagai latar utama yang memasok benih konflik.
Baca juga: Review ‘Home Sweet Loan’: Impian Terjepit Generasi Sandwich
Sebelumnya, Home Sweet Loan (2024, Sabrina Rochelle Kalangie) juga melakukan hal serupa: memotret perempuan muda di Jakarta yang terhimpit ekspektasi ekonomi dan sosial, sambil tetap berusaha bertahan di tengah padatnya kehidupan perkotaan.
Kedua film ini, dengan caranya masing-masing, menangkap denyut kelas menengah pekerja formal—yang menurut data dari BPS berjumlah tak kurang dari 27 juta jiwa—yang kerangka kehidupan hari-harinya dibentuk oleh mesin penggerak kapitalisme bernama jam kerja.
Yakin Nikah memang tidak menyorot isu ekonomi secara eksplisit, tapi ia memeriksa aspek emosional dari kehidupan perempuan urban yang bekerja: rasa lelah, dinamika relasi, serta keinginan untuk punya waktu untuk urusan diri sendiri dan orang tercinta. Film ini mengimplikasikan bahwa ekspektasi sosial terhadap perempuan lajang datang bukan hanya dari rumah, tapi juga dari lingkungan kerja, yang sering kali, bahkan berbentuk komentar santai dari teman dekat sekantor.
Pritagita menampilkan semua itu tanpa ceramah. Justru lewat humor, percakapan ringan, dan keseharian yang tampak biasa, film ini memantulkan realitas: bahwa perempuan muda kerap harus menjawab tuntutan-tuntutan yang bahkan mereka sangsikan sejak awal.
Romantis, tapi Tidak Tentang Menang atau Kalah
Yang paling penting sebagai romcom, Yakin Nikah menyenangkan. Visualnya cerah, ritmenya tak membosankan, dan Enzy tampil bersinar dengan pesona bintang utama yang begitu luwes berganti emosi.
Sayangnya, naskahnya memang agak pelit memberi ruang bagi kemampuan komedinya. Sebagian besar momen lucu justru datang dari karakter pendukung seperti Prita (Agnes Naomi), sahabat Niken yang jadi semacam suara realitas di tengah kekacauan emosionalnya.
Tora sebagai ayah Niken, menjadi pusat kehangatan film. Figur ayah ini bukan hanya penyeimbang emosi, tapi juga simbol suara nalar di tengah budaya yang masih menekan perempuan lewat mitos-mitos sosial. Film ini menolak menutup kisahnya dengan “akhir bahagia” konvensional. Tidak ada pernikahan yang mengakhiri semua masalah, tidak ada kemenangan yang absolut. Karena kadang, pilihan terbaik adalah memilih diri sendiri; sebuah sentimen yang sangat hari ini.
Yakin Nikah, menariknya, turut menggiring saya untuk menengok ke belakang dan membandingkan bagaimana sosok ‘perempuan kantoran urban’ dipotret sinema kita.
Dulu, karier kantoran hampir selalu dipotret di bawah cahaya glamor, dan mengabaikan apa yang bisa ia lakukan pada mental dan fisik pelakunya. Dalam Brownies (2004, Hanung Bramantyo), misalnya, Mel (Marcella Zalianty) digambarkan sebagai perempuan karier berlabel creative director di sebuah agensi iklan—titel yang dua dekade kemudian justru sering jadi bahan lelucon di internet karena betapa kaburnya definisi dan kualifikasinya di era LinkedIn hari ini.
Baca Juga: Mampukah Milenial sebagai Generasi ‘Sandwich’ Baru Bertahan Ketika Pandemi?
Dalam Brownies, pekerjaan Mel tak pernah ditampilkan sebagai sesuatu yang melelahkan, melainkan bagian dari citra sukses dan gaya hidup kosmopolitan. Di titik ini, film-film seperti Yakin Nikah dan Home Sweet Loan terasa seperti koreksi: Niken dan Kaluna (Yunita Siregar) bukan sosok pekerja yang menonjol di ruang kerjanya, melainkan seseorang yang sering kelelahan, kewalahan, dan kadang kehabisan energi hanya untuk melalui hari.
Perubahan ini, lebih lanjut, juga bisa dibaca sebagai penanda adanya pergeseran dalam sinema kita: dari romantika yang mengidealkan perempuan karier menjadi narasi yang mengakui keletihan dan kompleksitas mereka.
Sebagai film, Yakin Nikah memang tidak berpretensi besar. Tapi sebagai refleksi sosial, ia menangkap semangat zaman: bahwa perempuan muda di kota besar kini tidak lagi ingin terburu-buru menikah hanya demi “tidak dilangkahi”, atau untuk memenuhi ekspektasi siapa pun. Mereka cuma ingin merasa yakin.
Tapi kali ini, yakin pada diri sendiri.
















