December 5, 2025
Issues Opini Politics & Society

‘Memangnya ada Chinese di Aceh?’: Catatan Minoritas yang Tak Terlihat

Menjadi perempuan Tionghoa di Aceh artinya tumbuh dengan sunyi. Tapi dari sunyi itu, lahir suara.

  • October 23, 2025
  • 4 min read
  • 458 Views
‘Memangnya ada Chinese di Aceh?’: Catatan Minoritas yang Tak Terlihat

Sejak kecil, orang tuaku selalu mengingatkan, “Kalau bicara pakai dialek Hakka di tempat umum, pelankan suaramu. Nanti orang dengar.”

Bahkan percakapan sederhana, seperti soal menu makan malam, bisa mengundang tatapan heran saat dilakukan di ruang publik di Banda Aceh. Dari situ tumbuh refleks kewaspadaan dalam diriku, dengan memilah kata, membaca situasi, dan tahu kapan harus diam. Sejak dini, aku belajar bahwa identitasku bisa dianggap masalah.

Baca juga: Memori Etnis Tionghoa Aceh: 20 Tahun Tsunami di Aceh

Saat pindah ke Jakarta pada usia 20-an, aku sering mendapat reaksi kaget saat mengatakan bahwa aku berasal dari Aceh. “Lho, memang ada Chinese di Aceh?” tanya mereka. Kalimat yang terdengar ringan ini sesungguhnya menyentil kenyataan besar, bahwa keberadaan kami tidak pernah benar-benar dianggap ada. Di mata banyak orang, Aceh identik dengan satu wajah: Melayu, Islam, dan homogen.

Di ruang-ruang kerja, kampus, hingga tongkrongan, percakapan biasanya berhenti sejenak saat aku menyebut latar belakangku. Tapi setelah itu, untuk pertama kalinya aku merasakan ada ruang kecil untuk berbagi. Aku perempuan, Tionghoa, dan beragama Buddha—minoritas berlapis yang tumbuh besar di provinsi yang sering disebut sebagai “Serambi Mekah”.

Menurut Kompas.com, populasi Tionghoa di Aceh bahkan tidak sampai 1 persen. Jumlah kecil ini memudahkan penghapusan kami dari wacana publik. Namun, kecil bukan berarti luput dari sorotan. Sejak kecil, aku justru terbiasa menjadi pusat perhatian, meski sering kali dengan nada mencemooh.

Aku masih ingat betul saat menjadi murid sebuah sekolah swasta Katolik, dan mengikuti acara lintas sekolah. Bisik-bisik seperti “eh, mereka bau babi, ya” menghantamku dan teman-teman. Pernah suatu kali aku membela diri, tapi justru ditegur guru karena dianggap bisa memicu konflik. Persis nasihat orang tuaku.

“Sudahlah, jangan dibalas. Kita ini minoritas, jangan bikin masalah,” begitu nasihat orang dewasa yang seharusnya jadi pelindung. Dari sana aku belajar satu hal: diam dianggap cara terbaik untuk bertahan. Ketidakadilan dinormalisasi demi menjaga “kerukunan”.

Baca juga: Saya Cina dan Ingin Jadi ASN, Ada yang Salah?

Tionghoa Aceh tersisih dalam sejarah dan media

Dalam sejarah Aceh, ada bab penting yang jarang dibicarakan, yakni masa konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia. Di periode ini, orang Tionghoa berada di posisi serba salah. Kami tidak dilihat sebagai bagian dari masyarakat lokal, tapi juga tidak merasa aman di bawah perlindungan negara. Di mata GAM, kami dianggap “orang luar” yang dekat dengan pemerintah. Di mata aparat, kami tetap bukan bagian dari “kami”.

Salah satu kerabat keluargaku, sebut saja Budi, pernah menerima ancaman, dituduh simpatisan GAM, hingga kartu ponselnya diblokir. Truk-truk bisnis ekspedisinya dibakar, dan akhirnya mereka sekeluarga pindah ke Medan. Menurutnya, sebagian besar Tionghoa di Aceh memilih sikap netral dan menjauh dari urusan politik, bukan karena apatis, tapi karena bertahan hidup adalah prioritas. Kami berada “di tengah”, meredam identitas agar tak jadi sasaran.

Cerita-cerita seperti ini tak tercatat secara resmi, tapi ingatan kolektifnya kuat. Tentang rasa takut yang diwariskan, tentang bagaimana menjadi minoritas berarti harus menyesuaikan diri agar bisa selamat. Bahkan setelah konflik usai, trauma itu masih hidup dalam bentuk kehati-hatian, keraguan, dan rasa tidak memiliki yang mengendap diam-diam.

Lalu, di mana media saat ini dalam menggambarkan kami?

Selama bertahun-tahun, media lokal di Aceh cenderung hanya menyorot isu-isu dominan, yaitu politik lokal, pembangunan, atau narasi damai pascakonflik. Tionghoa hanya muncul di momen-momen seremonial seperti Imlek, atau dalam konteks ekonomi dan bisnis. Ketika aku mencoba mencari artikel atau liputan tentang kehidupan Tionghoa Aceh di internet, hasilnya nyaris nihil.

Kurangnya representasi ini berbahaya. Saat satu kelompok tidak terwakili dalam narasi publik, pengalaman mereka mudah dilupakan. Stereotip lama pun dibiarkan bertahan: bahwa kami eksklusif, tak mau berbaur, dan “bukan orang Aceh asli”. Dalam kekosongan narasi, prasangka tumbuh tanpa perlawanan.

Baca juga: Kami Peduli, Kami Ada: Suara Joy dan Generasi yang Menolak Diam

Sebuah riset berjudul “Media Representation and Social Identity: A Study of Public Discourse Construction and the Empowerment of Marginalised Groups in the Digital Age” (2025) menekankan bahwa ruang digital kerap menentukan siapa yang “terlihat” dan siapa yang diabaikan. Representasi tak sekadar soal kehadiran, tapi tentang pengakuan. Jika tak ada yang menceritakan kisah kami, maka orang lain akan mengisinya dengan cerita versinya sendiri—yang belum tentu adil.

Hari ini, dengan berkembangnya media sosial dan banyaknya diaspora Tionghoa Aceh yang tersebar di kota-kota lain, kesadaran akan pentingnya bercerita mulai tumbuh. Tapi pekerjaan rumah kita masih panjang. Representasi yang adil di media, bukan sekadar saat hari raya atau terkait tragedi, adalah langkah penting untuk membangun empati dan pemahaman lintas kelompok.

Menulis esai ini adalah langkah kecilku. Untuk menyampaikan bahwa kami ada, kami nyata, dan kami layak dilihat, bukan hanya saat dibutuhkan sebagai simbol keberagaman, tapi sebagai bagian dari sejarah, kehidupan, dan masa depan Aceh yang lebih inklusif.

Elysia adalah budak korporat yang mencoba slow living di dunia yang serba cepat. Ia menemukan keseimbangan lewat yoga, tulisan, dan secangkir aren latte yang diminum tanpa tergesa.

About Author

Elysia