#RaporMerahPemerintah: Institusi Pendidikan Tertiup Angin Kekuasan
“Kebijakan Prabowo–Gibran selama satu tahun terakhir benar-benar nggak ada yang berpihak pada pengembangan perguruan tinggi di Indonesia,” ujar Ananda Eka, mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa sekaligus anggota Aliansi Pendidikan Gratis (Apatis) (22/10).
Eka kecewa karena sejak awal, pendidikan bahkan tidak tercantum dalam program prioritas pemerintahan Prabowo–Gibran. Fokus pemerintah, katanya, justru berkutat pada hilirisasi, pertambangan, dan investasi. Semua sektor yang dianggap jauh dari kepentingan pendidikan rakyat.
Menurutnya, klaim pemerintah yang menyebut telah memperluas akses pendidikan lewat program populis seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) hanyalah upaya pencitraan.
“Persoalan utama pendidikan Indonesia itu akses dan kesenjangan kualitas. Program kayak MBG nggak menyentuh akar masalah sama sekali,” ungkapnya pada Magdalene.
Ia mencontohkan, masyarakat kelas menengah justru sering jadi korban. “Mereka nggak dapat bantuan karena dianggap kaya, tapi hidupnya pas-pasan. Akhirnya kesulitan bayar kuliah,” tambahnya.
Baca Juga: #RaporMerahPemerintah: Dear Prabowo-Gibran, Ekonomi Kami Tak Tumbuh Seperti Katamu
Kampus Terimbas Efisiensi
Eka mengingat kebijakan pemangkasan anggaran pada Februari 2025 sebagai awal kemunduran dunia pendidikan tinggi. Dampaknya langsung terasa, dari pembatasan listrik dan AC di ruang kuliah, pengurangan dana kegiatan mahasiswa, hingga sertifikat lomba yang kini hanya berbentuk digital demi efisiensi biaya.
“Banyak UKM yang acaranya nggak bisa dibiayai penuh. Bahkan sertifikat pun sekarang digital semua, biar hemat,” tuturnya.
Ia menyebut pengalihan sebagian anggaran pendidikan tinggi ke program MBG sebagai kebijakan yang kacau. Menurutnya, langkah itu memperlihatkan orientasi pemerintah yang lebih memilih proyek instan ketimbang investasi jangka panjang di sektor pendidikan.
“Gimana bisa ada triliunan buat MBG, tapi enggak bisa bikin pendidikan tinggi gratis? Ini soal kemauan politik,” katanya.
Eka juga menyoroti rencana pemerintah memberikan konsesi tambang kepada perguruan tinggi yang sempat bergulir sebelum akhirnya dibatalkan.
“Dengan sistem Perguruan Tinggi Negeri-Berbadan Hukum (PTN-BH), kampus diarahkan jadi entitas ekonomi yang harus cari untung sendiri. Negara lepas tangan. Kalau dikasih tambang, justru tambah masalah sosial dan lingkungan,” jelasnya.
Kondisi ini, tambah Eka, turut mempersempit ruang kebebasan akademik. “Riset di kampus hukum sekarang diarahkan ke isu-isu aman secara politik, bukan yang kritis terhadap kekuasaan,” ucapnya.
Ancaman lain datang dari wacana militerisasi kampus. Menurutnya, budaya hierarkis dan kaku militer bertentangan dengan semangat demokrasi di dunia akademik. Meski gerakan mahasiswa kini semakin aktif, Eka mengaku kekuatannya terfragmentasi.
“Aksi sekarang kayak formalitas aja. Jam tiga aksi, jam lima bubar. Tanpa tindak lanjut,” katanya.
Baca juga: #RaporMerahPemerintah: Setahun Prabowo-Gibran, Semua Nilai Remedial
Kampus Jadi Tercemar
Penilaian serupa disampaikan Herdiansyah Hamzah, Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman sekaligus anggota Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA). Ia menilai satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran sebagai periode yang “minus” bagi dunia pendidikan tinggi.
Kebijakan dari anggaran sampai kebebasan akademik semuanya bermasalah, kata pria yang akrab disapa Castro. Menurutnya, kebijakan pendidikan tinggi tak bisa dilihat secara terpisah. “Arah perguruan tinggi sekarang condong ke kapitalisasi pendidikan. Perguruan tinggi jadi mesin ekonomi, bukan pusat ilmu,” ujarnya.
Castro menilai kebijakan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang pemangkasan anggaran memperparah kondisi itu. Akibatnya, akses akademik ikut terhambat—mulai dari beasiswa yang berkurang hingga tunjangan dosen yang dipotong hingga 80 persen. “Wajar kalau mahasiswa demo di banyak daerah. Dampaknya langsung mereka rasakan,” katanya.
Ia juga menyoroti upaya kooptasi perguruan tinggi melalui intervensi politik, seperti campur tangan kementerian dalam pemilihan rektor hingga tawaran jabatan pemerintahan bagi akademisi.
“Pemerintah sengaja ingin ubah orientasi kampus. Dari lembaga independen jadi alat legitimasi kekuasaan,” jelasnya.
Menurutnya, arah pendidikan tinggi hari ini perlu dikembalikan pada marwah awalnya. untuk kepentingan rakyat, bukan pemodal. “PTN-BH itu bukti nyata komersialisasi pendidikan. Marwah pendidikan sulit kembali kalau mindset kapitalistik masih dominan,” katanya.
Castro menambahkan, kesenjangan akses pendidikan tinggi menjadi masalah utama. “Semua warga negara seharusnya punya kesempatan yang sama untuk kuliah. Tapi biaya kuliah makin mahal,” ujarnya.
Ia memberi dua catatan untuk pemerintah: pertama, mengembalikan kebebasan akademik sebagai jantung perguruan tinggi; kedua, menjamin akses pendidikan tinggi yang berkeadilan.
“Tanpa kebebasan akademik, tridharma perguruan tinggi mustahil berjalan,” tegasnya.
Temuan dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) juga memperkuat kritik tersebut. Dalam laporannya tahun 2025, sektor pendidikan menempati urutan ketiga (14 persen) sebagai sektor yang belum diintervensi dengan baik oleh kabinet Prabowo–Gibran, setelah penegakan hukum (19 persen) dan lingkungan (17 persen).
Publik pun menilai pendidikan, terutama mutu guru, kurikulum, dan biaya. sebagai salah satu isu utama yang harus segera dibenahi, dengan tingkat urgensi mencapai 8,8 persen. Bahkan, CELIOS juga mencatat dua kementerian pendidikan masuk dalam daftar yang disarankan untuk dipangkas karena dinilai tumpang tindih: Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (3,2 persen) dan Kementerian Pendidikan, Sains, dan Teknologi (2,7 persen).
Baca juga: #RaporMerahPemerintah: Agenda Perempuan (Masih) Tak Masuk Prioritas Negara
Antara Politik Anggaran dan Cuan
Di sisi lain, anggota Komisi X DPR RI Mercy Barends memberi nilai 7 dari 10 bagi kinerja Prabowo–Gibran di sektor perguruan tinggi. Ia mengakui masih banyak kebijakan yang belum berpihak pada masyarakat, terutama terkait pemangkasan anggaran pendidikan.
“Awalnya kami ajukan Rp70 triliun, tapi yang disetujui hanya Rp60 triliun,” ucapnya. Ia memastikan pemangkasan tersebut tak mengurangi bantuan seperti KIP Kuliah dan BOPTN.
Mercy menyebut DPR akan memperketat pengawasan terhadap pengelolaan Uang Kuliah Tunggal (UKT) agar kampus tidak menaikkan biaya secara semena-mena. “Kami ingin UKT tetap berkeadilan. Anak-anak dari keluarga miskin harus tetap bisa kuliah,” ujarnya.
Namun bagi mahasiswa dan akademisi, janji-janji itu belum cukup. Dalam pandangan mereka, arah pendidikan tinggi hari ini masih tertiup angin kekuasaan di mana kampus perlahan kehilangan independensinya, dan ruang kritisnya makin menyempit di bawah tekanan politik dan logika keuntungan.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
















