Awal Oktober lalu, saya menyaksikan puluhan kotak makan siang menumpuk di sebuah SMP di Bojonegoro, Jawa Timur. Kotak-kotak itu masih utuh, beberapa bahkan belum disentuh. Di dalamnya ada nasi, ayam, sayur, dan buah, semuanya berakhir di tong sampah. Padahal siang itu, makanan-makanan itu seharusnya menjadi sumber energi bagi anak-anak sekolah.
Beberapa jam sebelumnya, puluhan siswa dilarikan ke puskesmas akibat dugaan keracunan dari makanan yang disediakan oleh program Makan Bergizi Gratis (MBG). Kejadian serupa terjadi di Tulungagung, tempat siswa SMPN 1 Boyolangu mengalami hal yang sama.
Program MBG lahir dari niat baik untuk memastikan anak-anak mendapatkan asupan gizi tanpa membebani orang tua. Tapi niat baik yang dieksekusi terburu-buru bisa memunculkan bencana baru, bukan hanya soal kesehatan, tapi juga soal lingkungan.
Baca juga: #RaporMerahPemerintah: Dear Prabowo-Gibran, Ekonomi Kami Tak Tumbuh Seperti Katam
Dari sisa nasi ke gas rumah kaca
Ketika ribuan boks makanan datang terlambat, basi, atau tidak sesuai selera, yang tersisa bukan gizi, tapi limbah. Makanan yang terbuang itu menumpuk, membusuk, dan menyumbang masalah lingkungan yang jauh lebih besar daripada sekadar makanan tidak habis.
Menurut Food Waste Index Report 2024 dari Program Lingkungan Hidup PBB (UNEP), Indonesia menghasilkan 14,73 juta ton sampah makanan per tahun, atau tertinggi di Asia Tenggara. Data Sistem Informasi Pengolahan Sampah Nasional (SIPSN) menunjukkan bahwa hampir 40 persen dari timbulan sampah nasional adalah sisa makanan. Badan Pangan Nasional bahkan menyebutkan bahwa jika semua makanan itu diselamatkan, kita bisa memberi makan setengah populasi Indonesia.
Tapi sisa nasi itu tak berhenti di tempat sampah. Ia terus berjalan ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), tertimbun plastik dan tanah, lalu membusuk dan menghasilkan gas metana, salah satu gas rumah kaca paling merusak atmosfer.
Menurut analisis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), program MBG berpotensi menambah 81–162 ton sampah organik per hari, dengan emisi tahunan mencapai lebih dari 6.000 ton CO₂ ekuivalen. Bayangkan, program yang diniatkan untuk menyehatkan anak-anak, justru ikut memperparah krisis iklim.
Masalah tak berhenti di situ. Pemerintah berencana memasok pangan MBG dari proyek food estate, pertanian skala besar yang disebut-sebut sebagai solusi ketahanan pangan. Tapi di balik ladang yang terlihat “produktif” itu, ada kisah deforestasi, konversi lahan adat, dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Di Merauke, Papua Selatan, pembukaan lahan untuk food estate bahkan diperkirakan bisa melepaskan 782 juta ton CO₂ ekuivalen, atau dua kali lipat emisi sektor energi nasional. Selain berdampak ekologis, proyek ini juga menggusur masyarakat adat dan menghancurkan sistem pangan lokal yang jauh lebih lestari.
Baca juga: Ketika Anak Diracun Negara, Bisakah Orang Tua Menggugat?
Belajar dari Toyonaka Jepang
Cerita berbeda datang dari Jepang. Di Toyonaka, Osaka, pemerintah membangun Green and Food Recycling Plaza, pusat edukasi dan pengelolaan limbah makanan dari sekolah. Sisa makanan diolah menjadi kompos berkualitas tinggi yang dikembalikan ke kebun sekolah dan taman kota.
Lebih dari sekadar teknologi daur ulang, program ini juga memberikan pendidikan ekologi. Anak-anak belajar bahwa makanan tak berhenti di piring, tapi punya perjalanan yang menyatu dengan bumi. Mereka terlibat mulai dari memilah sampah hingga memanfaatkan hasilnya.
Model ini bisa diadaptasi di sekolah-sekolah Indonesia. Dengan sistem pemilahan sederhana dan kolaborasi komunitas lokal, sisa makanan bisa diubah menjadi pupuk untuk kebun sekolah atau taman kota. Langkah kecil, tapi bisa membentuk budaya pangan yang lebih sadar lingkungan.
Kita sering menilai keberhasilan program dari jumlah kotak makan yang dibagikan atau anggaran yang terserap. Tapi, kita jarang bertanya, apa dampak jangka panjangnya? Apakah program ini benar-benar memberi masa depan yang sehat, atau justru menambah beban ekologis yang diwariskan ke generasi selanjutnya?
Anak-anak Indonesia butuh lebih dari sekadar makan. Mereka butuh udara bersih, tanah subur, dan laut yang tak tercemar plastik. Mereka butuh dunia yang masih bisa ditinggali.
Program MBG tidak boleh dilihat semata sebagai proyek sosial, tapi harus menjadi bagian dari sistem pangan berkelanjutan, yang menyeimbangkan kebutuhan gizi, kelestarian lingkungan, dan keadilan sosial. Kebijakan publik yang baik seharusnya bukan hanya mengenyangkan perut, tapi juga menjaga bumi yang menumbuhkan pangan itu sendiri.
Pada akhirnya, keberhasilan MBG seharusnya tak diukur dari berapa banyak nasi yang dibagikan, melainkan dari seberapa sedikit yang terbuang, dan seberapa besar dampaknya bagi keberlanjutan hidup di masa depan.
Karena dari tong sampah hingga atmosfer, setiap butir nasi punya cerita tentang bagaimana kita memperlakukan bumi, dan bagaimana bumi akan memperlakukan kita kembali.
















